"Traveler without observation is a bird without wings", kata-kata Moslih Eddin Saadi ini sering dirujuk para traveller. Laksana burung terbang berulangkali melakukan perjalanan, tak akan memperoleh esensinya jika tak melakukan observasi. Kira-kira begitulah makna bebasnya. Quote itu begitu berasa, saat saya mengunjungi destinasi ini dari dekat. Ada apa?
Sekilas, kawasan wisata itu tak istimewa. Pabrik keramik Dinoyo itu tutup sejak tahun 2003. Padahal pabrik yang didirikan pada tahun 1957 itu merupakan salah satu proyek percontohan. Namun ketika saya berkunjung ke gerai souvenir keramik "Cinderamata", masuk ke dalamnya dan mewawancarai pemiliknya, marwah seni kerajinan keramik Dinoyo seolah berasa hidup kembali. Ada apa?
Tak berlebihan, jika wilayah Malang disebut-sebut sebagai wilayah pemukiman prasejarah. Bermula dari temuan Prasasti Dinoyo (760 M) dan serangkaian benda-benda purbakala lainnya, keberadaan lima dinasti sejak dari Kerajaan Kanjuruhan, Mataram Hindu, Kadiri, Singosari, hingga Majapahit menunjukan adanya pola jalinan sejarah raja-raja yang pernah berkuasa di kawasan itu.
Temuan-temuan itu menggambarkan bahwa Malang dahulu kala merupakan pusat peradaban tua yang muncul pada abad 7 M. Seperti dugaan arkeolog, Kerajaan Kanjuruhan (760 M) berpusat di daerah Dinoyo, Malang. Hal itu didasarkan atas temuan "Prasasti Dinoyo" di daerah Merjosari, sekitar 5 km sebelah barat kelurahan Dinoyo saat ini. Salah satu raja Kanjuruhan bernama Gajayana, kini diabadikan sebagai nama Jalan Gajayana dan Stadion Gajayana.
Peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk pada masa kekuasaan raja-raja pada masa itu, kiranya dapat menggambarkan bagaimana perilaku budaya masyarakat berkembang pada zamannya. Salah satu contohnya, adalah temuan batu gesek yang dipajang pada Museum Mpu Purwa Kota Malang ini.
Sentra industri kerajinan keramik Dinoyo bermula dari sentra gerabah di daerah Bethek (1930-an). Salah satu ciri khasnya adalah produknya berpola miring. Hal ini menyesuaikan dengan cara duduk perempuan kala itu. Bendanya diletakkan di sebelah tempat duduknya, dimiringkan lalu diputar hingga halus. Demikian penjelasan Pak Syamsul, panggilan sehari-hari H. Syamsul Arifin, ketua Asosiasi Pengusaha Keramik Dinoyo, saat saya temui kala itu.
Seiring dengan waktu, muncul inovasi keramik porselen (1955-an) dengan mengganti penggunaan bahan baku tanah liat (tanah sawah) dengan tanah putih (porselen). Pada saat itulah, Pemerintah mulai mendirikan pabrik keramik sebagai percontohan, demikian menurut sepengetahuan Pak Syamsul yang pernah bekerja di Pabrik Keramik Dinoyo itu.
Menurut catatan, sejarah perkembangan Industri Keramik di Malang bermula tatkala LEPPIN (Lembaga Penyelenggara Perusahaan-Perusahaan Industri Departemen Perindustrian) dibentuk (1953). Sekitar empat tahun kemudian, pabrik keramik Dinoyo berdiri (1957). Pabrik ini mengenalkan sistem produksi slip casting (cetak tuang) dan jiggering (putar tekan) dengan teknologi cukup modern pada zamannya.