Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komunitas Bolang, Yuk Saling Menginspirasi!

1 Juni 2016   16:37 Diperbarui: 2 Juni 2016   15:50 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbak Wawa (paling kiri) dan Mas Nurulloh (paling kanan) saat Roadshow Kompasiana di Kampus UB/Dok. Pribadi

Menyapa “Wong Cilik” dan Pak Tua

Pada malam itu (9/5/2016), Bolang berkeliling membawa sejumlah nasi bungkus dan seperangkat bahan-bahan makanan mentah untuk diberikan kepada para tukang becak dan buruh kasar yang kebetulan sedang kami temui di tepi jalan. Ada yang unik, saat kami bertemu secara tak sengaja dengan tukang cukur rambut, sebut saja Pak Tua.

Pak Tua itu, setiap hari bekerja mulai pukul 11.00 Wib – 16.00 Wib. Tempat kerjanya di pinggir jalan raya, bersandar pada tepi pagar seng tua yang membatasi sebuah bangunan yang sedang dipugar. Unik. Lapaknya tak berdinding dan tak beratap. Ia hanya bermodalkan sebuah kursi kayu. Ada gunting, sisir, cermin, dan peralatan cukur  tradisional ala kadarnya ditempelkan pada seng tua itu. Lokasinya berada di daerah Kasin, seberang jalan depan mulut Gang IR Rais 8, Sukun, Kota Malang.

Perlengkapan Cukur Tradisional, Bersandar di Pagar Seng/Dok. Pribadi
Perlengkapan Cukur Tradisional, Bersandar di Pagar Seng/Dok. Pribadi
Pak Tua Sedang Melayani Pelanggannya/Dok. Pribadi
Pak Tua Sedang Melayani Pelanggannya/Dok. Pribadi
Tempat mangkal Pak Tua berdekatan dengan Tempat Pembuangan Sampah (TPA). Untuk sekedar berlindung dari sengatan matahari dan guyuran hujan, Pak Tua memilih lokasi tepat di bawah pohon beringin. Jika hujan datang, maka saat itu pula dia harus segera berlari mencari tempat bernaung di emper-emper toko.

Di sinilah Pak Tua Bekerja Setiap Harinya. Tampak Dua Anggota Bolang Sedang Memayunginya Saat Hujan Tiba/Dok. Pribadi
Di sinilah Pak Tua Bekerja Setiap Harinya. Tampak Dua Anggota Bolang Sedang Memayunginya Saat Hujan Tiba/Dok. Pribadi
Rata-rata setiap hari, dia mendapatkan 5 - 8 pelanggan. Untuk sekali menggunakan jasa cukurnya, pelanggan hanya diminta membayar Rp 5.000. Pak tua pernah seharian tak mendapatkan pelanggan, ya karena alasan hujan. Terkesan betapa beratnya hidup dia. Boleh jadi begitu. Tapi setelah kami berbincang-bincang, ternyata kami salah. Bahagia itu sederhana, mengapa?

Berbincang santai dengan Pak Tua/Dok. Pribadi
Berbincang santai dengan Pak Tua/Dok. Pribadi
Pak Tua masih mampu bertahan sebagai tukang cukur hampir 32 tahun, di tengah persaingan layanan cukur modern. Meski sebelumnya harus berkali-kali pindah tempat karena digusur petugas, ia dapat menikmati hidupnya seperti yang sekarang ini.  Sambil tersenyum ramah dan tertawa lepas pertanda tak ada rasa galau yang memancar dari raut wajahnya sedikitpun, Pak Tua  itu bilang:

Anggota Bolang, Mas Hariadi, Sedang Dicukur/Dok. Pribadi
Anggota Bolang, Mas Hariadi, Sedang Dicukur/Dok. Pribadi
Jika digusur oleh petugas Satpol PP, saya harus rela, kan tempat ini memang bukan milik saya, saya hanya sadermo numpang. Hidup itu mengalir, cuma tinggal nglakoni, pasrah”. Demikian yang dapat saya garisbawahi dari kata-katanya.  

Bahkan dia mengaku kepada Bolang, jika mendapati teman seprofesinya yang kesulitan mencukur karena guntingnya sudah “kethul” (tumpul), ia rela mengasahkan gunting temannya itu. Penasaran akan pribadi Pak Tua itu, tak sengaja saya bertemu dengan pemilik lapak “Rizki Minallah”, tepat di seberang jalan berhadapan dengan tempat Pak Tua sehari-hari mangkal. Saya mengkonfirmasi padanya yang mengaku sudah lama kenal Pak Tua. Kata pemilik lapak barang bekas itu:

“…Coba aja cukur ke dia… lalu kasih aja Rp 2.000, bilang padanya hanya punya segitu, dia pasti tetap menerimanya dengan senang hati…. Saya sering melihatnya demikian, tatkala ada mahasiswa yang hanya membayar segitu. Bahkan, jika ada yang potong rambut dan hanya tinggal mencukur “gudhek”nya lalu turun hujan, si pelanggan dipersilahkan pergi dan tanpa membayar sepeser pun…”.

Lain kali, ada juga yang memberi dia upah dengan selembar uang Rp 50.000, bahkan ada yang memberinya Rp 100.000”, demikian pemilik lapak Rizki Minallah itu menambahkan apa yang pernah diketahuinya.

Untuk menuju tempat kerja dari rumahnya yang berjarak sekitar 7 km, Pak Tua itu tiap hari selalu naik sepeda “onthel” tua miliknya. Sepeda itu, disandarkan di pagar seng dekat tempatnya berkerja. Bersyukur, kala itu Bolang bisa menyapa dia, berkunjung ke tempat tinggalnya dan berbagi kasih ala Bolang. Seorang teman kami saat itu berkata bahwa “bahagia itu sederhana”. Yui, saya setuju. Juga “berbagi kasih itu indah”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun