Acceptance
Pada tahapan penerimaan ini, individu tidak serta merta merasa bahagia atas apa yang terjadi, tetapi lebih menyadari bahwa realitas baru ini tidak akan berubah.
Finding Meaning
Seorang ahli mengemukakan bahwa lima tahap berduka masih belum tahapan akhir dari duka. Menurutnya menemukan tujuan adalah hal yang sangat penting karena dapat mempermudah dalam menghadapi perasaan berduka. Tahapan ini dapat membuat duka menjadi hal yang berharga dan bermakna.
Fase berduka atas kehilangan seseorang yang berharga merupakan fase awal dari resiliensi (Widyataqwa, 2021). hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan Bowlby (1980; dalam Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018) individu yang mengalami kehilangan pasangan akan melalui tahapan berduka, yang pada akhirnya akan mengalami reorganisasi yang dimana hal ini merupakan tahap awal memulai resiliensi. Menurut Sari, dkk. (2019) resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan dan beradaptasi dengan keadaan yang sulit yang dialaminya dan berusaha kembali pada keadaan semula atau keadaan yang lebih baik. Menurut ahli lainnya yaitu Holaday (1997; dalam Sari, dkk., 2019) resiliensi merupakan kemampuan individu untuk kembali pada kondisi pada saat sebelum peristiwa berat, keadaan sengsara atau trauma yang dimilikinya dan beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. Sejalan dengan pengertian lainnya, resiliensi menurut Pangestu dan Falah (2018) adalah kemampuan individu untuk bangkit dari keterpurukan atau mampu beradaptasi dari situasi atau kondisi yang buruk sebagai proses berkelanjutan yang memungkinkan dari keberfungsian ketika dihadapkan pada tekanan hidup yang benar. Siebert (2005; dalam Pangestu & Falah, 2018) dalam bukunya The Resilience Advantage menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan mengatasi perubahan yang drastis dalam hidup, menjaga kesehatan jasmani maupun psikologis, bangkit dari keterpurukan dan kemalangan serta mengubah hidup menyesuaikan dengan keadaan yang berubah dan tanpa adanya kekerasan. Dari beberapa pengertian resiliensi dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi, bangkit dan beradaptasi dari kejadian yang berat dalam hidupnya yang memberikan perubahan pada keadaan orang tersebut.
Menurut Patterson & Kelleher (2005; dalam Widyataqwa, 2021) kemampuan seseorang untuk bangkit dan beradaptasi terhadap masalah dibentuk oleh tiga aspek, yaitu:
Nilai pribadi yaitu nilai yang ada pada diri individu yang dapat menentukan hal yang harus dilakukan. Dengan penjelasan tersebut dari nilai pribadi, individu mampu menentukan hal apa yang harus diperjuangkannya dan keyakinan yang dimiliki individu untuk mencapainya.
Kemampuan diri, individu memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan bersedia untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Jika seseorang memiliki kemampuan dan ketahanan diri yang tinggi maka ia akan memiliki sikap lebih bertanggung jawab atas pilihannya.
Energi pribadi, ketika suatu individu ingin melakukan sesuatu ia harus memiliki energi pribadi sebagai sumber daya pada diri individu terutama untuk menghadapi kesulitan nantinya dan bangkit kembali untuk melanjutkan apa yang ingin dicapainya. Energi pribadi ini dapat berupa energi fisik, emosional dan spiritual
Disisi lain, terdapat ilmuwan Reivich dan Shatte (Ifdil & Taufik, 2012; dalam Sari, dkk., 2019) yang mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek yang membuat seseorang mampu resilien, yaitu
Emotion regulation