Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu 2024 dalam Perspektif Perubahan Sosial dan Kebudayaan

4 April 2023   21:43 Diperbarui: 17 April 2023   11:45 2157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Proses pelipatan surat suara pemilu. (Foto: KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Berdasarkan Prosesnya, Perubahan Sosial dan Kebudayaan dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu Perubahan yang direncanakan dan Perubahan yang Tidak Direncanakan (Spontan). 

Contoh yang dikemukakan di dalam pembahasan tentang perubahan sosial dan kebudayaan di Buku Paket IPS kelas IX, menyebutkan antara lain Progran Pembangunan yang dilaksanakan pada era Orde Baru, yaitu Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), sebagai bentuk nyata dari perubahan yang direncanakan.

Sedangkan contoh perubahan yang tidak direncanakan, disebutkan beberapa perubahan yang disebabkan oleh bencana, baik bencana alam maupun bemcana sosial.

Bertolak dari contoh tersebut, saya jadi terpiikir tentang perbedaan situasi masa lalu dan masa kini. Terlepas dari plus minus yang ada dalam pelaksanaannya.

Jika dilihat dari kemudahan pemahamannya, sangat terasa bahwa program pembangunan nasional era orde baru sangat mudah dipahami sebagai sebuah rencana perubahan. 

Mulai dari namanya, sudah jelas terpampang kata "Rencana", sebuah kata yang sangat membumi dan lugas menunjukkan bahwa itu adalah "Apa yang akan dilakukan". Berbeda dengan kata "Program" yang maknanya lebih luas dan kompleks. 

Dengan makna yang lugas dan tegas, siswa tidak perlu berpikir terlalu banyak untuk memahaminya, dan ini sangat membantu guru dalam membedakan kedua jenis perubahan berdasarkan prosesnya. 

Memang kemudian siswa menjadi kurang kreatif untuk mencari contoh lain  yang nyata, khususnya jika diminta merujuk pada kondisi nyata di masa kini. Mereka sangat tidak familier dengan program pembangunan nasional di masa kini. 

Jika merujuk pada kondisi terkini dalam kehidupan sehari-hari, informasi di media mainstream dan media sosial sarat dengan situasi politik nasional. Hiruk pikuk pencalonan presiden untuk periode berikutnya begitu ramai. 

Namun, alih-alih integrasi program nasional  dengan materi pendidikan di sekolah, agar programnya berjalan dengan sukses, hajat besar lima tahunan yang merupakan langkah awal untuk perubahan nasional itu  sepertinya belum begitu kelihatan agenda sosialisasi untuk kalangan pemilih pemula. 

Kurikulum merdeka, khususnya di fase D (Kurikulum tingkat SMP) sangat terbuka untuk memasukkan  atau mengintegrasikan pendidikan politik di dalamnya. 

Selain pengetahuan tentang proses politik kenegaraan, perlu juga pengetahuan tentang sikap-sikap yang perlu dimiliki dan dikembangkan agar suasana kehidupan yang harmonis dapat terjaga dalam situasi yang panas seperti hari-hari belakangan ini. 

Eskhalasi politik yang pastinya akan semakin panas di tahun depan perlu diantisipasi sejak dini. Di sinilah peran dunia pendidikan formal (sekolah) dapat menjadi sentral. 

Para siswa sebagai calon pemilih pemula yang baru akan mulai mengenal secara langsung proses politik kenegaraan pada tahun depan, adalah pelaku utama perubahan (sosial dan budaya) di masa yang akan datang. 

Sebagai guru IPS yang kebetulan suka mencermati kondisi politik, situasi politikan akhir-akhir ini,  khususnya sejak 2 periode terakhir, menjadi sesuatu yang memprihatinkan. 

Minimnya pengetahuan dan  pemahaman para siswa terhadap proses politik dan perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat rentan disusupi paham-paham dan praktik politik yang kurang baik, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai idealisme. 

Salah satu sebabnya adalah minimnya integrasi aspek-aspek terkait proses politik kenegaraan dengan materi pembelajaran. Proses politik hanya dipahami sebagai sebuah pengetahuan, bukan sebagai pengalaman yang berimplikasi secara langsung pada kehidupannya. 

Di sinilah, saya mencoba berimprovisasi dengan memasukkan "Proses Pemilu" sebagai contoh bentuk perubahan yang direncanakan. 

Bahkan, pemilulah yang menjadi pintu gerbang atau tahap awal perubahan sosial dan kebudayaan pada lima tahun atau beberapa puluh tahun ke depan. 

Semoga saja, chaos sebagaimana yang diramalkan akan bisa terjadi di Oktober 2024, tidak pernah akan terjadi. 

Suksesi kepemimpinan pasti dapat berjalan dengan tertib dan damai jika masyarakatnya sudah cerdas dalam arti kata yang sebenarnya, bukan hanya retorika yang menjadi milik golongan tertentu. 

Masyarakat yang cerdas tentu saja tidak akan mudah dipengaruhi, apa lagi disusupi dan disetir oleh pihak-pihak yang berniat mencari keuntungan pribadi dan golongan. 

Masyarakat yang paham proses politik yang sehat dan demokratis untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara. 

Wallahu'alam... 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun