Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agen Kunci Gerakan Literasi, Sikap Among dan Keteladan

28 Mei 2016   23:20 Diperbarui: 28 Mei 2016   23:37 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep “Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta” merujuk pada pengertian bahwa pendidikan itu merupakan tangung jawab semua pihak. Tanpa keterlibatan para pihak, maka gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan kesadaran masyarakat akan urgensi nilai-nilai dan karakter Pancasila sulit tercapai. Padahal, manusia berkarakter adalah determinan penting bagi kemajuan literasi pendidikan, sains, teknologi, dan budaya bangsa.

Siapakah agen-agen kunci keberhasilan gerakan literasi itu? Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, menyebutnya berada di “Tri Pusat Pendidikan”. Mereka itu ialah keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Ki Hajar Dewantara telah meletakkan prinsip dasar Patrap Triloka sebagai panduan bertindak bagi setiap agen pendidikan, khususnya para pihak yang terkait dengan tugas kependidikan, seperti orang tua, guru dan pengawas sekolah. Salah satu prinsip Patrap Triloka adalah Tut Wuri Handayani, yang secara harfiah berarti dari belakang memberi dukungan.

Pemkot Malang Memfasilitasi Bus Halokes (Bus Sekolah) Secara Gratis/Dok. Pribadi
Pemkot Malang Memfasilitasi Bus Halokes (Bus Sekolah) Secara Gratis/Dok. Pribadi
Melalui metode “Among” (“ngemong”atau membimbing), Ki Hajar Dewantara mengajarkan bagaimana seharusnya setiap agen pembelajaran mendorong peserta didik terbiasa belajar mandiri dan tergerak mencari tahu tentang segala sesuatu yang menjadi perhatiannya. Jadi, peserta didik tidak selalu tergantung pada orang lain. Orang tua, guru, instruktur, pengawas, atau siapapun yang terlibat dalam aktivitas kependidikan, dari belakang tugasnya hanya memberi motivasi, mempengaruhi dan mengamati dengan penuh perhatian (Tut Wuri Handayani). Suasana batin pembelajaran dibiasakan seperti orang tua yang sedang “momong” atau “ngemong” anak-anaknya sendiri menuju kedewasaannya.  

Melalui Tut WuriHandayani, peserta didik dibiasakan hanya bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri (motivasi internal), bukan karena paksaan pihak lain (motivasi eksternal). Suasana sekolah sengaja diciptakan seperti rumah kedua yang menarik bagi anak-anak. Jika mendapati kesulitan, seperti keluarga, anak-anak dapat menemui si “ibu” atau si “ayah” tercinta untuk dimintai nasehatnya. Implikasinya, bantuan langsung hanya diberikan manakala peserta didik benar-benar membutuhkannya. Jika suasana pendidikan benar-benar seperti ini, maka kondisi sekolah berasa “ngademake”. Pergi ke sekolah ibarat pergi ke tempat yang menyenangkan, bukan pergi ke tempat yang menakutkan.

Pasar Tradisional PAUD Restu II Kota Malang. Suasana Sekolah Menyenangkan/Dok. Pribadi
Pasar Tradisional PAUD Restu II Kota Malang. Suasana Sekolah Menyenangkan/Dok. Pribadi
Suasana Sekolah (PAUD) yang menyenangkan. Anak Anak Sedang Bermain Peran Jual Beli di Sekolah/Dok. Pribadi
Suasana Sekolah (PAUD) yang menyenangkan. Anak Anak Sedang Bermain Peran Jual Beli di Sekolah/Dok. Pribadi
Bayangkan, bagaimana kehidupan anak-anak ketika di rumah merasa dipaksa belajar oleh orang tua, ketika pergi ke sekolah mendapati situasi jalan yang semrawut, dan tiba di sekolah merasakan tekanan belajar dari guru? Saat pulang, anak-anak tentu merasakan kekerasan psikis sepanjang hari. Kondisi ini, pada gilirannya akan berpengaruh pada hasil belajar di kemudian hari.

Prinsip “Patrap Triloka” yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, kiranya masih relevan dengan konteks kekinian. Kita tak harus jauh-jauh mengimpor konsep pendidikan asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa kita. Patrap Pitraloka mengandung prinsip dasar etika relasi antar pelaku dalam dunia pendidikan. Konsep yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut, sesungguhnya merupakan cermin kearifan lokal. Setelah Beliau mempelajari ide-ide sejumlah tokoh Barat seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan di India, pendidikan Santiniketanoleh keluarga Tagore (Debendranath Tagore dan Rabindranath Tagore), dan lain sebagainya, Ki Hajar merumuskan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa kita sendiri.

Dengan demikian, Pemerintah mesti memposisikan diri sebagai fasilitator yang bijak, sehingga setiap agen pembelajaran mampu memahami dan mengoptimalkan perannya. Disinilah letak arti penting gagasan pendidikan sebagai gerakan semesta. Bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat dengan pemerintah sebagai fasilitatornya, bergerak secara sinergis untuk kemajuan bangsa Indonesia lewat jalur pendidikan dan kebudayaan.

Mengkondisikan Mei Sebagai Bulan Pendidikan dan Kebudayaan

Masalahnya adalah bagaimana mengkondisikan semua pihak untuk dapat terlibat dalam “Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta?”  Apa bentuk kegiatan yang relevan dengan kekhasan budaya Indonesia? Bagaimana program riilnya di rumah, sekolah dan masyarakat?

Untuk itulah, Kemendikbud mengajak serta masyarakat untuk mengembangkan beragam inisiatif penting guna meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Salah satu program yang sedang dan telah dilaksanakan adalah mencanangkan Bulan Mei 2016 sebagai “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan”. Temanya adalah “Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-Cita”. Berdasarkan rundown kegiatan, acara puncak peringatan Hardiknas direncanakan berlangsung esok (29/5) di Jakarta.

Mengacu pada SK Mendikbud No. 19180/MPK.A/MS/2016 (sumber), peringatan Hardiknas sengaja didesain bukan sekedar memperingati hari kelahiran Ki Hajar Dewantara. Selain kegiatan upacara bendera, ziarah ke makam Ki Hajar Dewantara, ada gerakan bersama yang dikemas dalam program “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan”. Setidaknya, selama bulan Mei ada empat sub tema yang menjadi fokus kegiatan gerakan bersama yang melibatkan semua unsur masyarakat. Pada Mei Minggu ke-3 misalnya, ada kegiatan dengan sub tema “Anak adalah Bintang". Contoh kegiatannya seperti menampilkan karya anak, suara anak, atau petualangan anak.

Sementara pada Mei Minggu ke-4, sub temanya adalah “Semua Murid, Semua Guru”.  Saya memandang, tema ini menekankan bahwa pada hakekatnya setiap anak adalah nara sumber. Karena itu, tiap anak mesti diberi kesempatan untuk berbicara, berpendapat, mengemukakakan gagasan atau menampilkan prakaryanya sesuai dengan tingkat kemampuannya.

Gambaran itu seperti penerapan metode “Everyone is Teacher Here”. Metode ini mengasumsikan bahwa pada pada dasarnya setiap orang, bahan ajar cetak maupun elektronik, sumber belajar di internet dan lain sebagainya adalah guru (sumber belajar). Konsekwensinya, pandangan bahwa guru adalah satu-satunya sumber belajar berubah. Bahwa guru hanyalah salah satu sumber belajar. Sungguh pun begitu, secanggih apapun sumber belajar, guru tak mungkin bisa digantikan sepenuhnya oleh teknologi. Intinya, tiap anak mendapatkan kesempatan untuk mencari pengetahuan sendiri, mengemukakan pendapat dan mendiskusikannya sesuai dengan kompetensi masing-masing.

Contoh Kecil Keterlibatan Orang Tua

Untuk menguatkan gerakan “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan”, setiap orang tua yang sedang menyekolahkan anak-anaknya dapat berpartisipasi. Misalnya dengan melakukan hal-hal berikut:

Pertama, ketika hendak berangkat ke sekolah, semua perlengkapan yang diperlukan anak sudah disiapkan sedini mungkin, termasuk sarapannya. Perlengkapan seperti buku, tas, pensil dan sebagainya, anak-anak sendirilah yang dibiasakan menyiapkannya. Saya punya pengalaman tersendiri soal ini, dan tiap orang tua tentu berbeda-beda.

Pada setiap pagi hari sekitar pukul 06.00 Wib, saya mengantarkan anak kami yang masih duduk di kelas IV tingkat dasar di Jalan Bandung Kota Malang. Selaku orang tua, saya tidak pernah berkhutbah: “Nak, kamu harus disiplin masuk sekolah”. Bukankah umumnya anak-anak tak suka dikhutbahi, dia lebih suka contoh nyata. Karena sudah menjadi kebiasaan, justeru anak kami yang tampak gelisah jika pukul 06.00 Wib saya tidak segera mengeluarkan kendaraan untuk mengantarkannya. Ini hanyalah salah satu contoh penanaman karakter kinerja, seperti ulet, inisiatif, kerja keras, dan disiplin.

Kedua, saya juga tak pernah mengatakan: “Nak, jangan melanggar rambu-rambu lalu lintas”. Pasalnya, saya hampir setiap hari menyaksikan pengendara mobil dan sepeda motor suka berbelok arah di ujung jalan Bandung setiap mengantarkan anak saya sekolah. Padahal, jelas-jelas ada rambu lalu lintas tanda larangan berbelok memutar arah. Melewati jalan pintas itu, memang jauh lebih cepat sampai ke lokasi sekolah di jalan Bandung.  Tetapi jika saya melakukan hal yang sama dengan mereka, bagaimana mungkin saya megajari anak saya untuk taat rambu-rambu lalu lintas?

Maka, saya selalu melewati bundaran di perempatan jalan Ijen, baru kemudian kembali memutar arah menuju sekolah sesuai rambu-rambu lalu lintas. Begitulah setiap hari saat saya mengantarkan anak kami. Anak lalu jadi tahu, siapa yang melanggar dan siapa yang tidak, tak perlu diceramahi. Ini hanyalah salah satu contoh penanaman karakter moral, seperti sopan santun berlalu lintas, empati pada polisi, dan semacamnya. Tentu kisah ini bukan ingin menunjukkan bahwa saya adalah orang tua yang sempurna, tetapi saya hanya hendak berbagi kisah dari apa yang saya lakukan dan saya pandang baik untuk masa depan generasi kita.

Barangkali, jika dibuat sub tema, hal itu relevan dengan tema “Bergegas ke Sekolah, Disiplin di Jalan”. Bentuk kegiatannya bisa macam-macam, misalnya soal tertib belajar, tertib berseragam sekolah, berseragam batik, berkendara lengkap, tertib di jalan, dan lain sebagainya. Banyak hal yang mungkin dapat dilakukan dengan sub tema itu.

Demikianlah, pendidikan sebagai gerakan semesta dalam rangka mewujudkan program “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan” dapat dimulai dari hal-hal sederhana, mulai dari sendiri, mulai sekarang juga dan berkolaborasi secara bersama antara orang tua, sekolah dan masyarakat. Jika sudah menjadi budaya sehari-hari, itulah pendidikan karakter yang sebenarnya. Maka program “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan” bukan hanya berlaku selama bulan Mei, tetapi sayogyanya berlaku sepanjang hari dan sepanjang hayat.

Melalui slogan Tut Wuri Handayani, mari kita sukseskan pendidikan sebagai gerakan semesta, bersama-sama memainkan peran penting sebagai agen pendidikan yang menginspirasi untuk perubahan yang lebih baik.

Malang, 28 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun