Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Merdeka Meng(administrasi)ajar

30 Oktober 2022   21:28 Diperbarui: 30 Oktober 2022   21:39 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perangkat mengajar atau perangkat pembelajaran, hingga hari ini sepertinya masih menjadi momok bagi guru, meskipun sudah ada edaran dari menteri pendidikan tentang penyederhanaan RPP, yang dikenal dengan RPP Selembar. 

Juga di dalam Implementasi Kurikulum Merdeka, sudah ada pilihan untuk menggunakan Perangkat Ajar atau modul yang disusun oleh guru lain yang dibagi pakai secara daring. Bahkan ada aplikasi yang di dalamnya menyediakan perangkat pembelajaran u tuk diunduh. 

Penyebab munculnya momok dapat dikategorikan dalam setidaknya 3 segi, yakni dari dalam diri guru sendiri, dari atasan, dan dari sistem yang berlaku.

Dari dalam diri guru dapat diidentifikasi antara lain berupa kurangnya disiplin dalam melaksanakan tugas. Penyusunan perangkat administrasi pembelajaran ini secara teoritis dan idealis dilaksanakan sebelum pelaksanaan pembelajaran. Itu berarti minimal pada malam hari sebelumnya guru menyusun Rencana Kegiatan Pembelajaran. Maksimalnya, pada awal semester guru sudah menyusun semua perangkat yang akan digunakan dalam pembelajaran. 

Terlepas dari logis dan tidaknya, selama ini di lapangan prosesnya demikian. Meskipun sudah tersusun lengkap, alih-alih digunakan saat pembelajaran, yang ada hampir semua perangkat tersebut sampai bertahun kemudian kondisinya masih tetap mulus seperti saat disusun.

 Kegiatan bersama yang memakan waktu sedikitnya 3 hari sampai 5 hari hanya berhenti sampai tujuan kegiatannya tercapai, yaitu tersedianya perangkat mengajar untuk satu semester. Dan jika semua perangkat itu ditumpuk, tingginya mencapai 30 Cm per guru. 

Guru yang disiplin dan ideal, pastinya sudah paham apa yang akan dilakukan besok pagi, jika secara mendadak malam ini ditanya oleh pengawas atau oleh kepala sekolah, maka jawaban  yang pasti dan terperinci akan mudah keluar dengan lancar, seperti ketika Anies Baswedan diwawancarai atau berdiskusi dengan para intelektual  di berbagai kesempatan. 

Sebab kedua yang menjadikan perangkat pembelajaran menjadi momok adalah tekanan dari atasan, yaitu Pengawas dan Kepala Sekolah. Umumnya, pengawas lebih disegani (ditakuti) daripada Kepala Sekolah. Mungkin karena Kepala Sekolah lebih berperan sebagai rekan kerja sehari-hari, sedangkan Pengawas sekolah sudah identik dengan nama jabatannya, yakni mengawasi kinerja sekolah. 

Segala sesuatu terkait kinerja, baik sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, sarpras, bahkan sampai komite dan orang tua siswa, semua  harus ada bukti fisiknya yang dapat dilihat dan diukur. Sangat logis dan normatif memang. Tapi tetap ada tapinya, dan ini terkait dengan sebab munculnya momok yang ketiga. 

Sistem. Baik sistem pendidikan secara keseluruhan maupun sistem kerja dalam arti penjenjangan karir guru. Kita bisa membayangkan seberapa banyak dokumen yang harus dibuat dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Selain mendidik dan mengajar, guru juga punya kewajiban mengembangkan diri, yang mana waktunya harus dilaksanakan di luar jam kerja. Bayangkan, melaksanakan kegiatan di luar jam kerja tetapi harus melaksanakan kewajiban terkait karir dalam pekerjaan. Sementara, pekerjaan pokok hariannya nyaris tidak mungkin diselesaikan dalam hari yang sama.

Begitulah, Pengawas bekerja dengan berpedoman pada UU dan Peraturan lainnya. Meskipun ada surat edaran resmi dari menteri untuk menyederhanakan perangkat administrasi, tetapi untuk kepentingan penilaian kinerja guru, dibutuhkan bukti fisik sesuai landasan penilaiannya. 

Absurd, utopis, apatis, ambigu atau apalah apalah istilahnya...  masalah pendidikan ini tampaknya makin ruwet seruwet konseptornya. Angin surga perbaikan nasib guru dan peningkatan kualitas pendidikan kembali terbukti hanyalah retorika lima tahunan. 

Sebenarnya tulisan ini hanyalah alasan pembenaran atas ketidaktertiban penulis yang hingga beberapa tahun ini tak juga mengajukan kenaikan pangkat, karena persyaratan pemenuhannya yang serasa  meroket melangit ketujuh...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun