Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggiring Opini dan Mestakung

18 Juni 2017   07:08 Diperbarui: 18 Juni 2017   08:25 1580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita cermati, beberapa facebooker, kompasianer dan blogger serta para writer di platform manapun mereka berkarya dan memiliki banyak pengikut, sangat ahli dalam membuat status maupun tulisan yang akan berdampak tergiringnya opini khalayak. Bahkan ada juga yang mampu menggiringnya ke dua sampai tiga arah yang berbeda. Merupakan sebuah kemampuan berfikir dan berbahasa yang sangat kompleks, membutuhkan kematangan pengalaman dan praktek yang panjang sebagaimana ahli komunikasi publik dan periklanan dalam membuat iklan yang efektif, terlepas dari tujuannya baik atau tidak. Di facebook kita kenal ada Tere Liye, Muhamad Hosen Hutagalung, Nadirsyah Husen, Jonru, KH. Arifin Ilham, hingga yang terkini dan fenomenal Afi Nihaya Faradisa (yang terakhir ini saya ambil dari banyaknya audience yang jadi follower, bukan dari faktor kematangan dan pengalaman). 

Kemampuan menggiring opini mungkin sebenarnya ada ilmunya, hanya saja saya belum mengetahui apa nama cabang ilmunya. Jadi tulisan ini disusun dengan tanpa dasar referensi ilmiah yang menjadi acuan, dan kemungkinan besar untuk terjadinya kekeliruan pendapat, statemen atau analisa sangat terbuka lebar. Tak masalah bagi saya, meskipun mungkin nantinya akan mendatangkan masalah karena perbedaan sudut pandang atau yang lebih parahnya adalah karena kepicikan saya.

Berkaitan dengan opini khalayak, bisa jadi di sini ada peran teori Quantum atau Mestakung-nya Profesor Fisika kebanggan kita, Johanes Surya. Kekuatan pikiran para penulis, tentu saja sudah kita maklumi adanya sebagai sesuatu yang mutlak adanya. Dari sanalah muncul tulisan-tulisan yang memiliki kemampuan mengubah komposisi alam semesta untuk bergerak sesuai pikiran sang penulis. Jadi bukan tulisannya, tapi kekuatan pikiran sebelum tertuang menjadi sebuah tulisan yang utuh. 

Prosesnya dimulai dari munculnya ide, di sini penulis seperti menemukan unsur-unsur semesta yang nanti akan bisa digerakkan. Setelah itu penulis melakukan pengembangan ide dengan mencoba menuliskan ide tersebut dalam berbagai kemungkinan, ini seperti sedang mencoba menggerakkan unsur-unsur yang sudah terkumpul tadi ke berbagai arah seperti yang dikehendakinya dan seberapa besar kekuatan dan kecepatan pergerakannya yang tentu saja melalui fase trial and error. Baru dalam proses editing kalimat nanti penulis akan menemukan faktor-faktor pendukung pergerakan semesta sehingga bisa lebih presisi seperti yang diinginkannya. 

Dengan seringnya melakukan proses tersebut, seorang penulis jadi makin mahir mengolah kata dan kalimat yang nantinya akan menggerakkan unsur semesta yang sudah dikuasai sifat dan kecenderungannya. Sehingga tidak aneh apabila meskipun hanya beberapa kata dan kalimat pendek hasil pengamatan sekilas, akan mampu menggiring audience berbondong-bondong mengacungkan jempolnya, tinjunya ke udara, atau jari tengah, kelingking bahkan sampai sumpah serapah dan ayunan pedang dan dentuman meriam. 

Untuk "membuktikan teori" tersebut (...hihihi...) saya mencobanya secara sederhana. Beberapa kali sebelum saya buat status, saya pikirkan kemungkinan sikap umum yang akan muncul berkaitan dengan masalah yang akan distatuskan. Saya coba dengan sesuatu yang sedang menjadi trending topik, baik itu kasus, peristiwa atau sekedar opini. Dengan susunan kalimat yang dibongkar pasang, saya bisa menemukan komposisi kalimat yang bisa saya perkirakan arah komentar teman-teman saya sesuai dengan karakter dan kebiasaannya.

Ada yang hanya suka merespon berdasarkan apa yang tertulis, ada yang merespon berdasarkan kebiasannya membaca makna keseluruhan dari permainan kalimat saya, dan ada yang terbiasa kritis dan bisa menemukan antitesa dari makna kalimat yang saya susun. Sederhananya, saya menyusun kalimat yang multi tafsir dan saya perkirakan tafsiran-tafsiran yang muncul. Hasilnya ternyata benar-benar mendekati apa yang saya inginkan, meskipun kadang agak lama menunggu respon-respon berupa komentar yang sifatnya memerlukan pemikiran dan keberanian untuk mengungkapkannya, mengingat sekarang ini konsekuensi status dan komentar di medsos memiliki risiko yang tinggi. 

Mau coba ? hehehe....

_____________________________________

 #Awas tergiring opini di status percobaanku hahahahaaa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun