Usai dari kandang dan menikmati susu segar sembari ngobrol di dapur warga peternak susu, kami menuju rumah Pak Munir yang sekaligus dijadikan sebagai Pos Penampungan Pusat hasil produksi susu segar.
Sore itu, sekitar pukul 16.30 Wib, kami menyaksikan aktivitas warga Brau sedang menyetor hasil susu sapi perah mereka.
Susu bermutu baik, BJ-nya berkisar antara 24-25. Jika jauh di bawah angka itu, katakanlah 19, berarti kualitas susunya kurang baik dan tidak memenuhi standar kelayakan. Koperasi berhak menyortirnya.
Terdapat sekitar 600-700 ekor sapi perah di Dusun Brau yang dihuni oleh sekitar 130 Kepala Keluarga (KK). Sekitar 70-an KK bergabung dengan koperasi yang diketuai oleh M. Munir.
Pola Pemberdayaan Peternak Sapi Perah
Awalnya, penduduk warga Brau sebagai petani biasa. Tidak banyak yang memiliki sapi perah. Untuk meningkatkan populasi sapi perah, dikembangkanlah sistem tabungan dengan cara "nggaduh" (bagi hasil, misalnya 50 : 50 antara investor dengan pemelihara sapi). Begitu penjelasan Pak Munir saat ngobrol dengan teman-teman Bolang di kantor koperasinya, Brau.
Katakanlah harga pedet (bibit sapi) seharga Rp 5 juta/ekor. Setelah berumur sekitar 1,6 tahun, sapinya sudah bunting dan siap dijual, anggaplah laku Rp 20 juta/ekor. Selisih harga pedet dengan harga jual sapi bunting dibagi dua, masing-masing mendapatkan Rp 7,5 juta.
Hasil tersebut menjadi tabungan calon peternak, sehingga bisa beli pedet untuk dipelihara sampai bunting dan siap perah. Begitu seterusnya, hingga masing-masing keluarga dusun Brau memiliki sapi perah sendiri. Kuncinya, tiap keluarga memiliki lahan untuk tanaman rumput sebagai pakan ternaknya.