Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agen Kunci Gerakan Literasi, Sikap Among dan Keteladan

28 Mei 2016   23:20 Diperbarui: 28 Mei 2016   23:37 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-Anak PAUD BA Restu II Kota Malang Terbiasa Meletakkan Sepatu pada Tempatnya/Dok. Pribadi

Sementara pada Mei Minggu ke-4, sub temanya adalah “Semua Murid, Semua Guru”.  Saya memandang, tema ini menekankan bahwa pada hakekatnya setiap anak adalah nara sumber. Karena itu, tiap anak mesti diberi kesempatan untuk berbicara, berpendapat, mengemukakakan gagasan atau menampilkan prakaryanya sesuai dengan tingkat kemampuannya.

Gambaran itu seperti penerapan metode “Everyone is Teacher Here”. Metode ini mengasumsikan bahwa pada pada dasarnya setiap orang, bahan ajar cetak maupun elektronik, sumber belajar di internet dan lain sebagainya adalah guru (sumber belajar). Konsekwensinya, pandangan bahwa guru adalah satu-satunya sumber belajar berubah. Bahwa guru hanyalah salah satu sumber belajar. Sungguh pun begitu, secanggih apapun sumber belajar, guru tak mungkin bisa digantikan sepenuhnya oleh teknologi. Intinya, tiap anak mendapatkan kesempatan untuk mencari pengetahuan sendiri, mengemukakan pendapat dan mendiskusikannya sesuai dengan kompetensi masing-masing.

Contoh Kecil Keterlibatan Orang Tua

Untuk menguatkan gerakan “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan”, setiap orang tua yang sedang menyekolahkan anak-anaknya dapat berpartisipasi. Misalnya dengan melakukan hal-hal berikut:

Pertama, ketika hendak berangkat ke sekolah, semua perlengkapan yang diperlukan anak sudah disiapkan sedini mungkin, termasuk sarapannya. Perlengkapan seperti buku, tas, pensil dan sebagainya, anak-anak sendirilah yang dibiasakan menyiapkannya. Saya punya pengalaman tersendiri soal ini, dan tiap orang tua tentu berbeda-beda.

Pada setiap pagi hari sekitar pukul 06.00 Wib, saya mengantarkan anak kami yang masih duduk di kelas IV tingkat dasar di Jalan Bandung Kota Malang. Selaku orang tua, saya tidak pernah berkhutbah: “Nak, kamu harus disiplin masuk sekolah”. Bukankah umumnya anak-anak tak suka dikhutbahi, dia lebih suka contoh nyata. Karena sudah menjadi kebiasaan, justeru anak kami yang tampak gelisah jika pukul 06.00 Wib saya tidak segera mengeluarkan kendaraan untuk mengantarkannya. Ini hanyalah salah satu contoh penanaman karakter kinerja, seperti ulet, inisiatif, kerja keras, dan disiplin.

Kedua, saya juga tak pernah mengatakan: “Nak, jangan melanggar rambu-rambu lalu lintas”. Pasalnya, saya hampir setiap hari menyaksikan pengendara mobil dan sepeda motor suka berbelok arah di ujung jalan Bandung setiap mengantarkan anak saya sekolah. Padahal, jelas-jelas ada rambu lalu lintas tanda larangan berbelok memutar arah. Melewati jalan pintas itu, memang jauh lebih cepat sampai ke lokasi sekolah di jalan Bandung.  Tetapi jika saya melakukan hal yang sama dengan mereka, bagaimana mungkin saya megajari anak saya untuk taat rambu-rambu lalu lintas?

Maka, saya selalu melewati bundaran di perempatan jalan Ijen, baru kemudian kembali memutar arah menuju sekolah sesuai rambu-rambu lalu lintas. Begitulah setiap hari saat saya mengantarkan anak kami. Anak lalu jadi tahu, siapa yang melanggar dan siapa yang tidak, tak perlu diceramahi. Ini hanyalah salah satu contoh penanaman karakter moral, seperti sopan santun berlalu lintas, empati pada polisi, dan semacamnya. Tentu kisah ini bukan ingin menunjukkan bahwa saya adalah orang tua yang sempurna, tetapi saya hanya hendak berbagi kisah dari apa yang saya lakukan dan saya pandang baik untuk masa depan generasi kita.

Barangkali, jika dibuat sub tema, hal itu relevan dengan tema “Bergegas ke Sekolah, Disiplin di Jalan”. Bentuk kegiatannya bisa macam-macam, misalnya soal tertib belajar, tertib berseragam sekolah, berseragam batik, berkendara lengkap, tertib di jalan, dan lain sebagainya. Banyak hal yang mungkin dapat dilakukan dengan sub tema itu.

Demikianlah, pendidikan sebagai gerakan semesta dalam rangka mewujudkan program “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan” dapat dimulai dari hal-hal sederhana, mulai dari sendiri, mulai sekarang juga dan berkolaborasi secara bersama antara orang tua, sekolah dan masyarakat. Jika sudah menjadi budaya sehari-hari, itulah pendidikan karakter yang sebenarnya. Maka program “Bulan Pendidikan dan Kebudayaan” bukan hanya berlaku selama bulan Mei, tetapi sayogyanya berlaku sepanjang hari dan sepanjang hayat.

Melalui slogan Tut Wuri Handayani, mari kita sukseskan pendidikan sebagai gerakan semesta, bersama-sama memainkan peran penting sebagai agen pendidikan yang menginspirasi untuk perubahan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun