Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Inilah 4 Keunikan Wisata Ngawonggo yang Viral di Malang

21 Februari 2021   18:28 Diperbarui: 21 Februari 2021   18:50 7375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mushalla di area wisata Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi

Penasaran akan wisata situs Petirtaan Ngawonggo yang tengah viral, saya dan komunitas Bolang sengaja mengunjunginya pada Sabtu lalu (13/02/2021). Alamatnya berada di Jl. Rabidin RT 03/RW 04 Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.

Kami tiba di lokasi sekitar pukul 10.00 Wib. Di halaman depan pintu gerbangnya yang berkonsep kerajaan kuno, tampak beberapa sepeda gunung diparkir. Eit... Bolanger peraih Best in Citizen Journalism Kompasiana 2018, Mbah Ukik, terlihat sudah tiba di sana. Ia hadir lengkap dengan seragam sepeda gunungnya.

Saya melihat para pengunjung berada di gubuk-gubuk mini. Gubuk-gubuk ini bertebaran di area tanaman bambu seluas sekitar 1,5 lapangan sepak bola. Di tempat inilah, kedai Tomboan Ngawonggo mengepulkan asapnya.

Kedai Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Kedai Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Dapur Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Dapur Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Dari tempat ini pula, terhubung jalan menuju situs Petirtaan Ngawonggo. Nah, berdasarkan observasi lapangan dan ngobrol santai dengan pengelolanya, sebut saja Mas Rahmad Yasin, setidaknya ada empat keunikan Wisata Ngawonggo versi saya berikut ini:

1. Keunikan Lokasi Kedai Tomboan Ngawonggo

Wisata kok di "kebon pring" (kebun bambu, pen). Kalau zaman dulu, tempat singup (berkesan angker) semacam ini mungkin dianggap sebagai tempat Genderuwo", begitu celetuk salah seorang teman kami saat melewati lokasi Tomboan Ngawonggo. Namun faktanya, kini malah jadi tempat wisata yang unik.

Setelah dikembangkan, Tomboan Ngawonggo dikunjungi banyak wisatawan. Mayoritas berasal dari warga domestik. Menurut pengakuan Mas Yasin, pernah ada satu wisatawan asal Italia yang datang ke sini.

Suasana Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Suasana Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Mushalla di area wisata Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Mushalla di area wisata Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Kesan saya sendiri setelah saya datang ke sana, tempat ini biasa saja. Tempat ini berbeda dengan wisata Boon Pring di Turen. Pun berbeda dengan hutan bambu Arashiyama di Kyoto.

Tempat ini menjadi istimewa karena ada kedai Tomboan Ngawonggo di tengah kebun bambu itu. Selain itu, tempat ini punya kekuatan sejarah, karena lokasinya terkoneksi dengan lokasi situs Petirtaan Ngawonggo. Konon, petirtaan ini merupakan tempat singgah Mpu Sindok pada abad ke-10 M.

Wisata Petirtaan Ngawonggo diinisiasi oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kaswangga, masyarakat lokal Ngawonggo. Ketuanya adalah Rahmad Yasin. Menurutnya, hingga saat ini situs Petirtaan Ngawonggo masih dalam proses untuk mendapat pengakuan sebagai situs cagar budaya.

Saat saya berkunjung ke lokasi, tampak kedai Tomboan Ngawonggo berdiri di tengah area kebun bambu. Kebun itu milik tiga orang warga setempat, demikian menurut sang pengelola.

Begitu saya memasuki pintu gerbangnya, terasa suasana kerajaan kuno. Udaranya masih asri dan berasa sejuk. Ia seolah-olah sengaja hadir menyambut kedatangan kami. Hadir menyabut tamu dan berbagi oksigen alami dari sela-sela pepohonan bambu apus, petung, dan wulung.

Kondisi tanahnya berkontur mirip terasering. Tanah berundak seperti ini dimanfaatkan untuk lokasi gubuk, joglo, dan tempat singgah terbuka. Tersedia sejak masuk pintu gerbang utama hingga dekat jembatan bambu menuju situs Petirtaan Ngawonggo.

Gubuk atau joglo di dalam area Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Gubuk atau joglo di dalam area Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Saya perkirakan, seluruh tempat singgah itu berjumlah 10-15 buah. Tiap tempat singgah, memuat sekitar 6-10 orang. Dalam kondisi normal, cukup untuk 150-200 pengunjung.

Karena itu dapat dipahami, mengapa Mas Yasin berpesan agar para pengunjung melakukan reservasi dahulu sebelum berkunjung ke Tomboan  Ngawonggo. Jika tidak, maka konsekwensinya pengunjung harus rela menerima menu seadanya.

2. Keunikan Produk Kuliner Tomboan Ngawonggo

Tomboan dalam bahasa Jawa berarti "obat-obatan" atau "ihwal kesehatan". Dalam konteks ini adalah makanan dan minuman herbal berbahan alami yang bermanfaat sebagai tombo atau kesehatan. Saya merasakan nikmatnya minum wedang uwuh, teh rosella, dan temu guyon di tempat ini. Untuk yang disebut terakhir, Temu Guyon, merupakan minuman segar sejenis temu lawak. Terasa bukan jamu, tapi minuman segar. Bikin kangen

Di tempat ini pula, saya bersama Bolang berkesempatan berdiskusi sembari mencicipi penganan lemet, iwel-iwel, ongol-ongol, ketan, dan gethuk bertabur kelapa dan gula merah. Menunya serba non-hewani. Semuanya ludes, kwekk kwekk

Ngobrol sembari menikmati kuliner Ngawonggo|Dok. Pribadi
Ngobrol sembari menikmati kuliner Ngawonggo|Dok. Pribadi
Suasana di area Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Suasana di area Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Menu makan di Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Menu makan di Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Kami juga mendapat suguhan nasi putih dan varian nasi jagung, lengkap dengan sayur lodeh, mendol, tempe, bothok, dan sambel. Tapi sambelnya tanpa terasi. Karena Tomboan Ngawonggo sengaja menyuguhkan menu tanpa mengandung unsur daging atau produk turunan hewani.

Keunikan lainnya ada pada bungkus makananannya. Selain mudah didaur ulang, bungkusnya diformat unik sesuai tradisi masyarakat Jawa.

Penganan apem misalnya, dibungkus daun jati dalam bentuk conthong. Sementara ongol-ongol, ditusuk seperti sate. Sedangkan lepet, dibungkus dengan janur dengan cara dililitkan pada tubuhnya. Penasaran?

Bagaimana dengan iwel-iwel?

Penganan dari bahan tepung ketan putih atau beras itu dibungkus dengan bentuk tempelang. Kecuali kue jemblem, dibiarkan telanjang di atas piring, hehe :)

Aneka jajanan pasar di Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Aneka jajanan pasar di Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Penganan ala Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Penganan ala Tomboan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Unik. Dalam tradisi Jawa, setiap makanan dibungkus dengan cara yang berbeda sesuai peruntukannya. Misalnya, sebutan pincuk untuk bungkus nasi pecel. Bahannya terbuat dari daun pisang. Membuatnya dengan cara melipat daun pisang hanya di salah satu bagian ujungnya, kemudian disematkan lidi sebagai penguncinya.

Selain itu ada takir untuk bungkus nasi; besek untuk tempat makanan oleh-oleh. Masih banyak sebutan lainnya, seperti samir, sumpil, pinjung, tempelang, dan lain-lain.

Saat saat berada di dalam area Tomboan Ngawonggo, saya menyaksikan para pengunjung asyik bersantai di gubuk-gubuk itu. Mereka ngobrol sembari menikmati menu kuliner khas Tomboan Ngawonggo yang bikin kangen itu.

"Saya ke sini sudah beberapa kali, tapi nggak bosan-bosan, Mas", demikian pengakuan seorang Kompasianer asal Kebonagung kepada saya ketika hendak berangkat bersama dari titik kumpul.

Versi saya, nggak enaknya adalah lokasinya seperti "Misbar", alias kalau gerimis bubar. Tapi segala keunikannya, mampu menutupi kekurangan ini. Jadi, nggak rugi saya ke sini.

3. Keunikan Praktik Bayar Seikhlasnya

Keunikan spesial lainnya adalah pelanggan bayar seikhlasnya. Pria berambut panjang itu menuturkan filosofinya kepada kami berikut ini.

"Kami menganggap para pengunjung yang datang kemari adalah para tamu. Kami melayani para tamu. Jadi, kami tidak memberikan tarif harga untuk tamu-tamu kami. Ini bukan transaksi jual beli. Karena itu, mereka bebas memberi seikhlasnya".

"Apa ada yang sudah reservasi, lalu tidak jadi datang ke sini"?

Begitu tanya salah seorang rekan kami. "Ada", jawabnya. "Tapi tak mengapa. Bersyukur, sampai saat ini Tomboan Ngawonggo masih bisa berjalan. Kami bersyukur, masih dapat membantu sebagian anak-anak yatim piatu dan rumah ibadah", ia menambahkan.

Hemat saya, pengelola Tomboan Ngawonggo menggunakan konsep spiritual marketing.  Ia berbisnis dengan hati, bukan semata transaksional.

Efeknya, orang-orang tergerak hatinya untuk memberi. Saya perhatikan, ada kelompok yang menghargai layanan Tomboan Ngawonggo melebihi harga jual jajanan pasar tradisional.

4. Keunikan Situs Petirtaan Ngawonggo

Dari lokasi kedai Tomboan Ngawonggo, kami ditemani Mas Yasin menuju situs Petirtaan Ngawonggo. Kedua lokasi itu menyatu, dihubungkan oleh jembatan bambu yang membelah sungai Mantenan.

Untuk sampai ke situs Petirtaan Ngawonggo, pengunjung harus melewati jalan setapak melewati jembatan bambu itu. Situs Petirtaan Ngawonggo berada di antara dua sungai kembar, yaitu sungai Dawuhan dan sungai Manten (Mantenan).  

Jembatan bambu menuju situs Petirtaan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Jembatan bambu menuju situs Petirtaan Ngawonggo|Dok. Pribadi
View sungai Dawuhan di situs Petirtaan Ngawonggo|Dok. Pribadi
View sungai Dawuhan di situs Petirtaan Ngawonggo|Dok. Pribadi
View Sungai Mantenan|Dok. Pribadi
View Sungai Mantenan|Dok. Pribadi
9 Pancuran air di Situs Petirtaan Ngawonggo|Dok. Pribadi
9 Pancuran air di Situs Petirtaan Ngawonggo|Dok. Pribadi
Unik. Sungai Dawuhan berada di bagian atas. Sungai kecil ini berfungsi sebagai sarana irigasi pertanian. Mengairi sawah-sawah penduduk setempat. Sungai ini dibangun sejak era pendudukan Belanda.

Sementara di bagian bawah, terdapat sungai Mantenan yang curam. Debit air yang melimpah, mengalir bebas ke sungai ini.

Konon, tempat ini merupakan situs warisan era Mpu Sindok ini pada abad ke-10 (940 M). Situs ini merupakan tempat "Pendidikan" sekaligus tempat "Penyucian Diri" bagi agama tertentu yang berkembang saat itu. Salah satu prasasti yang disebut-sebut sebagai buktinya adalah Prasasti Urandungan.

Saat berkunjung ke lokasi, oleh Mas Yasin kami ditunjukkan lima situs dari enam situs Petirtaan Ngawonggo yang ada. Sesuai namanya, petirtaan itu berupa padosan atau tempat pemandian. Pada situs bagian pertama dan kedua, tampak seperti lokasi bangunan yang belum jadi.

Sementara pada situs ketiga dan keempat, berupa kolam segi empat memanjang dilengkapi dengan dua air mancur di ujungnya.

Sedangkan situs kelima, berupa area petirtaan dengan sembilan air mancur alami. Air itu berasal dari Sungai Dawuhan, dialirkan dengan pipa bambu. Berkesan sederhana dan masih apa adanya. Sebagian terlihat ada yang sudah rusak.

Diperkirakan, antara satu situs petirtaan dengan situs petirtaan lainnya dahulu kala saling terhubung. Situs-situs itu menandakan ada kehidupan ala kerajaan tertentu di abad ke-10. Entahlah. Hal ini masih menjadi misteri sejarah kerajaan hingga saat ini.

Itulah empat keunikan kedai Tomboan Ngawonggo dan Situs Petirtaan Ngawonggo versi saya. Galibnya sebuah destinasi wisata, perlu narasi sebagai bumbu penyedapnya. Apalagi, bumbu itu memang asli berbasis sejarah kuno. Efeknya akan semakin berasa. Bagaimana pendapat Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun