Kurikulum merdeka, menjadi salah satu permasalahan yang banyak dialami oleh para pelaku pendidikan, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Sudah sering  disampaikan oleh para pelaku, pengamat, dan juga para ahli, baik permasalahan secara konseptual maupun implementasinya di lapangan.Â
Sebagai salah seorang pelaku, saya sendiri seringkali mengungkapkannya di media sosial maupun secara langsung di forum-forum yang dibentuk dengan tujuan memenuhi tuntutan berkaitan implementasi kurikulum merdeka ini. Forum yang dibentuk kemudian diberi nama sesuai arahan dari atas, yaitu Komunitas Belajar. Di dalamnya harus ada struktur kepengurusan dan anggota, program kegiatan, laporan, dan ada administrasi lengkap dengan bukti fisiknya.
Sebagai pelaksana alias operator kurikulum di sekolah, maka sedapat mungkin saya laksanakan sesuai dengan yang digariskan, ada pedomannya yang bisa saya ikuti. Akan tetapi sebagai Individu yang berpikir, dan ini diperbolehkan dalam prakteknya, sayapun kerap kali merasakan adanya perbedaan yang seringkali tidak sesuai dengan konsep atau tidak sesuai dengan pemikiran pribadi saya.Â
Nah, di sinilah perbedaan saya dalam mengungkapkan pikiranterkait Kurikuum Merdeka.Â
Jika yang saya rasakan adalah sesuatu yang memang sudah paten dari atas sana, dan saya tidak mungkin mengubahnya, maka pemikiran saya itu akan saya ungkapkan di Media sosial. Sebaliknya, jika yang tidak sesuai itu adalah hal-hal yang bisa diubah atau diimprovisasi, maka akan saya sampaikan sebagai bahan untuk perbaikan di Komunitas Belajar.Â
Anda bisa cek di media sosial, banyak sekali guru-guru yang berkeluh kesah soal implementasi kurikulum merdeka ini, bahkan tak sedikit yang terang-terangan berpendapat negatif. Namun coba juga Anda lihat, ketika sedang berada di atau sekedar berkomentar di Komunitas Resmi yang diketahui atau dipantau oleh regulator pendidikan negeri ini, komentarnya cenderung kalem, positif, puja-puji, dan baik-baik saja.Â
Begitupun dengan saya ... ahayy....
Kali ini, tulisan saya ini berkaitan dengan status saya sebagai operator kurikulum, meskipun secara pribadi kurang setuju, akan tetapi sebagai ujung tombak yang menentukan keberhasilan program, maka sayapun harus profesional. Tugas sesuai program tetap dijalankan. Salah satunya dengan menyampaikan permasalahan yang ada dan mencoba mencari solusinya.Â
Salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh para guru adalah dalam menerapkan pengelolaan kelas, atau bahasa kerennya menajemen kelas. Di dalamnya terdapat sub bagian atau topik pengelolaan pembelajaran. Konsep merdeka belajar yang menekankan pada kebebasan peserta didik dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran (berpusat pada siswa), banyak memunculkan permasalahan.Â
Yang saya alami, banyak diantara mereka (peserta didik) belum paham tujuan mereka belajar, bahkan ketika sudah dibantu dengan penjelasan oleh guru tentang manfaatnya, baik manfaat yang remeh temeh sebesar upil cuwil sampai manfaat yang seluas tujuh benua dan samudera di dunia, sampai manfaat di akhirat kelak. Dalam bahasa kurikulum ini, peserta didik belum memahami kebutuhannya, bahkan jangankan paham, tahu saja belum. Sehingga, motivasi belajarnya juga kurang.Â
Sebagai dampak lanjutannya, proses pembelajaran di dalam kelas membutuhkan energi ekstra, karena saya harus banyak mencari model, metode, teknik, alat, dan bahan pembelajaran. Karena karakteristik siswa saya yang kemampuan literasi dan numerasinya masih sangat rendah. Rapor Pendidikan sekolah kami mencatat nilai mereka baru mencapai 25%.
Dampak berantainya adalah pemahaman mereka terhadap bacaan terkait dengan materi pembelajaran juga minim. Di sisi mereka, kebosanan mudah melanda ketika diajak membaca dan menulis. Meskipun sudah menggunakan alat bantu seperti LCD Proyektor, gadget, dan buku paket, serta lembar kerja (yang dibuat oleh saya sendiri maupun yang saya beli dari penerbit). Selain itu juga dibantu dengan permainan-permainan.Â
Pendeknya, pembelajaran di kelas menjadi salah satu hal yang membosankan kendati para guru sudah menerapkan diversifikasi dan diferensiasi (proses, materi, teknis asesmen dll) pembelajaran dan lain-lain seperti yang sudah sering disarankan dalam diklat di berbagai komunitas belajar.
Tapi mohon maaf, data statistiknya tidak saya sebutkan secara terperinci, terlalu ribet dan terlalu ilmiah, toh ini baru opini, meskipun masih dibalut sebagai opini seorang profesional. Dan lagi, meskipun sekarang ini yang dituntut sebagai profesional adalah berbicara berdasarkan data dan fakta.
Kali ini saya mencoba menerapkan lebih banyak pembelajaran luar ruang (outdoor Study). Kami (tak hanya saya) menerapkan jadwal pelajaran klasikal yang lebih sedikit, dan fokus pada upaya perbaikan kemampuan literasi dan numerasi sesuai rapor pendidikan dan sesuai dengan visi misi sekolah.Â
Visi utamanya adalah Religius, kami perbanyak kegiatan belajar membaca Al Qur'an dan bacaan sholat serta doa-doa lainnya. Pada awal hari, sebelum masuk kelas, kami berkumpul bersama di halaman, semua siswa dan guru berkumpul lebih lama dari biasanya. jika umumnya apel pagi dilaksanakan antara 10 - 15 menit, kami tambahkan sampai kira-kira 20-30 menit.
Kemudian di siang hari, usai istirahat kedua, kami melaksanakan shalat berjamaah di mushala. Setelahnya, kembali kami mengajak mereka belajar membaca Al Qur'an dan sebagainya itu. Jika biasanya tanpa wiridan, kali ini ditambah sedikit doa / wirid, sesuai dengan kebiasaan di beberapa masjid dan mushala di sekitar sekolah.Â
Terkait dengan materi pelajaran, kami perbanyak materi yang terakit dengan kemampuan literasi dan numerasi dasar. Bacaan tidak perlu yang berat-berat, cukup kisah-kisah atau artikel-artikel ringan, sesuai tahap pemahaman mereka yang baru mencapai "menemukan informasi".Â
Hasilnya ? mari kita tunggu saja beberapa hari atau pekan ke depan, semoga saja ada perbedaan signifikan dalah hal motivasi belajar.
Matur nuwun.Â
Ngaliyan 202409241430
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H