Terbersit kabar tentatif, Desember 2016 hendak dilangsungkan Kompasianival untuk seluruh komunitas Kompasiana. Bolang berusaha merespon dengan menyiapkan Kaledeoskop dalam bentuk buku dan cerpen guna menyambut acara itu, sekaligus membahas agenda internal komunitas. Gayung bersambut. Bolang sepakat jalan-jalan sore ke tempat alami, menuju Camilo, pada Minggu (30/10).
Moment Indah Sebelum Menuju Lokasi Taman Kafe Camilo
Sabtu, 29 Oktober 2016. Mengalirlah gagasan sederhana tapi penuh makna. “Selamat Mas, nunggu ditraktir dengan sabar, hihihi :). Begitu mula colekan Mas Pairun Adi via Facebook (Fb) di group Bolang pada saya, seraya menunjukkan info pengumuman Kompasiana di event ini. Terima kasih, saya baru tahu, tunggu tanggal mainnya, jawabku, hehe :).
Sementara itu, Mbak Rara memposting gambar via Group WhatsApp (WA), “ini loh tempat nongkrong selain Cokelat Klasik”. Mbak Fikri merespon, “Oooo iya, iki baru”. Iya baru, lebih romantis, wkwk, timpal Mbak Rara. Begitu tulisan asli yang saya kutip dari group WA Bolang.
Colekan Mas Pairun pada saya itu sebenarnya tak ada hubungannya dengan percakapan kedua mudi-mudi di atas, karena pembicaraan dilakukan di lini medsos yang berbeda. Tak disangka, gayung bersambut. Mas Hery, Mbak Desy, Mbak Erent, dkk discuss lebih lanjut via group WA.
Teringat kalimat Donn Carr di atas, lalu saya ikut nimbrung di WA seraya berkata, “Puncak keindahannya di petang hari ya? Asyik juga, asal kebagian tempat”, celetuk saya.
“Nah itu masalahnya, tambah Mbak Desy”. OK. Kalau begitu, saya setuju. "Yuk, sekalian bikin vidoe profil Bolang, pakai kaos seragam”. Mas Pairun Adi cepat meimplai, “Siap 86”. Wkwkw.
Momen Indah di Bawah Pepohonan Jati, CaféCamilo.
Unik. Coffe Camilo tempatnya berada di tengah tanaman pepohonan jati dekat pinggir kota, tepatnya di daerah Joyo Agung. Di kiri kanan jalan Joyo Agung menuju lokasi, dulu sangat sepi. Hanya terdapat beberapa rumah penduduk dan tanah pekarangan, pepohonan sengon, jati, dan sejenisnya. Jaraknya sekitar 1,5 dari Villa Bukit Tidar (VBT), Kota Malang.
Berkat kreativitas para entrepreneur yang hadir di kawasan Joyo Grand dan Joyo Agung, daerah yang sebelumnya sepi itu kini jadi ramai. Setidaknya, terdapat tiga tempat coffee bersetting alami yang saling berdekatan dan laris manis di kawasan itu. Ada nama Cokelat Klasik, Bukit Delight, dan Camilo. Harganya pun relatif bersahabat untuk warga yang tinggal di daerah berjuluk Kota Tribina Cita (kota Pendidikan, Wisata, dan industri jasa).
Lanjut. Kendaraan melaju pelan menuju Café Camilo, jaraknya hanya berselebahan berapa meter dengan Bukit Delight. Lega, ternyata kami dapat tempat duduk. Agar cukup dan bisa duduk melingkar bersama, maka kami menyatukan meja No. 53 dan No. 56.
Kala itu, hujan baru saja reda. Kami menempati meja duduk unik dengan atap payung besar warna-warni. Meja kursi lain tampak sengaja diletakkan di area terbuka, tepat di sela-sela pepohonan, lengkap dengan lampu-lampunya. Saat petang hari tiba, cahaya lampu-lampu itu kontras dengan gelapnya malam.
Dari luar, tempat itu sekilas terlihat biasa-biasa saja. Ternyata, di dalamnya menyimpan banyak rahasia. Pengelola Café Camilo, rupanya pandai “menjual konteks, bukan semata menjual konten”. Makanan boleh sama, tapi suasananya harus beda. Pengelola café tampaknya berhasil menerapkan strategi marketing itu. Andai tamannya diperkaya dengan bunga-bunga hidup, suasananya makin asyik.
Bagaimana dengan Menunya?
Meski Café Camilo berkesan menjual konteks, bukan berarti menunya diabaikan. Makanan nasi gorong berlabel Chicken Fried Rice misalnya, lumayan bersahabat di lidah. Sayang, teman-teman berkata, bumbunya sebaiknya diperkaya rasa. Tapi tentang minuman espresso, kiwi fruit squash, lychee tea, dan lychessrape,cukup menggoyang lidah. Nilai 9 deh!
Hasil-hasil Ngobrol Bolang di Café Camilo
Sambil membahas agenda Bolang, di Taman Café Camilo kami mencoba berdamai dengan alam. Bersama merangkai agenda komunitas, merajut asa. Di tempat ini, atas masukan teman-teman, lahirlah puisi dadakan goresan Mas Pairun Adi bertajuk “Bolang di Café Camilo”.
Kami bersyukur, kawan-kawan saling mensupport program penerbitan buku Kaledeoskop Komunitas, berisi “Bolang Berbagi”, seperti berbagi pengalaman wisata, "berbagi kasih", dan lain-lain. Buku itu diangkat dari hasil tulisan teman-teman yang sudah dipublish di Kompasiana. Kini masih dalam proses editing.
Hal yang sama, Mbak Lilik dan Mbak Desy hendak menerbitkan buku cerpen. Andai Desember nanti antrian naik cetak belum kelar, setidaknya komunitas kami sudah berusaha menghasilkan produk. Mohon do’a restu dan dukungan!
Di akhir sessi, Mbak Rara mencoba aplikasi video mini. Saat itu, setiap peserta diminta menjawab singkat pertanyaan apa Bolang itu?
Unik. Jawaban mereka berbeda-beda. Mas Hariadi bilang, "Bolang adalah hati". "Bolang adalah kebersamaan", versi Mas Hery. "Bolang adalah inspirasiku, tegas Mas Pairun Adi. "Bolang itu menulis", kataku. "Bolang adalah berbagi", tegas Mas Saiful. "Bolang itu kita", kata Mbak Fikri. Bolang adalah… Wkkwkw :). "Bolang adalah cinta", demikian Mbak Desy melengkapi. Ini edisi video mini sementara, kontribusi Bolang yang dikreasi oleh Mbak Rara.
Moment seperti itu, bagi saya adalah sisi lain “Tak Penting Tapi Perlu”. Keterlibatan mereka adalah wujud dari sharing and connecting. Tanpa partisipasi mereka, sebuah komunitas akan kering tak bermakna. Mbolang… Dolan Tapi Bukan Dolanan”.
Kami bersyukur, bisa mengakses nikmat Tuhan seperti ini. Punya kawan-kawan yang baik hati. Maka kami berusaha merajut asa bersama komunitas! Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H