Mohon tunggu...
Mochamad Akhlis Aufalana
Mochamad Akhlis Aufalana Mohon Tunggu... Freelancer - No Risk, No Fun!!

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kelam

31 Agustus 2021   14:47 Diperbarui: 31 Agustus 2021   14:45 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Bab 1

"Bruakkk!!" Tiga lelaki kekar bergegas keluar dari pintu yang telah jebol oleh salah satu dari mereka. Di belakang mereka seorang yang sama-sama bertubuh kekar berambut sepinggang terurai mencoba berlari mengejar, di tangannya sebilah celurit berukuran cukup besar diacungkan.

"Bajingan kalian, kemari lawan aku!" Suara lantangnya membuyar kesunyian. 

"Bangsat, takkan kubiarkan kalian bebas begitu saja," ucap lelaki itu sebelum tersungkur, tangan kirinya penuh darah karena menahan luka akibat sayatan golok di pinggang sebelah kiri. Teriakannya melebur dalam sunyi. 

Pagi datang tanpa ditemani hujan, cuaca hari ini secerah muka anak-anak yang sedang bermain penuh gelak tawa. Matahari akhirnya bisa tersenyum, menemani segenap warga desa; entah yang sedang menikmati kopi maupun teh hangat di warung sambil menghisap rokok, memesan sarapan untuk mengisi perut sebelum beraktifitas, para ibu yang menjinjing sekeranjang pakaian untuk di cuci di sungai atau bahkan seorang pemuda yang berjalan menuntun sapinya.

Ada yang berbeda hari ini. Raut bahagia nampak pada setiap warga desa, keterlaluan bahkan. Mungkin pikir mereka hari ini bisa menghabiskan waktu pagi di luar rumah sejak awal, yang tak pernah bisa mereka lakukan seminggu belakangan ini. 

Kulangkahkan kakiku ke arah sungai, tempat yang kurasa nyaman untuk menyendiri. Kepalaku terasa penuh dan berat.

"Mas! Mau kemana?" suara yang teramat kuhafal, suara Laras. 

"Hei, mas, kok cuma nengok, dijawab dong."

Kutengok lagi gadis itu. Rambutnya berkibar diterpa angin, bajunya yang lusuh tak bisa menutupi kulit indahnya. Kupelankan langkahku.

"Sini," kuambil sekeranjang pakaian yang akan dicucinya di sungai, dibalasnya dengan senyuman manis sambil matanya agak menutup. 

Aku terkesiap dibuatnya. Manis sekali. Tapi sepertinya dia tak sadar. Laras berjalan mendahuluiku.

"Kok tumben pagi-pagi sekali sudah bangun?"

Tak kujawab pertanyaannya.

"Eh, mas mau ke sungai kan, ya? Aku tanya kemana belum dijawab, tau-tau sudah mas ambil keranjangku. Mau bantu Laras?" ucapnya sambil tertawa. Tetap dengan cantiknya.

"Iya, ayo, lihat jalan di depanmu, jatuh baru tahu rasa kau."

"Iih, kok jadi perhatian sama Laras. Ada apa gerangan ini? Hemm.."

"Sudahlah. Ayo cepat keburu ramai nanti."

"Oke, bos."

Darso, seorang yang disegani dan ditakuti di desa ini. Perawakannya yang khas sebagai preman sering menjadi momok bagi sebagian warga. Pagi ini dia ditemukan tergeletak bergelimang darah di pinggir jalan setapak menuju sawah. Tepatnya di jalan bercabang, arah kanan menuju sungai dan ke kiri ke area sawah yang ujungnya pemakaman desa. Seorang lelaki agak tua yang memanggul cangkul yang pertama kali menemukannya. Tanpa rasa takut sedikitpun diseretnya tubuh tak berdaya itu ke rumah kosong di sebelahnya. Ibu-ibu hanya lewat sambil melihatinya, sesekali makian keluar dari mulut mereka.

"Hissh.. rasakan akibatnya."

"Dasar manusia tak berguna."

"Bajingan kena getahnya."

"Biar dia mati sekalian! Kenapa Suroso mau menolongnya sih, kurang kerjaan banget."

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun