Mohon tunggu...
Madeline Metta Tanudjaja
Madeline Metta Tanudjaja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggaran Regulasi di Balik Tembok Isolasi

12 Mei 2022   14:55 Diperbarui: 12 Mei 2022   15:20 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak 2020, Wisma Atlet Kemayoran Jakarta dialihfungsikan menjadi Rumah Sakit Darurat Covid-19 guna meredam penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Wisma Atlet yang merupakan salah satu upaya pemerintah menangani meluasnya penyebaran virus Covid-19 ternyata tidak luput dari berbagai kasus. 

Tidak banyak kasus yang diliput oleh media, mengingat terbatasnya akses di Wisma Atlet. Salah satu kasus yang sempat viral yakni terjadi pada bulan Desember 2020 lalu. Seorang pasien yang terpapar virus dan tengah menjalani perawatan di Wisma Atlet ternyata diam-diam melakukan hubungan seksual dengan seorang perawat di sana. 

Hubungan sesama jenis ini terbongkar ketika pelaku, JN, mengunggah tangkapan layar riwayat chat WhatsApp dan potret alat pelindung diri (APD) perawat yang terlepas pada media sosial Twitter.

Postingan viral tersebut membuat publik gempar, mengingat Wisma Atlet yang seharusnya menjaga protokol kesehatan (prokes) dengan ketat, ternyata masih luput dari pengawasan yang ada. Kasus viral selanjutnya menyeret nama seorang selebgram, Rachel Vennya. Rachel kabur dan tidak menjalani karantina selepas kembali dari Amerika Serikat (AS). 

Padahal, karantina menjadi aktivitas yang wajib dilakukan setelah seseorang bepergian dari  luar Indonesia, dimana karantina bertujuan untuk memantau, mengendalikan, dan mengevaluasi guna mencegah peningkatan infeksi Covid-19 (Sudianto et al., Februari 2022:142). 

Isu tersebut ramai membuat publik geram karena adanya pengakuan dari Rachel Vennya yang memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Tangerang dan mengakui dirinya memberikan uang Rp 40 juta kepada protokol Bandara Ovelina untuk menghindari karantina. 

Kasus lainnya merupakan kasus seorang pasien Covid-19 varian Omicron yang kabur dari karantina Wisma Atlet karena pergi dengan keluarganya. Dari berbagai kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa perdebatan mengenai masalah kesehatan masyarakat selalu berkaitan dengan ketegangan antara kebebasan individu dan kebaikan kolektif (Nixon, 2022:35).

Adanya kasus-kasus yang terjadi di dalam lingkup wisma atlet merupakan ketimpangan dari tujuan awalnya sebagai rumah sakit darurat Covid-19. Mengingat, virus Covid-19 merupakan virus yang tidak bisa kita sepelekan. Ketimpangan-ketimpangan ini perlu menjadi perhatian pemerintah bahwa pengalihfungsian wisma atlet kurang berjalan sesuai tujuan semestinya. 

Interaksi pasien dengan perawat diluar alasan medis serta kaburnya seorang pasien tersebut mengindikasikan adanya kelonggaran penjagaan dan aturan pemonitoran pasien yang sedang menjalankan isolasi (Trigono,dkk (2021:703). 

Dari sedemikian kasus yang sempat viral, seharusnya dapat menjadi suatu evaluasi agar Wisma Atlet tetap menjalankan fungsi pokoknya tanpa hambatan, yakni sebagai tempat merawat para pasien yang terpapar virus Covid-19. Sebagai rumah sakit darurat, wisma atlet harus memiliki penjagaan dan pengawasan yang ketat. 

Selain itu, mengacu pada contoh kasus sebelumnya, kedisiplinan oknum terkait perlu diperhatikan. Sebagai suatu upaya perbaikan dan evaluasi, wisma atlet dapat membuat aturan beserta sanksi yang lebih jera lagi guna mengontrol tenaga kesehatan, pasien isolasi, serta oknum terkait lainnya.

Kasus berulang yang terjadi di Wisma Atlet sangat disayangkan. Padahal, sudah ada regulasi yang mengatur untuk melakukan isolasi bagi pasien yang terkonfirmasi positif pada lokasi yang ditentukan oleh Satgas Covid-19 tingkat provinsi di dalam Pasal 8 huruf f Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. 

Namun, pada realitanya masih banyak masyarakat yang tidak patuh pada aturan. Hal ini menandakan bahwa peraturan tidak berjalan efektif sebagaimana mestinya.

Pada kasus Rachel Vennya, Rachel sudah termasuk melanggar tindakan pidana karena melanggar UU Nomor 6 Tahun 2018  Pasal 93 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta UU Nomor 4 Tahun 1984 Pasal 14 tentang Wabah Penyakit.

Selanjutnya, oknum yang membantu meloloskan Rachel Vennya untuk kabur dari karantina merupakan anggota TNI yang merupakan anggota Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang menurut Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19), dapat diberhentikan oleh Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sesuai dengan Peraturan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (Kemendagri, 2020).

Oknum yang membantu Rachel Vennya untuk kabur dari karantina juga dapat diberikan sanksi pidana berdasarkan Pasal 93 jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan karena perbuatan oknum yang membantu Rachel Vennya untuk kabur dari karantina tersebut bertentangan dengan Pasal 9 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi,

"Kekarantinaan kesehatan wajib untuk dipatuhi oleh setiap orang" serta "Kekarantinaan kesehatan yang diselenggarakan wajib diikuti oleh setiap orang." (Febrian, 2022).

Terkait kasus perbuatan tidak senonoh sesama jenis yang dilakukan oleh pasien Covid-19 di Wisma Atlet, tersangka melanggar Pasal 36 jo Pasal 10 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi serta Pasal 27 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, yang atas perbuatannya tersangka dipidana paling lama enam tahun dan denda Rp 1 miliar.

Berbagai permasalahan yang terdapat di dalam wisma atlet ini pun memunculkan tanda tanya besar perihal keseriusan pemerintah menangani Covid-19. 

Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai inisiator sekaligus komunikator atas kebijakan yang diambil untuk mengatasi Covid-19. Hal ini termasuk upaya pemerintah sebagai kebijakan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya atas kesehatan publik dan perlindungan terhadap masyarakat. 

Kebijakan pemerintah tersebut merupakan kebijakan publik sehingga seluruh masyarakat berkewajiban untuk mengikuti perintah, himbauan, atau petunjuk yang telah ditetapkan oleh lembaga berwenang. Hal ini dikarenakan kebijakan publik tidak hanya melingkupi kepentingan individu, tetapi juga khalayak luas (Essentials of Health Policy and Law (Sara E. Wilensky, Joel B. Teitelbaum, 2020).

Wisma atlet yang kini menjadi rumah sakit darurat dan rumah isolasi warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) yang baru tiba di Indonesia dianggap belum mampu melakukan pengawasan terhadap pasiennya. Hal ini diperkuat dengan adanya kasus Rachel Vennya dan pasien positif Covid-19 varian omicron yang kabur dari karantina. Ketentuan karantina bagi WNI dan WNA adalah 8 hari dengan disertai tiga kali pemeriksaan PCR (Tarmizi, 2021).

 Sedangkan, Rachel Vennya hanya dikarantina selama tiga hari. Kelalaian ini menempatkan masyarakat luas dalam bahaya karena Covid-19 merupakan wabah penyakit menular sehingga berpotensi tinggi terhadap penularan ke publik dan mata rantai penularan Covid-19 tidak akan terputus. 

Hal ini terlihat dari melonjaknya kasus Covid-19 setelah periode libur natal, yakni pada awal Desember 2021 terdapat 112 pasien sedangkan pada 17 Januari 2022 melonjak menjadi 2.535 pasien (Mintoro, 2022).

Perihal sanksi, dalam kasus Rachel dirinya dijatuhi 4 bulan masa percobaan penjara dan denda senilai 50 juta rupiah dari denda maksimal 100 juta rupiah. Sedangkan, pasien positif Covid-19 varian omicron yang kabur tersebut tidak diberikan sanksi apapun. Selain pemberian sanksi yang timpang, Indonesia terbilang tertinggal jauh dalam kemampuan mendeteksi sebaran kasus varian baru Covid-19, seperti omicron (Masdalina, 2021).

RS darurat Wisma Atlet dapat menampung sampai 2.000 pasien. Saat ini, sebanyak 87% pasien di RSDC Wisma Atlet merupakan repatriasi atau WNI yang positif Covid-19 setelah kembali dari luar negeri. Ini menunjukkan peran Wisma Atlet dalam mengurangi risiko penularan Covid-19 sangatlah krusial karena sebagai RSDC dan tempat karantina orang yang baru datang dari luar negeri yang dianggap rentan akan penyebaran Covid-19. 

Sehubungan dengan itu, data pasien dan pengawasan terhadap pasien berperan penting dalam mencegah adanya pasien yang kabur dari kewajiban karantina maupun dari RSDC Wisma Atlet. 

Eksistensi dari transparansi data pasien Covid-19 berperan penting dalam persebaran kasus Covid-19 sehingga RSDC Wisma Atlet sebagai institusi kesehatan mempunyai kewajiban terhadap pendataan pasien RSDC maupun pasien isolasi karantina.

Pada masa pandemi, Wisma Atlet seharusnya menjadi tempat perawatan dan isolasi pasien yang terkonfirmasi positif. Akan tetapi, banyak penyimpangan yang terjadi di Wisma Atlet. Hal ini ditunjukkan dari beberapa kasus viral yang terjadi di Wisma Atlet. 

Kasus-kasus tersebut mengindikasikan bahwa masih ada masyarakat yang tidak patuh aturan dan penjagaan di Wisma Atlet pun masih longgar. Oleh karena itu, diperlukan peraturan yang lebih jelas dan sanksi yang lebih tegas mengenai karantina Wisma Atlet supaya Wisma Atlet dapat berfungsi sebagaimana harusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun