Guru masa lalu, guru masa kini, dan guru masa depan, masing-masing memiliki standar dan tuntutan yang berbeda tergantung pada situasi dan kondisi yang melingkupi pada masanya masing-masing.
Setelah sekian tahun, tepatnya 15 tahun nanti di Bulan April 2020, merasakan bekerja sebagai aparatur sipil negara dengan status jabatan fungsional guru, makin ke sini tuntutan profesionalismenya semakin tinggi. Dibarengi dengan berbagai tuntutan pemenuhan kebutuhan sebagai ekses dari peningkatan profesionalisme itu sendiri.
Yang akan saya ceritakan ASN yang jabatan fungsionalnya guru, sesuai apa yang saya alami dan saya geluti selama ini, untuk menghindari terjadinya missing link jika berbicara tentang ASN secara umum atau guru secara umum. Dan ini bukanlah tulisan ilmiah, meski sebenarnya bisa saja ditelaah secara ilmiah.
Tuntutan tak hanya datang langsung dari pemberi kerja yang tertuang dalam berbagai peraturan resmi seperti UU, Perpres, Permen, PP, Pergub, Perda, Perbup, Perkab, dan sampai peraturan yang terrendah mungkin SK Kepala Sekolah, tetapi tuntutan juga datang dari pekerjaan yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi tuntutan pekerjaan. Jika dicermati ternyata ketika diurai dan disusun secara hierarkis "rantai tuntutan", #analogi rantai makanan, membentuk piramida yang dasarnya makin melebar ke samping kiri dan kanan serta semakin dalam munghunjam ke bawah manakala prasayarat pemenuhan tuntutan belum terpenuhi.
Nah, rumit ya ? hehe...
Begini contohnya, ketika dituntut untuk mengajar peserta didik menggunakan Kurikulum 2013, maka seorang guru, eh. guru ASN, karena yang sedang dibicarakan ASN, dituntut harus menguasai komputer. Itu baru tuntutan tingkat pertama dan kedua, sedangkan tuntutan ketiga dan seterusnya adalah : guru (ASN) harus memiliki komputer, harus menyediakan waktu untuk merawat komputer, harus menyediakan tambahan pulsa listrik, harus memahami prosedur penyusunan laporan yang tertuang di dalam beberapa Permendikbud, dan seterusnya.
Jika tuntutan untuk menguasai komputer belum terpenuhi, maka rantai tuntutannya akan bertambah semakin panjang, ikut diklat berhari-hari, membuat laporannya, yang berarti harus beli modul, beli tinta dan kertas, flashdisk, rol kabel, kopi dan snack untuk "cagak lek" dan seterusnya dan sebagainya.
Sebagai sorang guru (ASN) yag profesional maka juga harus memahami banyak peraturan. Setiap peraturan berbeda tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Misalnya untuk kebutuhan kenaikan pangkat, makai harus mempelajari dulu peraturannya, dan peraturan yang dipelajari harus disesuaikan dengan instansi yang menaungi. Jika di bawah kemendiknas ada aturan permendiknas, jika di bawah kemenag ada permenag dan ada juga kepmen. Selain itu ada UU yang menaungi seluruh ASN, ada juga UU yang menaungi seluruh guru, baik ASN maupun non ASN.
Mau tidak mau memang seperti itu keadaannya, yang lazimnya disebut sebagai sistem, yang sudah dipikirkan dengan matang oleh para pemikir di atas sana sebelum diterapkan di lapangan. Bagaimana prosedurnya sampai diterapkan tentunya memerlukan analisis yang njlimet dan rumit serta berdasarkan aneka macam pertimbangan yang pastinya banyak hal yang di luar pemikiran saya sebagai penerima kerja, ASN profesional !.
Nah, yang perlu penekankan di sini menurut saya adalah makna Profesionalisme. Sebagai tenaga profesional tentunya aspek rasional menjadi perrtimbangan yang mendasar. Saat melaksanakan pekerjaan dari pemberi kerja tentunya sudah ada semacam kontrak kerja dan prosedur serta standar hasil pekerjaan. Standar pekerjaan juga tentunya sudah diukur melalui proses analisis menyangkut waktu pemenuhan, biaya yang dibutuhkan dan kualitas pekerjaan serta asepk-aspek lain yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung.