Sekolah dituntut untuk melaksanakan kegìatan literasi dengan basis gerakan yang bervariasi, ada yang berbasis sekolah, kelas, mata pelajaran, guru dan tendik, bahkan juga linbkungan rumah.Â
Aneh, kan? Gerakan sekolah tapi berbasis tempat tinggal siswa. Tapi, ya ben wae, lah, bisa apa sih guru dikdas di sekolah ndesa, lagpula, bentar lagi juga ganti kebijakan.Â
GLS berbasis sekolah yang paling umum adalah gerakan membaca buku di luar jam pelajaran reguler. Â Ide ini awalnya dari Mendikbud saat dijabat oleh Anies Baswedan, yang menginstruksikan agar siswa dibiasakan membaca buku selama limabelas menit sebelum mulai kegiatan pembelajaran.Â
Bagus? Tentu saja, bukan hanya bagus, bahkan  sangat bagus! Tapi efektifkah dalam pelaksanaannya?Â
Jika pertanyaan ini adalah kuisioner dalam akreditasi sekolah atau penilaian kinerja (kepala) sekolah, maka hampir semua sekolah memiliki jawaban lengkap, berupa laporan kegiatan dan bukti fisiknya, bahkan hasil kegiatan beserta nilainya.Â
Selain di waktu pagi, diberikan juga alternatif di waktu istirahat. Siswa dianjurkan mengunjungi perpustakaan dan meminjam buku untuk dibaca di tempat ataudibawa pulang.Â
Sekali lagi pertanyaan yang sama kita ajukan, "efektifkah pelaksanaannya?" dan tentu saja jawabannya juga sama, lengkap dengan tetek bengeknya.Â
Pagi sudah baca buku, istirahat juga baca buku, kira-kira kapan lagi anak-anak 'harus' baca buku? Sebelum pulang, setelah sampai di rumah, sore hari, malam hari atau kapan lagi?Â
Begitu semangatnya mengadakan sebuah gerakan baru, sampai lupa bahwa anak-anak juga manusia, yang punya keinginan dan kesenangan, yang punya dunia lain selain tentang membaca atau berliterasi baca tulis dan sastra tekstual.Â
Dan yang terpenting, lupa bahwa inti dari pembelajaran adalah memerdekakan, sesuai jiwa kurikulum merdeka. Juga prinsip pembelajaran yang berpusat pada siswa. Penyusunan program juga harus memperhatikan kebutuhan siswa. Â
Siapa?