Mungkin karenanya, Sayla berimajinasi ingin jadi seperti Anna yang dikarang oleh sutradara Frozen, Chris Buck dan Jennifer Lee. Ide ceritanya dikembangkan dari dongeng Ratu Salju karangan Hans Christian Andersen. Anna ditokohkan sebagai gadis yang pemberani, ramah, ceria, dan bertanggung jawab. Anna juga berkarakter sebagai wanita romantis.
“Anak-anakmu bukan anak-anakmu, tapi anak-anak kehidupan”.
Petikan puisi karya Kahlil Ghibran itu seolah menggambarkan pola relasi orang tua dengan anak-anaknya. Dia anaknya, tapi milik zamannya. Orang tua tidak bisa memaksakan cita-cita anak-anaknya. Peran orang tua hanya membantu anak-anak menuju kedewasaannya. Membantu mengoptimalkan fitrahnya (potensinya).
Oleh karenanya, anak-anak perlu difasilitasi agar cita-citanya bertumbuh, meski sebatas imajinasi. Cita-cita pada masa usia dini, mungkin berubah ketika beranjak dewasa. Tidak cukup bagi para pendidik sekedar bertanya: “Nak… apa cita-citamu setelah besar nanti?”.
Lebih dari itu, anak-anak perlu mendapatkan bantuan lewat beragam metode dan media pembelajaran edukatif yang memungkinkan cita-citanya berkembang. Di sekolah dan di rumah. Lewat cerita, film animasi, alat peraga, aneka permainan, kunjungan lapangan, suasana nyaman di sekolah dan di rumah, berdialog, dan lain sebagainya. Salah satunya adalah melalui program sharing profesi dari orang tua di hadapan anak-anak dan guru.
Gagasan Sharing Profesi, Bantu Wujudkan Cita-Cita Anak
Tiga hari pertama masuk sekolah sudah dilalui. Namun masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu melukiskan masa depan anak-anak. Dia ingin menjadi apa ketika dewasa nanti. Untuk memperoleh gambaran awal tentang cita-citanya, salah satu caranya adalah perlu pengenalan terhadap ragam profesi. Misalnya melaksanakan program sharing profesi orang tua di depan kelas.
Sementara di luar kelas, anak-anak bisa diajak mengamati bagaimana koki bekerja di restoran. Memperhatikan bagaimana pedagang berbisnis di pasar, polisi mengatur lalu lintas di jalan raya, banker bekerja di bank, para prajurit menerjunkan payung parasitnya, dan lain-lain. Hal itu tergantung pada potensi masing-masing lingkungan sekolah. Harapannya, tumbuh imajinasi anak-anak tentang cara mememecahkan masalah sesuai dengan profesinya. Bukankah menanam memori positip anak sejak kecil laksana mengukir seperti di atas batu? Menancap!
Di tempat belajar anak kami selama ini, memang sudah memiliki program periodik. Misalnya, anak-anak difasilitasi untuk saling berbagi makanan dengan temannya, diajak ke stasiun dan naik kereta api, melihat Taman Safari, Museum Angkut, dan bermain peran di “Pasar Sekolah”. Bahkan, bila liburan tiba selalu ada program pergi ke tempat-tempat wisata.