Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendialogkan Cita-cita Anak di Hari Pertama Sekolah

21 Juli 2016   09:56 Diperbarui: 21 Juli 2016   10:42 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak anak sedang bermain di area permainan PAUD/Dok. Pribadi

Sebut saja namanya Sayla. Sejak Senin-Rabu kemarin (18-20/7), Ibu dan ayahnya mengantar Sayla masuk di Hari Pertama Sekolah. Lokasinya di sekitar kawasan hunian masyarakat urban, kota Malang. Sejak saat itu, ia resmi menjadi siswi TK Kelompok A. “Hore... Aku sekarang jadi kakak TK”. Ocehnya, saat kami mengantarkannya masuk sekolah.

Sebagai aset bangsa, anak-anak hari ini menjadi penentu nasib masa depan negeri. Oleh karena itu, anak-anak hari ini patut memiliki cita-cita besar. Melalui pendidikan yang baik, diyakini anak-anak mampu melukis wajah ceria negerinya. Lantas, apa saja yang patut dilakukan di Hari Pertama Sekolah? Berikut pengalaman dan refleksi kami saat mengantarkan Sayla di hari-hari pertama masuk sekolah.

Aksi-aksi Penting di Hari Pertama Masuk Sekolah

Kesan awalnya biasa-biasa saja. Di hari-hari pertama masuk sekolah, belum ada pelajaran. Warga belajar masih berusaha saling mengenal lingkungan sekolah. Guru menyambut anak-anak di pintu gerbang. Sejak saat inilah, guru mulai mengenali karakter anak. Sesama orang tua saling berkenalan. Sambil melihat-lihat fasilitas belajar, kami perhatikan status sekolah yang terakreditasi “A”.

Guru Menyalami Murid di Depan Pintu Gerbang Sekolah/Dok. Pribadi
Guru Menyalami Murid di Depan Pintu Gerbang Sekolah/Dok. Pribadi
Ibu Sayla sempat bertanya kepada guru, sehingga ia kenal nomor HP Wali Kelasnya. Ayah Sayla sharing dengan salah satu orang tua murid tentang bagaimana agar anaknya bisa masuk sekolah tepat waktu. Tindakan-tindakan tersebut terkesan biasa saja. Padahal, jika dijadikan sebagai aksi bersama, Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah" berpotensi melahirkan aksi-aksi kreatif untuk kemajuan pendidikan.

Kala itu, pukul 06.30-an Wib Sayla sudah tiba di sekolah. Anak berseragam baru itu hadir paling awal. Suasana sekolah masih sepi. Sejurus kemudian, anak-anak lainnya hadir diantarkan oleh orang tuanya masing-masing. Jam masuk sekolah memang baru dimulai pukul 07.00 wib-09.00 wib untuk Kelompok A. Sementara untuk Kelompok B dimulai pukul 08.00 wib-10.00 wib. Sejak di Play Group, Sayla sudah terbiasa datang lebih awal. Dia gelisah jika tidak segera berangkat sekolah, meski belum tahu pukul berapa berangkatnya.

Anak anak dibiasakan meletakkan sepatu pada tempatnya saat tiba di sekolah/Dok. Pribadi
Anak anak dibiasakan meletakkan sepatu pada tempatnya saat tiba di sekolah/Dok. Pribadi
Tiba di sekolah, guru barunya sudah berdiri di pintu gerbang. Guru melempar senyum, sapa, dan salam. Sayla terlihat malu-malu bersua dengan guru barunya. Usai bersalaman, Sayla segera pergi mencari rak untuk menaruh tas dan sepatunya. Kebiasan mandiri itu telah ia dapatkan sejak semasa di Play Group. Sayang, waktu main plorotan di hari pertama masuk TK, dia ngompol. Kwek Kwek…

Anak-anak Sedang Bermain Plorotan/Dok. Pribadi
Anak-anak Sedang Bermain Plorotan/Dok. Pribadi
Apa yang dapat dilakukan oleh para guru? Bukankah selama 5-6 hari dalam seminggu, anak-anak berada di sekolah? Bertahun-tahun, anak-anak membelanjakan waktunya untuk belajar di sekolah. Sepertiga harinya mereka berada di sekolah. Bagi anak-anak TK, setidaknya selama 2-3 jam sehari berada di sekolah. Tapi, sebagian anak-anak yang lain bisa lebih lama lagi. Karena Ayah ibunya sama-sama bekerja, anak-anak dititipkan di Tempat Penitipan Anak (TPA). Apalagi TPA itu juga berada di sekolah, praktis sekolah seperti menjadi rumah kedua bagi anak-anak.

Untuk itulah, diharapkan para pelaku pendidikan gayung bersambut membantu anak-anak melukis cita-citanya. Ya. Hakekat pendidikan adalah membantu anak-anak melukis masa depannya. Melukiskannya di rumah kedua yang nyaman untuk anak-anak. Dalam konteks ini, mengantarkan anak ke sekolah, adalah peluang membangun persepsi, komunikasi, dan interaksi sinergis antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya (Tri Pusat Pendidikan).

Wajah ceria anak-anak bermain plorotan/Dok. Pribadi
Wajah ceria anak-anak bermain plorotan/Dok. Pribadi
Bagi orang tua, mengantarkan anak ke sekolah diharapkan dapat mengenal visi-misi sekolah. Juga mengenal para guru, wali kelas, kepala sekolah, dan sesama orang tua. Setidaknya, dengan mengantarkan anak ke sekolah, orang tua mengenal fasilitas belajar. Lebih jauh, orang tua dapat memberikan ide-ide kreatif dan jalan keluar untuk kemajuan sekolah.

Fasilitas Sekolah Tempat Sayla Belajar dan Bermain/Dok. Pribadi
Fasilitas Sekolah Tempat Sayla Belajar dan Bermain/Dok. Pribadi
Bagi guru, di hari-hari pertama masuk sekolah berkesempatan mengenali karakter anak. Seperti terjadi pada anak kami di hari pertama sekolah yang kebetulan “ngompol” kala itu. Rupanya, si anak berusaha menahan pipis saat bermain plorotan, karena dia belum berani bicara langsung kepada guru barunya. Bersyukur, setelah kami bertemu gurunya dan mengatakan karakter anak, di hari-hari berikutnya dia sudah tidak “ngompol” lagi. Anak itu merasa nyaman berada di sekolah.

Sayla berkata: “Guru-gurunya baik, semuanya sayang sama Sayla. Tapi… kenapa Ayah jemputnya lama sekali ya?” Pasalnya, ayahnya menjemput paling akhir, setelah teman-teman Sayla balik semua. Jadwal fix kala itu memang belum terbagi. Pada hari-hari berikutnya, ayahnya menjemput sebagaimana mestinya. Karena pada hari kedua, jadwal masuk dan kepulangan masing-masing kelompok sudah terbagi. Jadwal itu diberikan oleh gurunya kepada para orang tua melalui anak-anaknya.

Selama berada di sekolah, saya perhatikan anak-anak sedang asyik bermain plorotan, ayunan, dan sejenisnya. Bahkan di hari ketiga ceritanya semakin lengkap. Sayla bercerita tentang kegiatan bersama kelompoknya. Bersama teman-temannya, Sayla menyusun rumah dari balok kayu di atas karpet berwarna Pink kesukaannya.

Anak anak sedang bermain di area permainan PAUD/Dok. Pribadi
Anak anak sedang bermain di area permainan PAUD/Dok. Pribadi
Sayla juga bercerita tentang dua temannya (sebut saja Rizki dan Arza) yang kini sekolah di tempat lain, jauh sekali, katanya. Tapi kawannya yang lain, sebut saja Secha dan Jihan, berada dalam satu kelas yang sama, demikian dia menambahkan. Tadi pagi, saya lihat dia dan anak-anak lain sedang asyik main kereta api sambil asyik bersuara “tut…tut…tut….

Anak anak Bermain Kereta Api, Tut...Tut... Tut.../Dok. Pribadi
Anak anak Bermain Kereta Api, Tut...Tut... Tut.../Dok. Pribadi
Mendialogkan Cita-Cita Anak Sejak Dini

“Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar ketika dewasa laksana mengukir di atas air”. Pepatah itu menegaskan pentingnya belajar sejak dini. Hal yang sama, penting pula merangsang cita-cita anak-anak sejak dini.

Nak… kalau sudah besar, kamu ingi jadi apa?”, tanyaku pada Sayla saat mengantarkan anak di hari pertama masuk sekolah. “Tentara…”. Jawab putri bungsu itu singkat. “Emmm… Adik benar-benar  ingin jadi tentara?”, tanyaku menyelidik. “Ya… kan di Play Group cita-citaku jadi tentara, sekarang di TK ya harus sama Yah Yah....”. Dia belajar memberi alasan.

Sebelumnya, tak terpikirkan oleh saya, dia bercita-cita jadi tentara, dan tetap bersikukuh hingga masuk TK. Dialog berlanjut hingga sesampai rumah.

Nak… ayah ingin tahu, tentara itu pekerjaannya apa sih?”, tanyaku menyelidik. Dia menjawab: “Kalau tentara perempuan ya latihan senam Yah. Kadang-kadang latihan menyanyi…”. Hehe…

“Nah… kalau tentara laki-laki, apa tugasnya?”, tanyaku lagi. Sayla menjawab: “Ya perang-perangan Yah…Yah, kan dia laki-laki. Gimana Ayah ini, masak tidak tahu”. Kwek Kekkk…

Kalau jadi guru seperti Mama, suka?”.  Tanyaku membandingkan. “Ya suka aja, Ayah. Tapi kan aku ingin jadi tentara… kayak Frozen itu loh Yah…”,dia berusaha menegaskan lagi.

Saya jadi teringat dia menyukai karakter Anna, tokoh perempuan berambut pirang kemerahan dan bermata biru dalam fiksi 3D Disney Animasi Frozen. Di kepala Anna terdapat segenggam rambut putih, akibat Elsa kecil melukai Anna dengan serangan esnya.

Mungkin karenanya, Sayla berimajinasi ingin jadi seperti Anna yang dikarang oleh sutradara Frozen, Chris Buck dan Jennifer Lee. Ide ceritanya dikembangkan dari dongeng Ratu Salju karangan Hans Christian Andersen. Anna ditokohkan sebagai gadis yang pemberani, ramah, ceria, dan bertanggung jawab. Anna juga berkarakter sebagai wanita romantis.

“Anak-anakmu bukan anak-anakmu, tapi anak-anak kehidupan”.

Petikan puisi karya Kahlil Ghibran itu seolah menggambarkan pola relasi orang tua dengan anak-anaknya. Dia anaknya, tapi milik zamannya. Orang tua tidak bisa memaksakan cita-cita anak-anaknya. Peran orang tua hanya membantu anak-anak menuju kedewasaannya. Membantu mengoptimalkan fitrahnya (potensinya).

Oleh karenanya, anak-anak perlu difasilitasi agar cita-citanya bertumbuh, meski sebatas imajinasi. Cita-cita pada masa usia dini, mungkin berubah ketika beranjak dewasa. Tidak cukup bagi para pendidik sekedar bertanya: “Nak… apa cita-citamu setelah besar nanti?”.

Lebih dari itu, anak-anak perlu mendapatkan bantuan lewat beragam metode dan media pembelajaran edukatif yang memungkinkan cita-citanya berkembang. Di sekolah dan di rumah. Lewat cerita, film animasi, alat peraga, aneka permainan, kunjungan lapangan, suasana nyaman di sekolah dan di rumah, berdialog, dan lain sebagainya. Salah satunya adalah melalui program sharing profesi dari orang tua di hadapan anak-anak dan guru.

Gagasan Sharing Profesi, Bantu Wujudkan Cita-Cita Anak

Tiga hari pertama masuk sekolah sudah dilalui. Namun masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu melukiskan masa depan anak-anak. Dia ingin menjadi apa ketika dewasa nanti. Untuk memperoleh gambaran awal tentang cita-citanya, salah satu caranya adalah perlu pengenalan terhadap ragam profesi. Misalnya melaksanakan program sharing profesi orang tua di depan kelas.

Edukasi untuk para orang tua murid di Lembaga PAUD "Restu" Kota Malang/Dok. Pribadi
Edukasi untuk para orang tua murid di Lembaga PAUD "Restu" Kota Malang/Dok. Pribadi
Katakanlah orang tua yang penyiar TV, memperkenalkan pekerjaannya di kelas tempat anak-anaknya bersekolah. Orang tuanya yang wartawan mengajarkan bagaimana membuat karangan (tulisan). Demikian dengan profesi lain seperti fotografer, dosen, wirausahawan, dan lain sebagainya dapat menyesuaikan diri. Waktunya bisa dilakukan secara bergantian.

Sementara di luar kelas, anak-anak bisa diajak mengamati bagaimana koki bekerja di restoran. Memperhatikan bagaimana pedagang berbisnis di pasar, polisi mengatur lalu lintas di jalan raya, banker bekerja di bank, para prajurit menerjunkan payung parasitnya, dan lain-lain. Hal itu tergantung pada potensi masing-masing lingkungan sekolah. Harapannya, tumbuh imajinasi anak-anak tentang cara mememecahkan masalah sesuai dengan profesinya. Bukankah menanam memori positip anak sejak kecil laksana mengukir seperti di atas batu? Menancap!

Di tempat belajar anak kami selama ini, memang sudah memiliki program periodik. Misalnya, anak-anak difasilitasi untuk saling berbagi makanan dengan temannya, diajak ke stasiun dan naik kereta api, melihat Taman Safari, Museum Angkut, dan bermain peran di “Pasar Sekolah”. Bahkan, bila liburan tiba selalu ada program pergi ke tempat-tempat wisata.

Anak Anak PAUD belajar transaksi jual beli di acara
Anak Anak PAUD belajar transaksi jual beli di acara
Kegiatan-kegiatan itu positip. Namun mengingat pentingnya tema “Aku dan Cita-Citaku” ditanamkan sejak dini, tema ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Program itu perlu didesain dengan baik dalam Rencana Kegiatan Harian (RKH), Program Semesteran dan Tahunan. Jika dipandang perlu, program itu disusun bersama guru dan orang tua. Progam sharing profesi orang tua di kelas perlu didesain yang memungkinkan anak bersemangat menjadi calon generasi terbaik.

Lesson Learn Untuk Guru dan  Orang Tua

Pendidikan berjalan melalui sebuah proses yang panjang. Karena itu, tidak saja bagi anak-anak, bagi guru maupun orang tua juga berlaku hal yang sama. Saya yakin, setiap guru dan orang tua, menyadari betapa pentingnya belajar berproses secara terus menerus untuk menjadi dan memberi yang terbaik bagi lingkungan sekitarnya. Tujuannya, untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan bagi masa depan anak-anaknya.

Salah satu bentuknya adalah melalui lesson learn. Misalnya, sesekali orang tua secara bersama menyaksikan secara langsung bagaimana guru-gurunya mengajar di kelas untuk anak-anaknya. Para orang tua kemudian memberikan masukan yang positip. Etikanya, terhadap perilaku guru yang baik diberi masukan untuk dikembangkan.

Sementara terhadap perilaku guru yang negatif, orang tua tidak membicarakannya di forum itu. Pola ini mencerminkan adat ala ketimuran, seperti halnya berlaku di Jepang. Harapannya, muncul spirit saling mengevaluasi diri dan menghargai, demi perbaikan mutu pendidikan.

Apapun profesi anak-anak kita nanti, yang terpenting potensinya berkembang secara wajar. Kehadiran mereka memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang! Yuk bantu anak-anak kita mengukir cita-citanya. Bersama-sama kita berpartisipasi membantu mengukir wajah negeri tercinta. Karena masa depan negeri ini berada di tangan mereka. Karena pendidikan adalah elevator, tangga terbaik untuk meraih masa depan.

Sayla pulang sekolah menarik tasnya sendiri/Dok. Pribadi
Sayla pulang sekolah menarik tasnya sendiri/Dok. Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun