Menulis “Pengalaman Berbagi”, seolah berada dalam dilemma bertutur ihwal “aku” berhadapan dengan dogma “Jika tangan kanan memberi, maka sebaiknya tangan kiri tidak tahu”. Namun menyebarkan pengalaman menginspirasi orang-orang sekitar dengan berbagi sesuatu sekecil apapun, adalah tindakan mulia. Tujuannya, agar manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang, seperti tema Kompasianival Berbagi 2016. Untuk itulah, tulisan ini diniatkan.
Hal itu mengingatkan saya pada event Kompasianival 2015, saat berpartisipasi mengisi acara di panggung komunitas bertema “Indonesia Juara”. Kala itu, di bawah tenda-tenda sarnafil dan iringan musik alam gerimis bulan Desember, saya bersama sekretaris Baznas (Gus Sulton Hanafi) dan manajernya (Gus Sulaiman), berbagi pengalaman tentang strategi hulu hilir (upstream and downstream management) pengembangan ekonomi binaan Baznas Kota Malang.
Tidak ada yang istimewa dengan peran saya sebagai bagian kecil dari tim pendamping, kecuali berdiskusi dan memberi masukan ihwal kemandirian ekonomi dan terjun ke lapangan saat diperlukan. Berikut beberapa pengalaman berkesan bersama Baznas.
Membebaskan Warga dari Jeratan Rentenir
Langkah awal dimulai dengan melakukan survey ke warung-warung kecil, seperti menemui penjual gorengan (kaki lima) di Cemorokandang. Berjam-jam kami mengamati perilaku mereka, berempati sambil ngobrol banyak hal dengan para pelakunya, hingga terbuka tabir ragam kesulitan keuangan yang mereka alami. Dari sinilah Baznas mendapatkan informasi, bahwa banyak yang terjebak “rentenir”, tak terkecuali si penjual gorengan itu. Jumlah pinjaman per individu rumah tangga berkisar antara Rp 1-2 juta, cicilannya bersifat harian/mingguan, dan bunganya berlipat ganda.
Kehidupan masyarakat perkotaan yang sedemikian tergantung pada uang sebagai alat transaksi sehari-hari, menjadi sebagian alasan masyarakat berpendapatan rendah mengandalkan jasa rentenir. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa kemiskinan itu laksana “takdir” yang tak bisa diubah. Struktur ekonomi belum ramah untuk mereka. Bilamana mau pinjam ke bank umum, banyak persyaratan yang tak mampu dipenuhi. Jebakan rentenir tak dapat dielakkan. Kondisi berikut, sebut saja namanya Bu Nah, adalah cermin situasi itu.
Bu Nah tinggal di gang sempit di Jodipan, sebuah gang yang banyak dihuni oleh para janda sepertinya. Penghasilan Bu Nah sekitar Rp 60 ribu/hari. Sementara itu, ia pinjam uang ke rentenir sebesar Rp 1 juta. Setelah dipotong beaya administrasi, ia terima bersih Rp 850 ribu. Bu Nah mencicil hutangnya tiap hari, selama 3 bulan. Total pengembalian mencapai Rp 1,4 juta. Bunga tinggi menjeratnya, sehingga ia sulit keluar dari lingkaran masalah. Hutang lagi dan hutang lagi. Bu Nah tak sendirian, banyak Bu Nah lain yang senasib. Mereka mengandalkan rentenir, karena tak banyak pilihan.
Bila dinilai secara moneter (makro) mengacu pada garis batas kemiskinan (pendapatan 2 $/hari), Bu Nah tak masuk kategori miskin mutlak. Tapi bila dihitung dari sudut pandang mikro, penghasilan Bu Nah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, apalagi meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang lebih baik. Fakta ini, menyadarkan kepada kita akan arti penting lembaga keuangan yang inklusif. Lembaga filantropi, perlu mengubah mindset aktivitas kedermawanannya, dari sekedar “santunan” menuju “kemandirian”.
Berangkat dari pangkal masalah tersebut, Baznas melakukan strategi dayakan komunitas miskin perkotaan melalui pendekatan ekonomi kelembagaan. Strategi ini lebih mengedepankan terciptanya modal sosial, menumbuhkan saling percayaan (trust), membuat aturan permainan sesuai kearifan lokal, dan membangun jejaring antar Baitul Maal dan KMKP.
Strateginya dimulai dengan cara terjun langsung ke kantong-kantong kemiskinan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data lapangan. Selanjutnya memetakan kluster sasaran penerima manfaat, melakukan beberapa kali pertemuan lanjutan, membuat aturan permainan sesuai kondisi lapangan, memilih orang-orang yang tepat dan layak dipercaya, melibatkan RT/RW setempat, hingga membentuk komunitas di antara mereka yang disebut Baitul Maal.
Baitul Maal berfungsi sebagai tangan kanan Baznas sekaligus Unit Pengumpul Zakat (UPZ), termasuk Infaq dan Shadaqah. Jadi, UPZ berperan sebagai semacam Amil Network. Setiap Baitul Maal menerima dana bergulir sekitar Rp 500 juta dari Baznas yang dicairkan secara bertahap untuk didayagunakan sesuai kebutuhan anggota. Efeknya, interaksi anggota dalam kelompok terjadi, dan muncul kepercayaan antara Baznas dengan Baitul Maal selaku UPZ. Idealnya, di setiap RW terdapat UPZ.
Bagaimana sistem sharingnya? Distribusi keuangan dari Baznas kepada Baitul Maal adalah 100% bersifat sosial. Oleh Baitul Maal, kemudian disalurkan kepada anggota KMKP untuk diproduktifkan. Nah yang ini sifatnya nyaris 100% bernilai bisnis. Artinya, tiap anggota berhak memanfaatkan dana bergulir untuk kegiatan usaha. Sementara untuk menutupi beaya operasional pengurus Baznas, lembaga filantropi plat merah ini ditopang dana APBD dan bersinergi dengan program Pemkot Malang.
Anggota yang memanfaatkan dana Baznas, rela memberikan sebagian pendapatannya (2,5%) untuk infaq ke Baitul Maal. Baznas menerima laporan kinerja Baitul Maal, sebagai dasar untuk pertanggungjawaban, melakukan evaluasi dan pendampingan. Kumpulan infaq dari anggota itu, dimanfaatkan lagi oleh dan untuk anggota. Dana yang terkumpul sepenuhnya milik Baitul Maal selaku UPZ.Dengan demikian, modal Baitul Maal terus berkembang.
Strategi Baznas Menghimpun Dana
Dari mana Baznas memperoleh sumber dana? Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Baznas mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat berikut Peraturan Pelaksanaannya, PP No. 14 Tahun 2014. Berdasarkan payung hukum tersebut, secara kelembagaan kedudukan Baznas cukup kuat sebagai lembaga resmi penghimpun dana masyarakat. Sungguh pun demikian, sejauh ini masih banyak Pemda yang belum memanfaatkannya secara optimal. Hal ini membutuhkan good will pejabat yang berwenang di tiap-tiap Daerah dan sinergitas sejumlah Satuan Kerja di bawah wewenangnya.
Di Kota Malang, Abah Anton selaku Walikota, telah menerapkan kebijakan pemotongan gaji PNS di lingkungannya, dengan Baznas sebagai pengelolanya. Ketika itu setiap PNS dipotong sebesar 2,5% yang diambilkan dari Tumpeng (Tunjangan Penghasilan). Tiap bulan pemasukan Baznas dari sumber ini, berkisar antara Rp 275 juta – Rp 300 juta. Dibandingkan tahun 2014, pada tahun 2015 pemasukan Baznas dari sumber ZIS mengalami peningkatan, karena ada kontribusi dana ZIS dari Kemenag setempat yang sejak tahun 2015 mulai menyetorkan dananya pada rekening Baznas Kota Malang.
Catatan Akhir Untuk Renungan
Penyebab kemiskinan itu kompleks, namun bukan berarti jalan keluarnya tertutup. Mereka yang terjebak rentenir ternyata masih dapat dientaskan, pun kemandirian ekonomi warga dapat ditingkatkan. Idealnya, seluruh mustahiq (penerima zakat), berubah menjadi muzakki (pemberi zakat) setelah difasilitasi modal stimulan. Baznas berpotensi dapat melakukannya melalui inovasi layanan penghimpunan dan pendayagunaan ZIS secara kreatif berlandaskan UU No. 23/2011 dan PP No. 14/2014.
Tugas Baznas tidak ringan, terutama sebagai instrumen pengentasan kemiskinan. Ibarat mobil, sektor moneter adalah olinya perekonomian, sektor riil adalah rodanya perekonomian, dan zakat adalah knalpot pembersih perekonomian. Jika ketiganya berjalan sinergis, perekonomian berpotensi berjalan sehat, seperti mobil baru di-tuneup.
Setidaknya, ada tiga pemain utama yang berperan dalam pengentasan kemiskinan, yaitu kehendak baik (good will) pemerintah, kinerja lembaga filantropi, dan peran serta masyarakat. Ketiganya perlu bersinergi. Tanpanya, “pemberdayaan” hanyalah kata-kata abstrak yang sampai saat ini sulit dimengerti, apalagi mencari contoh yang baik untuk ditiru. Bagaimana pengalaman Anda? Mari berbagi! Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H