Spontan, saya yang berada di dekatnya merespon begini.
"Saya kira betul. Misalnya untuk menyebut nasi sepiring, disebut sego. Tapi jika nasinya hanya sebulir, disebut upo. Untuk nasi sebanyak satu jimpit, disebut sak puluk. Kalau makan nasi sebanyak itu tanpa sendok (dengan tangan), disebut muluk.Â
Tanpa jeda, lalu saya melanjutkan...
"Jika nasinya sebanyak satu genggam, dikatakan "sak kepel". Untuk nasi kering, dinamakan karak. Untuk nasi yang dilembutkan, dinamakan bubur. Apabila sudah jadi kue, dinamakan "rengginang...".Â
Kwkwkwk!
Belum cukup. Masih ada kosakata lain sejenis yang artinya makan dengan peruntukan yang berbeda-beda, seperti mangan, madyang, menthong, dan dahar. Nah, ada kosakata yang artinya "makan" namun terkesan kasar, maaf... kosakata itu adalah mbadhok".
Memang begitu, kan? Wkkkk! Kawan-kawan terkekeh-kekeh, merespon jawaban spontan saya :)
Ada lagi yang tak kalah serunya. Jika nasi itu disajikan sebagai tumpengan untuk disantap beramai-ramai, namanya sego bancakan. Lanjutkan sendiri, hehe :)
*****
Dahulu kala, banyak kerajaan berdiri di pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Kesultanan Yogyakarta, Mataram, dan lain sebagainya. Dalam struktur dan budaya masyarakat kerajaan, penggunaan unggah-ungguh bahasa sangat diperhatikan.
Penggunaan kata sampean atau panjenengan (Jawa) untuk kamu (Indonesia), terasa lebih menghormati dari pada kowe. Kecuali sapaan kowe dipergunakan untuk menyebut teman sejawat atau orang yang usianya/kedudukannya lebih muda dalam keluarga.