Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rahasia Sukses Budi Daya Lele di Kawasan Minapolitan

29 Juni 2016   08:39 Diperbarui: 29 Juni 2016   11:19 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakan Lele dari Limbah Ayam Ala Cak Malik/Dok. Pribadi

“Kami tidak ingin menjadi petani lele sukses, tetapi ingin menjadi guru bagi petani lele yang sukses,” demikian kata Cak Malik kepada kami di kolam lelenya, Peterongan Jombang. Di tempat terpisah, sahabat seniornya yang lebih dahulu sukses memelihara lele di kawasan Minapolitan Lele Banyulegi Pasuruan mengatakan, “Memelihara lele itu mudah, tapi tidak semua orang sanggup menyediakan pakan lele yang murah. Kunci sukses budi daya lele itu ada pada pakannya.” Rupanya, Cak Malik dan sahabatnya itu mampu memecahkan masalah ekonomi setempat melalui kegiatan minabisnis (bisnis perikanan) lele.

Sebagai gambaran simpel, Cak Malik bermodalkan Rp 30 juta untuk bibit lele dan bahan baku pakannya. Dalam tempo sekitar 6 bulan, usahanya memperoleh pendapatan kotor senilai Rp 90 juta. Sementara sahabatnya di Banyulegi Gunungsari Pasuruan, dengan biaya bibit Rp 5 juta, biaya pakan Rp 10 juta, dalam waktu 3 bulan memperoleh pendapatan kotor Rp 30 juta. Pendapatan sebesar ini tinggal dikalikan dengan seberapa banyak kemampuan produksinya. Maka wajar, jika masyarakat sekitarnya tertarik membuka usaha lele hingga daerah ini dikenal sebagai Kawasan Minapolitan Lele. Daerah itu berada di Dusun Banyulegi, Desa Gunungsari, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, JawaTimur yang kami kunjungi pada Minggu lalu (26/6). Apa rahasia suksesnya?

Menegok Kawasan Minapolitan Lele di Banyulegi

Ditemani Cak Malik, pada hari Minggu itu kami diantarkan untuk melihat dari dekat kolam-kolam lele milik sahabatnya. Lokasinya berada di Dusun Banyulegi. Dari pertigaan jalan raya menuju daerah ini, terdapat papan penunjuk arah bertuliskan “KAWASAN MINA POLITAN LELE”. Apa arti Minapolitan itu?

Papan Penunjuk Arah Menuju Minapolitan Lele Banyulegi Gunungsari Beji Pasuruan/Dok. Pribai
Papan Penunjuk Arah Menuju Minapolitan Lele Banyulegi Gunungsari Beji Pasuruan/Dok. Pribai
Minapolitan merupakan gabungan dari kata mina (ikan) dan polis/politan (kota), yang berarti 'kota perikanan'. Secara ekonomi, kawasan minapolitan adalah sentra ekonomi di suatu kawasan dengan produk perikanan sebagai komoditas unggulannya. Friedman dan Douglass (1985) merumuskan konsep Minapolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan berpenduduk antara 50.000–150.000 jiwa. Kawasan Minapolitan juga bisa diartikan sebagai suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya (sumber).

Sebagai bagian dari Kawasan Minapolitan lele, Kecamatan Beji berpenduduk 80.669 jiwa menurut data kependudukan 2009-2013, terdapat sentra lele di Banyulegi. Sebuah sumber menyebutkan, dari 150 KK yang terdapat di Dusun Banyulegi pada tahun 2012, mayoritas warga yang sudah menekuni usaha ternak lele sebanyak 84 KK, termasuk kepala desanya ketika itu (H. Abdul Hamid). Menurut sumber tersebut, budi daya lele di kawasan ini pertama kali dirintis sejak tahun 1990.

Setiba di lokasi, kami menyaksikan bagaimana lele-lele itu hidup di kolam-kolam dengan ukuran yang bervariasi. Ada kolam yang dibuat di atas tanah dengan dinding beton. Namun, kebanyakan terdapat di areal persawahan atau pekarangan dengan cara digali. Sumber pengairannya berasal dari air sungai, bukan dari pompa air. Tampak lele-lele itu saling berebut makanan, saat pakan dari olahan limbah telur itu ditebarkan di atas kolam.

Lele sedang berebut makanan/Dok. Pribadi
Lele sedang berebut makanan/Dok. Pribadi
Kunci utama keberhasilan budi daya lele di Banyulegi terletak pada efisiensi biaya pakan. Jika sukses membuat pakan sendiri dengan biaya murah, usaha lelenya bakal mendulang untung. Sebagai gambaran, satu paket modal Rp 5 juta untuk bibit dan Rp 10 juta untuk pakan, diperoleh pendapatan kotor sebesar Rp 30 juta dalam tempo sekitar 3 bulan. Demikian tutur pemilik kolam yang juga teman Cak Malik. Kita tinggal mengalikan berapa banyak hasil produksinya. Menguntungkan, bukan?

Dari mana pakannya mereka peroleh? Mereka membentuk komunitas dan membuat pakan sendiri. Bahan bakunya berasal dari limbah telur. Sayang, meski limbah telur kaya protein, tapi baunya cukup menyengat. Limbah itu didapatkan dari perusahaan penetasan telur dengan sistem kontrak. Telur-telur yang tidak menetas itulah yang diolah menjadi pakan lele. Oleh karena itu, dapur pengolah pakan itu diletakkan agak jauh dari pemukiman penduduk. Lokasinya terletak di pinggir sungai dekat pekuburan. Kita bisa bayangkan, bagaimana baunya?

Dapur Olah Pakan Lele Berada Di Dekat Pekuburan/Dok. Pribadi
Dapur Olah Pakan Lele Berada Di Dekat Pekuburan/Dok. Pribadi
Pakan Lele Dari Limbah Telur Sat Dimasak Di Dapur Pakan/Dok. Pribadi
Pakan Lele Dari Limbah Telur Sat Dimasak Di Dapur Pakan/Dok. Pribadi
Bagaimana teknik pemrosesan pakannya? Mula-mula telur-telur itu dipisahkan dari cangkangnya, selanjutnya dimasak dengan sistem penguapan di dapur pengolah pakan lele. Setelah siap saji, ia simpan di bak-bak khusus. Hasil olahan itu dibagikan ke masyarakat sekitar yang menjadi mitranya. Sementara sisa cangkangnya, diolah untuk bahan makanan ternak bebek.

Dapur Pengolah Makanan Lele dari Limbah Telur/Dok. Pribadi
Dapur Pengolah Makanan Lele dari Limbah Telur/Dok. Pribadi
Sungguh pun berbau, tetapi pakan buatan sendiri itu memiliki nilai efisiensi ekonomis tinggi. Diperoleh keterangan, biaya rata-rata pakan lele dari limbah telur hanya Rp 2.000 - Rp 2.500 per/kg. Bandingkan jika harus membeli pakan pelet pabrikan. Ke depan, perlu ada perbaikan teknologi pengolah limbah untuk pakan lele. Tujuannya, agar baunya tidak menyebar dan mutu produknya lebih baik.

Budi Daya Lele dan Spirit Pemberdayaan ala Cak Malik

Kunci sukses budi daya lele lainnya adalah terletak pada karakter kinerja entrepreneur seperti ditunjukkan oleh Cak Malik. Dia bertindak kreatif dan bekerja keras untuk menghasilkan yang terbaik. Saya jadi ingat kata Rudy Fang dalam sebuah diskusi bersama beberapa bulan lalu (2016). Dia mengatakan, “Jika Anda hanya bisa menyapu, maka jadilah tukang sapu terbaik di dunia.” Terlepas Anda setuju atau tidak, inilah yang saya maksud dengan contoh karakter kinerja entrepreneur, bukan sekedar karakter moral seperti diajarkan dalam sistem persekolahan

Pelajaran itu saya peroleh dari Cak Malik, yang juga alumnus pesantren pada Lembaga Pendidikan Al Kaaffah Kepanjen Malang. Sekitar seminggu sebelum mengunjungi Banyulegi, kami berempat melihat kolam miliknya yang dijadikan eksperimen. Lokasinya di pinggir jalan raya Peterongan Jombang. Kolam-kolamnya berada di belakang pekarangan rumahnya dengan ukuran yang beragam.

Cak Malik memanfaatkan limbah ayam mati. Setelah dimasukkan dalam air panas, ayam-ayam mati itu dicabuti bulu-bulunya. Bahan pakan limbah ini kemudian dihancurkan dengan mesin giling. Untuk mengurangi baunya, Cak Malik menyiram lokasi bekas pemrosesan pembuatan pakan dengan air gamping. Sangat efisien. Menurutnya, rata-rata biaya operasional produksi pakan dari limbah ayam hanya Rp 2.300/kg. Pakan siap saji itu Cak Malik berikan hanya pada malam hari, sekali dalam setiap harinya. Menurut Cak Malik, hal itu sesuai dengan tipikal lele sebagai binatang malam. Sungguh pun demikian, setiap 10 hari sekali, Cak Malik memberikan variasi menu makanan khusus dari pelet untuk perbaikan protein dan obat bagi lele-lelenya. 

Pakan Lele dari Limbah Ayam Ala Cak Malik/Dok. Pribadi
Pakan Lele dari Limbah Ayam Ala Cak Malik/Dok. Pribadi
Untuk setiap luas kolam 1 m3, ia tebarkan bibit lele berisi 125 ekor. Ada pula yang didesain tiap 1 m3 diisi dengan 200 ekor lele. Pada saat kami berkunjung ke sana, saya ditunjukkan seekor lele yang sudah berumur 4 bulan 10 hari. Tampak lele itu sudah besar dan siap panen. Jika dipanen pada saat itu, ia sudah beruntung. Namun ia sengaja tidak segera memanennya, karena Cak Malik hendak membesarkan lagi guna memenuhi permintaan pasar jenis khusus. Katanya, pasar sudah siap menampung. Sesuai perhitungannya, modal sebesar Rp 30 juta, bisa menghasilkan pendapatan kotor sebesar Rp 90 juta dalam waktu 6 bulan.

Lele berumur 4 bulan 10 hari di Kolam Cak Malik, Peterongan Jombang/Dok. Pribadi
Lele berumur 4 bulan 10 hari di Kolam Cak Malik, Peterongan Jombang/Dok. Pribadi
Untuk mempelajari karakter lele, ia sengaja menanam bibit yang paling kecil. Alasan Cak Malik, agar ia bisa memahami betul bagaimana kesulitan-kesulitan pemeliharaannya sedari awal. Menurutnya, kolam ini sengaja didesain untuk budi daya lele sekaligus riset. Jika hasilnya sudah benar-benar sesuai standar, hasilnya akan ditularkan kepada para jamaah lain di sekitarnya yang tergabung dalam jejaringnya. Karena itu ia bilang, “Kami tidak ingin menjadi petani lele sukses, tetapi ingin menjadi guru bagi petani lele yang sukses.”

Bahkan Cak Malik telah menyiapkan pola budi daya lele yang cocok untuk jama’ah lain. Setiap jamaah (tiap satu Kepala Keluarga) dipersiapkan mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 5 juta untuk setiap bulannya. Caranya, tiap jamaah tinggal mengambil bibit lele ukuran khusus dan pakan yang telah ia siapkan. Tiap bulan bisa dipanen. Salut.

Catatan Akhir Untuk Refleksi

Hemat saya, apa yang dilakukan mereka merupakan perwujudan riil dari pemberdayaan ekonomi rakyat. Usahanya berspirit socio-preneur. Muncul inisiasi kegiatan bisnis yang melibatkan rakyat banyak. Meskipun usaha Cak Malik masih dalam taraf riset sederhana, tapi tanda-tanda keberhasilannya sudah tampak. Buktinya, hanya sekitar 5% bibit lelenya yang mati, selebihnya bibit itu tumbuh besar hingga berumur 4 bulan 10 hari. Demikian pula dengan budi daya lele di Kawasan Minapolitan Lele Banyulegi Pasuruan. Fakta ini merupakan bagian dari wujud nyata konsep pembangunan wilayah berprinsip “daerah kuat, makabangsa dan negara pun kuat”.

Sepulang dari sana, kami berdiskusi dengan teman-teman bagaimana bisa mewujudkan jejaring ekonomi kerakyatan di tempat lain. Perlu solusi agar masyarakat pinggiran dan institusi-institusi pendidikan di daerah dapat hidup mandiri secara ekonomi. Mereka tidak harus berlomba mengajukan proposal bantuan. Karenanya mereka perlu fasilitasi agar dapat saling bekerja sama memanfaatkan potensi lokal masing-masing. Ada contoh untuk itu, ialah Korea Selatan. Negeri Ginseng ini punya institusi sosial "Semauel Undong" sebagai gerakan membangun desa maju. Kita juga punya tradisi "gotong royong". Kini tradisi itu perlu dihidupkan kembali untuk diisi dengan usaha ekonomi saling berbagi, seperti halnya pelaku budi daya lele di Banyulegi dan Jombang. Saya yakin, Anda merupakan bagian penting dari pemecah masalah ekonomi rakyat di tempat Anda! Mari kita saling berbagi untuk memecahkan masalah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun