Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Quick Count Ala Anak SMP

19 April 2019   00:19 Diperbarui: 19 April 2019   00:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Quick Count Pemilu 2019 ala anak SMP


Di kelas 7, saat mengajar materi kependudukan / Sumber Daya Manusia, saya sudah berulangkali menjelaskan tentang metode survai untuk mengetahui jumlah penduduk di suatu wilayah. Saat saya jelaskan, anak-anak tampak begitu menikmatinya dan sepertinya dapat menangkap penjelasan saya, meskipun ketika harus mengungkapkan kembali mengalami sedikit kesulitan karena keterbatasan penguasaan bahasa.

Heboh tentang hasil hitung cepat pilpres yang ditayangkan di televisi sedikit mengusik pikiran saya. Mengapa ?
Jika anak-anak saja bisa memahami proses yang saya jelaskan dengan bahasa sederhana, untuk apa penjelasan dari pakar-pakar yang tingkatannya sudah level dewa ? Malah makin nggak karuan kan jadinya ? 

Dengan bumbu ilmu statistik dan berbagai metode perhitungannya, interpretasi datanya juga makin terlihat wah, intelek banget dah pokoknya. Apalagi ketika ada kepentingan di baliknya, makin puyeng orang-orang yang tak terbiasa, sehingga tanpa sadar mereka terhipnotis pada alur pikiran si pakar, alhasil manggut-manggutlah reaksi spontan para pemirsa di rumah.

Parahnya adalah ketika reaksi berantainya berupa update status medsos dengan bullying pada paslon yang tak disukainya, dengan bahasa yang juga tak elok di indera kita.

Sebenarnya sudah agak terlambat artikel yang saya buat ini, tapi tak apalah, setidaknya bisa kita terapkan lagi beberapa tahun (nggak sampai 5 tahun) ke depan saat pilkada, agar tak bego-bego amat menyikapi quick count.

Analogikan saja wilayah yang kita hitung seperti di RT atau Desa saja, nggak usah terlalu luas. sampel TPS yang akan dihitung suaranya adalah ibarat sampel rumah yang ada di RT kita. Jika di RT kita ada 25 rumah, cukup ambil sampel 5-6 rumah saja secara acak, masing-masing rumah sampel itu hitung penghuninya ada berapa, misalnya rumah A ada 4 orang, B ada 5 orang, C ada 3 orang, D ada 6 orang, dan E berpenghuni 2 orang. Jadi totalnya
ada 4+5+3+6+2= 20 orang, sehingga diperoleh rata-rata per rumah ada = 20/5 = 4 orang. Jika di RT itu ada 25 rumah berarti jumlah penduduk RT kurang lebih = 25 x 4 = 100 orang. Mudah kan ?

Sekarang coba bayangkan, jika ada acara pilihan ketua RT dan penghitungannya dengan cara survai seperti di atas, bagaimana hasilnya ? 

Misalnya di Rumah A yang menang petahana, di rumah B juga petahana, di rumah C yang menang penantang, di rumah D petahana dan di rumah E Penantang. Komposisinya 3 : 2 rumah dengan pemenang petahana.

Agar lebih meyakinkan, dibuat rinciannya, di rumah A petahana dapat 3 suara, di rumah B = 3 suara dan seterusnya, maka hasil akhir petahana unggul. Agar tidak terlalu vulgar dan lebih ilmiah, konversikan angka verbal ke dalam prosentase sehingga keunggulan petahana di rumah A = 3/4x100% = 75% dan seterusnya. Jadi komposisi suara pilihan RT di display menjadi 75% vs 25%, mentereng kan ?

Nah, kalau penantang kok berani deklarasi kemenangan dengan data yang dimiliki, bagaimana logikanya ? Sampean bisa mikir dan ngitung sendiri kan ? m[o]angg[o]a, nggak usah pakai jasa ahli, wong hanya dengan modal hp dan keliling door to door atau tanya-tanya saja sudah bisa kok, 25 rumah itu nggak sampai sejam kelar. ... hehehe...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun