Lapak-lapak itu berjajar di area antara Gedung DRPD dan Balaikota dengan view Bundaran Tugu Kota Malang. Tamannya indah. Kolamnya bertabur bunga teratai. Tugu itu menjadi penanda sejarah perjuangan melawan penjajah. Bila malam hari tiba, kerlap-kerlip lampunya menambah cantik zona publik kota dingin ini.
Kawasan tersebut dikelilingi oleh perhotelan, seperti Hotel Tugu, Hotel Splended-Inn, Hotel Sahid Montana I, pasar burung dan pasar bunga. Sekolah-sekolah favorit pun berada di seputar area ini. Tempat-tempat kuliner, kedai coffee, dan akses transportasi publik mudah didapatkan.
Dari Bundaran Tugu, terlihat jelas jalan kembar (Jl. Kertanegara) lurus sejauh sekitar 500 meter hingga membentur stasiun Kereta Api Kota Malang. Wajar, jika tempat ini, terutama di akhir pekan, disuka oleh anak-anak muda "zaman now".
Dengan setting lokasi seperti itulah, lebih dari 130 lapak usaha kecil hadir di event Pasar Raya Baznas 2017 yang digelar di Jl. Gajah Mada, dekat area bundaran Tugu Kota Malang pada tanggal 16-17 Desember 2017.
Karakter "Semut-Semut Ekonomi"
Event Pasar Raya didesain secara indoor dan outdoor. Seminar nasional, merupakan rangkaian pertama agenda Pasar Raya di hari pertama, bertempat di Ruang Paripurna gedung DPRD Kota Malang. Acara diawali dengan "Tarian Pembuka" sekitar pukul 10.00 Wib, berlanjut hingga seminar usai pukul 14.00 Wib.Â
Ada beberapa catatan yang menarik perhatian saya dari presentasinya. Pertama, semut itu memiliki karakter gotong royong yang mencerminkan semangat persatuan. Tidak egois. Hal ini sejalan dengan trend "sharing based economy" saat ini, yakni semangat ekonomi saling berbagi.
Kedua, semut itu selalu berjalan mengikuti garis lurus. Jika menghadapi hambatan, ia lapor dan berdiskusi dengan atasannya (ratu semut), kemudian membuat jalan lain mengikuti garis lurus yang berbeda. Seolah ini jadi pelajaran, kita harus mengikuti aturan (garis lurus) dan mau berdiksusi untuk memecahkan masalah demi mencapai tujuan. Setelah itu, pembicara memaparkan program-program Baznas.
Sementara pembicara kedua, Ir. Nana Mintarti, MP (Commisioner, Baznas Pusat) memaparkan urgensi Zakat Community Development (ZCD). Mengacu pada penjelasannya, pada intinya "ZCD adalah program pemberdayaan yang terintegrasi, ada aspek ekonomi, kesehatan, dakwah, pendidikan, tanggap bencana, dan lain sebagainya". Baznas pusat misalnya, memiliki program bernama "Kartu Tanggap Bencana".
Sayang, selama ini Baznas masih belum begitu banyak dikenal publik. "Saya dikira berasal dari Basarnas (Badan SAR Nasional, pen), padahal dari Baznas...", dia mencontohkan pengalamannya saat masuk ke suatu instansi pemerintah.
Baznas itu tidak semata mengedepankan charity, tetapi juga pemberdayakan masyarakat secara terintegrasi. Integrasi bisa bersifat multi stage holder, misalnya terintegrasi dengan lembaga CSR, tujuan nasional, permodalan, dan lain sebagainya", jelasnya.
"Integrasi bisa berbasis masyarakat pinggir kota, berbasis potensi lokal, atau berbasis komoditas...", imbuhnya bersemangat saat menjelaskan kepada para peserta, termasuk kepada penanya dari perwakilan Baznas Garut, Jawa Barat dan Kulonprogo, DIY Yogyakarta.
Hemat saya, hal itu sejalan dengan program Baznas Kota Malang yang berusaha menerapkan Linkage Program, seperti yang tertulis dalam proposal penyelenggara.
Linkage Program adalah program keterkaitan usaha antara hulu hilir binaan Baznas Kota Malang yang berjumlah sekitar 2.250 pelaku usaha kecil (2017). Ribuan usaha kecil itu tergabung dalam jejaring Komunitas Masyarakat Kota Produktif (KMKP). Mereka itulah yang disebut sebagai "semut-semut ekonomi" yang diharapkan dapat saling bersinergi.
Best Practie dari Baitul Mal Al Qonaah Kasin
Usai seminar, saya dan kawan-kawan berkesempatan mengunjungi lapak-lapak usaha kecil dan menyaksikan beragam pentas seni budaya dan musik, bedah buku, parade puisi, dan lain-lain yang dikondisikan oleh kawan-kawan Bolang dan Baznas Kota Malang.
Menurut penjelasannya, Baitul Mal menyalurkan pinjaman tanpa bunga kepada para anggotanya (nasabah) yang kekurangan modal usaha seperti penjual bakso, warung nasi, pedagang gorengan, dan lain sebagainya. Jumlah dana pinjaman berkisar antara Rp 1 juta-Rp 5 juta. Dana awal berasal dari Baznas Kota Malang.
Bahwa sudah terjadi saling keterkaitan antara usaha anggota (nasabah), penyedia modal tanpa bunga (Baitul Mal), dan toko swalayan. Baitul Mal meminjamkan modal usaha kepada anggota, sementara anggota (nasabah) berbelanja bahan baku di toko swalayan yang dikelola Baitul Mal. Barangkali, inilah best practice yang mendekati gambaran dari penerapan Linkage-Program atau ZCD yang dikembangkan oleh Baznas.
Uniknya, pengelola Baitul Mal bekerja secara sukarela tanpa mendapatkan gaji atas jasanya dalam menghimpun dan menyalurkan dana untuk anggota yang layak menerimanya (mustahiq). Sebagai gantinya, mereka harus bekerja sendiri dengan mendirikan toko swalayan. Sementara Baznas, mensupport permodalan untuk usaha toko swalayan yang dikelolanya.
Nah, keuntungannya dapat dipergunakan oleh pengelola untuk membayar gaji pengelola dan karyawan. Sebagian hasilnya disisihkan untuk infaq, kembali lagi ke Baitul Mal. Demikian seterusnya, sehingga modal kerja Baitul Mal semakin bertambah, dan dapat dipinjamkan kepada lebih banyak orang (anggota) lagi yang sedang antri membutuhkan pinjaman modal usaha tanpa bunga.
Perjuangan "Semut Ekonomi" di Balik Lapak Knalpot
Di lapak ekonomi kreatif, ada gelar aneka kerajinan rotan, lampion, dan ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu lapak knalpot. Pemilik lapak knalpot itu bernama Pak Maun, begitu panggilan sehari-harinya. Sementara isterinya, Bu Maun, berperan membantu suaminya berjualan di lapak itu, sekaligus menjadi ketua Baitul Mal Al-Hidayah, Jodipan, Kota Malang.
Tak jauh berbeda dengan Baitul Mal Al Qanaah Kasin, ia menyalurkan pinjaman modal usaha tanpa bunga kepada para tetangga yang membutuhkannya (mustahiq). Di antara mereka ada yang bekerja sebagai para penjaja gorengan, warung kecil, tukang ojek, dan lain lain.
Bu Maun dan para koordinator Baitul Mal Al Hidayah, hadir memerangi praktik rentenir yang sudah mengakar kuat di kampung itu. Saat kami berkunjung ke rumahnya di Jodipan (14/12/2017), dia menuturkan, "ukuran Baitul Mal berhasil, menurut saya jika anggota kami (nasabah) bisa keluar dari jeratan rentenir... karena saya dulu pernah merasakan betapa susahnya terjerat rentenir... sapi saya terjual habis hanya untuk membayar hutang, itupun masih dianggap belum lunas...".
Sesunguhnya, masih banyak cerita tentang aksi sosial Bu Maun yang sehari-harinya bekerja menjual knalpot dan spare part motor di Pasar Comboran itu. Cukup saya katakan, ia layak dijadikan sebagai contoh pejuang perempuan yang gigih dalam memerangi rentenir. Pantaslah, Baitul Mal Al Hidayah yang ia pimpin layak menerima Baznas Award 2017 sebagai Baitul Mal paling efisien dan efektif.
Kami bersyukur, Bolang mendapatkan kepercayaan ikut menjadi bagian dalam mengorganisasi event Pasar Raya Baznas 2017. Pengalaman ini merupakan yang pertama bagi Bolang, di mana saya menjadi bagian kecil yang ikut terlibat di dalamnya. Meski kegiatan ini lebih bernilai sosial dari pada bisnis, namun banyak pelajaran berharga bagaimana menyelenggarakan sebuah event.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H