Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merajut Kerukunan Agama di Medsos Berspirit Bhinneka Tunggal Ika

5 September 2016   08:07 Diperbarui: 5 September 2016   21:08 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai negara multi etnik, religi, ras dan budaya. Kita patut bersyukur, karena meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua, seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu bukan berisi politik pencitraan, namun telah dipraktekkan sejak lama. Menurut sejarahnya, kalimat itu berasal dari Kakawin Jawa Kuna (Kakawin Sutasoma) karangan Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin itu begitu istimewa, karena mengajarkan toleransi antar umat Hindu Siwa dengan umat Buddha pada masanya. Toleransi itu terekspresi dalam bait “Bhinnêka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang berarti “Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.

Berpuluh-puluh tahun lamanya, “Tri Kerukunan Agama” di negeri ini berjalan mengesankan. Sekedar contoh, terdapat Masjid yang dibangun berdekatan dengan Gereja atau Pura. Pemandangan ini biasanya berada di sekitar alun-alun dekat kantor pusat pemerintahan. Di Malang misalnya, umat Muslim ikut shalat Idul Fitri di halaman gereja. Pasalnya, jamaah yang shalat Idul Fitri di masjid Agung Jami Kota Malang mencapai ribuan orang. Mereka yang tak kebagian tempat, membentangkan sajadah di halaman Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus. Contoh lain adalah desain arsitektur Masjid Istiqlal Jakarta yang dibuat oleh seorang arsitek Nasrani, bernama Friedrich Silaban.

Masjid Jami' Kota Malang/Dok. Pribadi
Masjid Jami' Kota Malang/Dok. Pribadi
Satu hal menarik, adalah fenomena masyarakat Ambon. Menurut sejarah, kelompok-kelompok masyarakat di Ambon ketika itu bahu membahu melawan penjajah dengan mendiami sekitar benteng yang dibangun Portugis pada tahun 1575 di Pantai Honipopu yang disebut benteng Kota Laha atau Ferangi. Dalam perkembangannya, mereka menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur dan kota Ambon diberi hak yang sama dengan kolonial pada tahun 1921.

Kota Ambon tumbuh menjadi Ambon Manise, yang berarti kota Ambon yang cantik. Masyarakat Ambon Manise dikenal hidup rukun dalam kurun waktu yang lama, hingga Ambon diguncang kerusuhan sosial bermotifkan SARA antara tahun 1996-2002. Belakangan ini, Ambon Manise sudah berbenah diri menjadi kota yang lebih maju dan dilirik sebagai kota internasional di Indonesia Timur. Hal ini mengindikasikan, pada dasarnya masyarakat Ambon telah mempraktekkan hidup harmonis dalam kebhinnekaan dan toleransi yang tinggi sejak lama.

Fenomena itu menunjukkan bahwa Indonesia berazaskan Pancasila dikenal sebagai negara dengan kerukunan agama yang sangat tinggi. Masyarakat internasional mengapresiasinya. Alasannya, Indonesia memiliki pengalaman yang cukup dalam masalah toleransi beragama, segingga layak dijadikan model. Maka tak heran, jika Eropa mengagumi kerukunan umat beragama di Indonesia. Paling tidak, Indonesia adalah laboratorium kerukunan umat beragama. Hal itu seperti yang Franco Frattini apresiasikan untuk Indonesia. Menteri luar negeri Italia itu menyampaikannya pada pembukaan seminar bertema Unity in Diversity: The Indonesian Model for a Society in Which to Live Togetherpada tahun 2009 lalu (publikasi.kominfo.go.id).

Data hasil Survey Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2015 melaporkan, bahwa rata-rata nasional kerukunan umat beragama berada pada poin 75,36 dalam rentang 0-100. Artinya Indonesia berada pada ketegori kerukunan tinggi untuk aspek toleransi, kesetaraan dan kerjasama yang dijadikan indikatornya. Hal ini menggambarkan keharmonisan sebagian besar wilayah di Indonesia sangat baik. Namun hasil survey Kemenag itu masih menyisakan sejumlah catatan, misalnya terkait beberapa kasus konflik pendirian rumah ibadah di beberapa tempat (Kompas.com, 10/01/2016).

Seperti diidentifikasi oleh sumber ini, beberapa kasus konflik SARA yang paling mengerikan yang pernah terjadi di negeri ini, antara lain: (1) kasus sentimen etnis di Jakarta yang dipicu akibat krisis moneter 1998. Tragedi ini berujung pada aksi kerusuhan, penjarahan dan pembakaran; (2) konflik Ambon pada tahun 1999. Konflik ini meluluhlantakkan tatanan kerukunan agama di Ambon Manise yang sudah terjalin lama; (3) tragedi Sampit pada tahun 2001 yang cukup mengerikan; (4) aksi penyerangan terhadap kelompok Syi’ah di Sampang pada tahun 2012 silam.

Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik dalam Masyarakat Beragama

Menggunakan kerangka teori sosiologi ala Hendropuspito seperti dikutip dalam sumber ini, ada empat sebab timbulnya konflik tersebut, yaitu: (1) perbedaan doktrin dan sikap mental, (2) perbedaan suku dan ras agama, (3) perbedaan tingkat kebudayaan, dan (4) masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.

Di era media sosial (Medsos), keempat penyebab konflik tersebut semakin cepat meluas karena faktor teknologi informasi dan komunikasi yang didukung dengan jaringan internet. Sebaliknya, melalui smartphone, internet atau media sosial, benih konflik berpotensi cepat dicegah. Pasalnya, dewasa ini pengguna internet dengan mudah bertukar informasi/bekerja sama lewat medsos, seperti Facebook (Fb), WhatsAp (WA), Twitter, Blog, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya.

Bagaimana Cara Merajut Kerukunan Agama Lewat Media Sosial?

Setiap hari, kita dibanjir informasi positip. Sayangnya, pewarta terkadang terjebak pada adagium di dunia jurnalistik tentang apa yang disebut berita (news). Menurut Wikipedia, berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak.

Pengertian itu menjadi tereduksi, manakala berita hanya menonjolkan sisi peristiwa yang hangat, informatif, unik dan sebanyak-banyaknya menarik pembaca untuk tujuan tertentu. “Anjing menggigit orang” adalah bukan berita, tetapi ketika ada “orang mengigit anjing” baru dianggap berita. Sangat disayangkan, manakala sejumlah pemberitaan di media sosial dan media non mainstream yang muncul didominasi oleh berita tentang kasus-kasus negatif atau black campaign; sementara berita tentang peristiwa-peristiwa positip tak menarik minat pewarta dan pembaca. Berbeda halnya, saat media memang memerankan fungsi kontrolnya secara bijaksana.

Dewasa ini, pertumbuhan pengguna internet semakin cepat. Menurut hasil riset e-Marketer sebagaimana diliris Tekno.Kompas.com (24/11/2014), populasi netter Indonesia mencapai 83,7 juta pada tahun 2014. Diprediksi, mencapai 112 juta orang pada tahun 2017. Data tersebut berlaku untuk setiap orang yang mengakses internet setidaknya sekali dalam satu bulan, sehingga menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal pengguna internet seperti tergambar pada peraga di bawah ini.

Data Pengguna Internet/Sumber Data: e-Marketer dalam Tekno.Kompas.com (24/11/2014).
Data Pengguna Internet/Sumber Data: e-Marketer dalam Tekno.Kompas.com (24/11/2014).
Semakin meluasnya jumlah pengguna dan kemudahan mengakses internet, di satu sisi mempercepat arus informasi hingga menjadi viral. Begitu mudahnya masyarakat menyebarkan sesuatu yang menarik perhatian publik, seperti kasus permainan PokemonGo, cerita lucu ala Mukidi, dan lain-lain. Hal ini tidak akan menjadi masalah krusial, manakala masyarakat mampu menyikapinya dengan bijak.

Masalahnya akan menjadi lain, jika individu/kelompok mudah terpancing untuk menyebarkan isu-isu negatif yang memicu konflik, seperti kasus penistaan agama melalui facebook. Sebanyak 25 kasus status media sosial yang berujung ke ranah hukum, dapat dilihat pada sumber ini.

Untuk merawat kerukunan agama lewat medsos, ada beberapa sikap yang dapat dilakukan ketika mengkomunikasikan pengalaman, keyakinan, opini, atau berita baik lewat tulisan, percakapan atau ketika berkomentar di medsos, yaitu:

1. Menahan Diri dari Isu Spekulatif

Adalah manusiawi, jika seseorang terdorong untuk bereaksi ketika ada berita yang mengecewakan dirinya. Salah satu cara bijak untuk menghindari potensi konflik, adalah dengan sikap saling menahan diri. Hemat penulis, kita perlu mencari tahu terlebih dahulu tentang apa yang sedang terjadi, sebelum terlanjur berkomentar, atau sekedar meneruskan berita sensitif ke pengguna media sosial. Apalagi berita itu ternyata berita hoax dan bernada provokatif. Kiranya dipandang perlu untuk melakukan check dan recheck terhadap fakta-fakta yang terjadi untuk menghindari isu-isu spekulatif.

Jika memang harus berkomentar terhadap sebuah kasus, maka sasaran komentar layak kita arahkan pada pelakunya, bukan pada lembaga atau komunitasnya. Hal ini untuk menghindari efek spiral negatif yang tak perlu. Pasalnya, karena pengaruh hello effect, seseorang terkadang tanpa disadarinya dengan mudah melakukan generalisasi.

2. Mengedepankan Dialog pada Aspek Kemanusiaan

Salah satu solusi penting lainnya adalah mengedepankan dialog. Meski harus diakui, bahwa dialog bukanlah satu-satunya jaminan untuk menyelesaikan masalah. Namun hingga kini, dialog masih dipercaya sebagai salah satu bentuk peredam konflik yang terbaik.

Salah satu obyek dialog adalah dialog yang menekankan akibat konflik, yakni membicarakan nasib para korban yang melibatkan banyak pihak. Dialog demikian adalah dialog dari sisi kemanusiaan, bukan menekankan sisi kebenaran teologi semata (truth claim). Hal ini berguna untuk menghindari efek spiral saling balas komentar yang tak perlu di dunia maya. Bahkan untuk menghindari spiral aksi kekeraan di dunia nyata.

Dialog untuk kerukunan agama juga dipandang perlu mengaitkannya dengan tujuan agama itu dihadirkan ke muka bumi. Islam misalnya, melalui utusanNya, menghadirkan ajaran ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi semua (wa ma arsalnaaka, illa rahmatan lil ‘alamin). Nah, bagaimana solusi untuk mencapai tujuan bersama itu yang layak mendapatkan penekanan untuk didialogkan. Misalnya, bagaimana mengatasi konflik sosial yang dipicu akibat rendahnya literasi umat, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain sebagainya.

Suasana dialog atau komentar yang disampaikan adalah dialog atau komentar yang memunculkan sikap pengakuan dan apresiasi. Bahwa di samping keyakinannya sendiri, ada pemeluk lain yang berkeyakinan berbeda. Bahwa di samping ada tradisi atau pengalamannya sendiri, ada tradisi atau pengalaman pihak lain yang berbeda. Perbedaan ini adalah sunnatullah (hukum alam). Bukankah siapa saja yang melawan sunnatullah, niscaya dirinya akan hancur?

Bahwa setiap pemeluk agama yang berbeda merasakan beragam kekecewaan, adalah sangat mungkin terjadi. Pada titik inilah, masalah itu perlu dipecahkan, bukan fokus mencari kambing hitamnya. Untuk masalah pelanggaran hukum, sudah ada pihak yang berwenang. Kata kuncinya adalah mengakui. Dengan mengakui, maka akan muncul sikap terbuka dan apresiasi. Sebaliknya, tanpa ada pengakuan (alias menegasikan keberadaan pihak lain), maka yang muncul adalah sikap tertutup dan intoleran. Suasana ini berpotensi menjadi sumber ketegangan. Kerukunan antar umat beragama, menjadi penting karena sasaran yang dibicarakan adalah “kita”, bukan “aku”. Kita sangat membutuhkan sikap toleransi semacam ini.

Bahwa di antara kita berbeda dalam hal beragama adalah hal yang wajar. Agama itu sendiri memiliki komponen-komponen penting, seperti aspek keimanan, tata cara beribadah, tempat ibadah, tradisi beragama, simbol-simbol agama, latar belakang pemeluk agama, kitab suci, dan lain-lain.

Hemat penulis, sebagai seorang muslim, sikap toleran dalam aspek keimanan, adalah bersandar pada ajaran “lakum diinukum wa liyaddin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Hal ini mengisyaratkan bahwa seorang Muslim harus setia pada keyakinannya sendiri, dan menghormati keyakinan pemeluk agama lain tanpa harus menegasikannya. Sementara toleransi dalam aspek kemanusiaan bersandar pada ajaran “sebaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberikan manfaat kepada sesamanya” (khairun naas, anfa’uhum lin naas).

Walhasil, kesediaan sikap “mengakui” dan “mengapresiasi” di antara “kita”, bukan “aku”, adalah pintu awal terbukanya toleransi yang produktif. Nilai-nilai itu, kiranya relevan dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika. Melalui cara pandang demikian, diharapkan tumbuh toleransi di media sosial maupun dunia nyata. Mari kita bergandengan tangan untuk merawat kerukunan agama di tengah masyarakat kita yang berbhinneka tunggal ika.

Malang, 5 September 2016

Penulis:

  • twitter.com/yun_2015
  • facebook.com/Yunus Muhammad Nasuha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun