Mohon tunggu...
Mochamad Akhlis Aufalana
Mochamad Akhlis Aufalana Mohon Tunggu... Freelancer - No Risk, No Fun!!

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lenyap

27 Agustus 2021   20:53 Diperbarui: 27 Agustus 2021   21:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki bersorban coklat dihadapanku mendengarkan dengan seksama, lalu tersenyum saat aku selesai berbicara. Setelah itu, hal yang mengejutkan kuketahui darinya. Ia menceritakan kehidupannya terlebih dahulu sebelum menanggapi permasalahanku. Lelaki itu bernama pak Arif, sudah 15 tahun lebih hidup sendiri. Bukan karena belum menikah melainkan karena istrinya sudah terlebih dahulu meninggalkannya menemui Sang Ilahi.

“Pasti kau heran mengapa aku tak mencari istri lagi, bukannya aku tak mau, aku sama sekali belum bisa. Rasanya Tuhan hanya menciptakan dia seorang. Dan menurutku tak ada lagi yang bisa seperti istriku,”

Matanya mulai berair. Lelaki yang malang, dia menikah di usia yang cukup tua menurutku, 35 tahun. Baru seminggu hidup bersama sang istri, kabar buruk datang menghampiri. Istrinya mengidap penyakit yang serius, yang hanya memungkinkan dirinya untuk hidup tidak lebih dari sebulan. Pak Arif bercerita sambil sesekali menyeka kedua matanya yang sedikit basah.

”Apa kau tahu anakku. Tak ada sedikitpun rasa sesal menghampiri saat kupilih dia sebagai teman hidupku, walau ku tahu usianya tak akan lama. Telah ku rasakan betapa tulusnya dia mencintaiku, menerimaku dengan segala bentuk kekurangan yang ada padaku,” pungkasnya dengan berlinang air mata.

Lalu dia menatapku serius, “Dan untukmu, jika kau rasa pilihanmu sudah tepat, lanjutkanlah. Jangan biarkan rasa bimbang menghalangimu,” tambahnya.

Malam dingin khas kota ini mulai terasa. Suara seorang pemuda melantunkan ayat suci dari pojok masjid terdengar lantang, mengiringi kami berdua bertukar cerita. Dengan sedikit sisa senyuman di wajahnya, pak Arif berkata padaku, ”Anakku, teruslah kau cari kekasihmu itu. Jika kau yakin bahwa Rishamu masih hidup sampai kini, tunjukkan pada Allah keseriusanmu dalam mencarinya. Yakinkan Dia bahwa pilihanmu hanya pada perempuan itu. Jika Allah berkenan, pasti pertemuan akan segera kau dapatkan.”

Kurasakan kata-kata itu seperti terucap dari bapakku sendiri. Lagi-lagi aku menangis, keras sekali saat itu. Ditepuknya pundakku sambil mencoba menenangkanku. Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Hampir satu jam lebih kuhabiskan waktuku di masjid dengan seseorang yang begitu hebat di mataku.

Tak mau lagi aku bertanya lebih jauh tentang istrinya. Aku takut membuatnya kembali bersedih. Darinya aku belajar untuk tak patah harapan dan darinya pula semangatku untuk terus mencari Risha semakin menggelora. Setelah kurasa cukup, aku pamit undur diri seraya berterimakasih pada pak Arif yang telah memantapkan niatku. Kuminta nomor teleponnya, berharap diberi kesempatan lagi untuk bertemu dengannya.

Rasa lapar mulai mengingatkan, sedari pagi aku belum makan sama sekali.  Kunyalakan motorku, tetapi segera kumatikan lagi karena melihat warung makan di seberang jalan tepat di depan masjid. Tiba-tiba saja kuteringat ucapan Risha, waktu dia baru saja menyelesaikan kuliahnya lebih dulu dariku, masih begitu hangat di ingatan, 

“Mas, jangan dulu kau pikirkan tentangku, selesaikan kuliahmu. Entah seberapa lama pun engkau, aku tak akan lelah menunggumu datang ke rumah sambil kau minta izin pada keluarga untuk meminangku.”

Suara yang begitu kurindukan saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun