Mohon tunggu...
Mochamad Akhlis Aufalana
Mochamad Akhlis Aufalana Mohon Tunggu... Freelancer - No Risk, No Fun!!

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kelam #2

31 Agustus 2021   20:07 Diperbarui: 31 Agustus 2021   20:15 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 2

...

"Banyak yang bilang kalau kebahagiaan itu ada setelah kita berhasil mencapai fase-fase tertentu," Darso berbicara sambil matanya tertuju pada hamparan sawah di depannya. Dalam kegelapan dia menyalakan rokok, api koreknya bergoyang-goyang diterpa angin.

"Benar apa kataku kan, mas?"

"Kebahagiaan semacam apa yang kau maksud?"

"Entahlah, aku juga tak tahu, pokoknya yang menurut pehamaman kebanyakan orang," belum lagi kutimpali pernyataannya, dia melanjutkan, "Ada yang mengatakan, bila belum bekerja, bekerjalah sampai mapan hingga kau merasa bahagia, bila belum menikah, maka menikahlah agar lebih bahagia, jika sudah menikah dan belum bahagia, milikilah seorang anak agar merasakan apa itu bahagia, serta tujuan-tujuan duniawi lainnya yang menurut orang-orang mampu menciptakan kebahagiaan bila kita telah mencapainya." 

Aku tertegun mendengar ucapan lelaki di depanku. Dihisap rokoknya berkali-kali dengan jeda yang cukup singkat.

"Tapi apalah arti semua pencapaian tersebut jika kita tak menemukan kebahagiaan sama sekali setelah memperolehnya."

"Semua itu tergantung, Darso."

"Tergantung apanya, mas?"

"Diri kita sendiri," kali ini dia menatapku penuh tanda tanya, "Semua capaian yang telah kau sebutkan, takkan ada artinya sama sekali jika kita tak bisa menerimanya sepenuh hati. Sekecil apapun pencapaian itu sendiri," kukatakan sambil menatapnya dalam-dalam.
"Kebanyakan kita terlanjur terbiasa dengan kebahagiaan yang bersyarat, semacam syarat-syarat yang kau sebutkan tadi."
"Iya juga ya, mas. Celakanya lagi, kebahagiaan belum tentu tercapai bila syarat tersebut sudah dipenuhi, seperti kata mas tadi."
Dalam gelap kulihat dia tersenyum walau tak bisa disembunyikannya rasa sakit di pinggang sebelah kirinya.

Darso, oh, Darso. Malang nian nasibmu. Setelah ditemukan terkapar di tengah jalan oleh Suroso; seorang petani tua yang rumahnya tak jauh dari gubuk milik Darso, dan untungnya dengan besar hati dia mau membersihkan luka Darso dengan kaos oblong lusuh milik Suroso. Lelaki penuh tatto itu diberinya minum setelah agak tersadar. Mungkin Suroso kasihan melihat muka Darso yang pucat pasi seakan kehabisan darah. Setelah beberapa saat, ia meninggalkan Darso dengan dirinya bertelanjang dada. Darso hanya sempat berucap lirih, "Terimakasih banyak, Suroso."

Kalau bukan karena Laras mungkin aku tak akan kesini. Setelah aku dan dia selesai mencuci, dia menyarankan untuk mampir ke gubuk Darso. Di sebuah rumah kecil berlantai semen yang mirip dengan gardu pos ini Darso berada, tak begitu luas, terlalu sempit bahkan. Mungkin hanya cukup ditempati empat orang lelaki ketika tidur berjajar rapi, itupun berdesakan. Di dalamnya terdapat tikar dan sepotong kayu yang dipahat sedemikian rupa agar nyaman untuk menyandarkan kepala ketika tidur. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam kuning tepat di tengah-tengahnya, dengan hiasan sarang laba-laba di sekitar bohlam yang menggantung, agaknya cukup untuk menambah kesan suram tempat ini. Pun dengan botol-botol miras berserakan di dalam ruangan yang turut andil membuat sesak dan kumuh. Aku dan Darso duduk di atas dipan di depan rumah, menunggu Laras kembali membawa makan malam buat kami.

Tiba-tiba Darso bangkit menuju ke dalam rumah, diambilnya sebotol anggur yang kemudian disuguhkannya kepadaku.

"Sepertinya mereka suruhan Si Tua bangsat itu," tuturnya.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku pernah melihat mereka berada di rumahnya, bajingan itu mau cari masalah denganku."

Dalam gelap kulihat Laras kembali. Tanpa basa-basi dia langsung menyiapkan makanan ke depan kami. Sebungkus nasi serta beberapa lauk seadanya diletakkan di atas daun pisang, "Lagi ngobrol apa? Ayo makan dulu, Darso pasti lapar," Laras tersenyum, lantas dibalas senyum oleh Darso yang sedikit gelagapan. Malam itu kami bertiga makan, mengisi perut yang kosong dan bergemuruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun