Penganan dari bahan tepung ketan putih atau beras itu dibungkus dengan bentuk tempelang. Kecuali kue jemblem, dibiarkan telanjang di atas piring, hehe :)
Selain itu ada takir untuk bungkus nasi; besek untuk tempat makanan oleh-oleh. Masih banyak sebutan lainnya, seperti samir, sumpil, pinjung, tempelang, dan lain-lain.
Saat saat berada di dalam area Tomboan Ngawonggo, saya menyaksikan para pengunjung asyik bersantai di gubuk-gubuk itu. Mereka ngobrol sembari menikmati menu kuliner khas Tomboan Ngawonggo yang bikin kangen itu.
"Saya ke sini sudah beberapa kali, tapi nggak bosan-bosan, Mas", demikian pengakuan seorang Kompasianer asal Kebonagung kepada saya ketika hendak berangkat bersama dari titik kumpul.
Versi saya, nggak enaknya adalah lokasinya seperti "Misbar", alias kalau gerimis bubar. Tapi segala keunikannya, mampu menutupi kekurangan ini. Jadi, nggak rugi saya ke sini.
3. Keunikan Praktik Bayar Seikhlasnya
Keunikan spesial lainnya adalah pelanggan bayar seikhlasnya. Pria berambut panjang itu menuturkan filosofinya kepada kami berikut ini.
"Kami menganggap para pengunjung yang datang kemari adalah para tamu. Kami melayani para tamu. Jadi, kami tidak memberikan tarif harga untuk tamu-tamu kami. Ini bukan transaksi jual beli. Karena itu, mereka bebas memberi seikhlasnya".
"Apa ada yang sudah reservasi, lalu tidak jadi datang ke sini"?
Begitu tanya salah seorang rekan kami. "Ada", jawabnya. "Tapi tak mengapa. Bersyukur, sampai saat ini Tomboan Ngawonggo masih bisa berjalan. Kami bersyukur, masih dapat membantu sebagian anak-anak yatim piatu dan rumah ibadah", ia menambahkan.