Sosok Kang Pepih Nugraha, di mata Mbak Wardah Fajri dianggapnya sebagai pribadi penuh kejutan, demikian tulisnya hari ini di Kompasiana. Terutama kejutan ihwal pemikirannya. Yes!
Bagi saya, Kang Pepih mewakili sosok penulis tajam yang kaya bacaan. Isi tulisannya cethar! Satu alinea sangat padat. Terkadang banyak hal bisa dimuat dalam satu alinea, disederhanakan, dan tetap terjalin logikanya, hingga pesannya mudah dipahami pembaca. Hemat saya, ini merupakan bagian dari tantangan penulis.
Awal saya mengenal pikiran Kang Pepih, adalah lewat bukunya, Kompasiana Etalase Warga Biasa, yang diterbitkan oleh Kompas Gramedia (2012). Buku itu dikirimkan kepada saya oleh Pengelola Kompasiana beserta kaos si Kriko dan kartu flazz BCA, karena saya berpartisipasi dalam salah satu lomba Blog Review di Kompasiana.
Pemikiran-pemikiran selanjutnya saya ketahui lewat sejumlah tulisannya di Kompasiana dan laman PepNews dengan jargonnya “Ga Penting Tapi Perlu”!. Lewat sebuah tulisan, saya menjadi lebih yakin, bahwa menulis itu bukan saja salah satu cara agar kita bisa berkomnikasi, lebih dari itu tulisan adalah senjata!
Sayang, keinginan saya berdialog dengan Sang COO Kompasiana saat menghadiri Kompasianival 2015 di Gandaria City, belum kesampaian hingga Kang Pepih harus memasuki “zona baru” memasuki tahun baru 2017. Dalam “kesempatan” yang terbatas, kala itu saya hanya sempat mengabadikan gambar Kang Pepih saat tampil memberi kata sambutan di panggung utama.
Namun di sela-sela kesibukannya, Kang Pepih sesekali masih sempat membalasnya lewat komentarnya di dunia maya. Salah satunya Kang Pepih menulis di PepNews.com,tentang dilemma jurnalis di lapangan, antara aspek “kemanusiaan” Vs “profesionalisme”.
Kebetulan, ada contoh dari penanya tentang fotografer Kevin Carter yang memenangkan hadiah Pulitzer pada tahun 1993, namun akhirnya dia bunuh diri. Pasalnya, batin Carter terguncang hebat karena menyesali tak sempat menolong si anak dari ancaman burung nasar, sesaat sebelum si anak yang kelaparan itu tiba ajalnya. Carter lebih memilih mendahulukan memotret momen langka itu.
Sekedar untuk diketahui, Kang Pepih dalam tulisan itu tegas lebih memilih mendahuluan sisi “profesionalisme” ketimbang sisi “kemanusiaan”, meskipun dianggap “jahat” (meggunakan tandai petik). Kang Pepih menulis sebagai berikut:
“Kalau saya dihadapkan pada momen itu, saya tentu saja akan bertindak seperti Carter: mengabadikan momen itu terlebih dahulu, entah itu lewat foto maupun video. Barulah jika ada kesempatan, saya menolong anak itu!” (PepNews.id).
Nah, ketika saya meresponnya di kolom comment PepNews: “ini selamanya tetap akan menjadi dilemma…. Saya menghargai pilihan Kang Pep, sayang kok dianggap jahat?” Kang Pepih berkomentar padat dan tegas: “karena dilemma”.
Mengapa? Bayangkan, saya mencoba mengikuti cara berpikir Kang Pepih, andai Carter mendahulukan menolong si anak itu, maka ia akan kehilangan momen langka. Sementara jika ia memotretnya, dunia menjadi tahu karenanya, lalu bantuan dari para aktivis sosial segera berdatangan membantu krisis kemanusiaan di Sudan kala itu. Sekilas, terkesan “jahat” di mata publik, namun sang fotografer sesunguhnya telah bertindak profesional!