Kelenteng Agung Sam Poo Kong/Dok. Pribadi
Saya buta huruf soal bahasa dan budaya Mandarin. Namun karena mendapatkan amanat untuk menginisiasi pendirian Chinesse Language and Cultural Centre (CLCC), maka kami bertiga berinisiatif melakukan studi wawasan ke “Kampus Konservasi” Unnes, Kota Semarang pada 13-14 April 2016. Alasannya, kampus ini telah memilik Prodi bahasa Mandarin dan telah menjalin kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi di China.
Sore itu, langit cerah tampak di bandara Abdurrahman Saleh kota Malang. Dari tempat ini, kami bertiga (Mas Dosy, Mas Fauzan, dan saya), terbang menuju kota berjuluk Semarang Kota Setara atau Semarang Hebat. Sebelumnya, kota ini pernah dijuluki Semarang Pesona Asia (SPA).
So, kami berjalan kaki menuju ke sana untuk menikmati soto dan kopi sambil “leyeh-leyeh”. terlihat dari jauh sebuah warung menawarkan menu Penyet dan Soto "LANDASAN". Hehe… asyik. Setelah puas, kami bersiap terbang menuju Bandara Achmad Yani Semarang.
Pintu gerbang bertuliskan “Sugeng Rawuh” seolah menyambut kedatangan kami di bandara Semarang. Diiringi rintik-rintik hujan petang hari, sopir rental taksi bandara mengantarkan kami mencari tempat penginapan yang cocok di dekat Simpang Lima.
Rencananya sih, pingin menginap sambil makan lesehan. Eit… ternyata penginapan di sekitar Simpang Lima sudah penuh, kecuali tersisa sebuah kamar eksekutif yang tak cocok dengan kondisi kami. Hehe… mengerti kan? Walhasil, kami menginap di hotel Pandanaran, ternyata pas harganya, pas layanannya. Nyaman.
Di sinilah, kami menginap dan menikmati “Warung Angkringan” ala Jogja. Tak dapat menikmati kuliner lesehan di Simpang Lima, dapat gantinya di sini. Lumayan. Sayang, warung ini hanya buka sampai pukul 10.00 malam, jadi kami harus segera balik ke kamar 906 yang sudah kami pesan. Itulah pengalaman di hari pertama kami.
*****
Mentari pagi sudah keluar dari ufuk timur. Cahayanya menyinari bangunan perkotaan, terlihat jelas dari balik jendela kaca kamar 906 hotel Pandanaran. Ini situasi pagi di hari kedua. Misi studi wawasan dilaksanakan.
Usai urusan selesai sekitar pukul 12.00 Wib, ada jeda waktu sekitar 2 jam sebelum balik ke kota asal. Terpikir oleh kami, di mana tempat wisata atau area publik yang menarik untuk kami kunjungi.
Melalui sang sopir taksi yang ramah, kami diantar untuk melihat eksotika Sam Poo Kong, pesona Lawang Sewu, dan mencari oleh-oleh Lunpia Delight yang sangat populer itu. Berikut pengalaman selama berkunjung ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Tempat ini merupakan lokasi Laksamana Zheng He, sang “Duta Pedamaian” mendaratkan kapal megahnya untuk pertama kalinya.
Eksotika Sam Poo Kong& Sang Duta Perdamaian Laksamana Zheng He
Begitu tiba di pintu gerbang utama Kelenteng Sam Poo Kong, terlihat dari kejauhan bangunan berwarna merah menyala dengan arsitekturnya nan eksotik. Saya baca tulisan di banner depan Klenteng, harga tiket wisata Sam Poo Kong pada Hari Senin-Jumat adalah Rp 5.000/orang. Sementara untuk anak sekolahan hanya dikenakan bea masuk sebesar Rp 3.000/orang.
Setelah melangkah memasuki pintu gerbang masuk, saya menyaksikan pohon beringin besar yang daunnya sangat rimbun. Pohon itu tumbuh di halaman Klenteng. Di bawah pohon besar itu, terdapat sejumlah tempat duduk, nyaman digunakan untuk beristirahat sambil memandangi area Klenteng nan luas dan indah.
Beberapa bangunan Klenteng dengan beragam fungsinya, tampak megah berdiri rapi di seputar tepi area Klenteng. Sementara di tengahnya, terhampar halaman luas. Sejauh mata menyapu halaman area, seluruh bangunan Klenteng tampak jelas dan menarik. Dari kejauhan, ada satu bangunan pintu gerbang besar terlihat seperti goa batu. Mungkin karena itu, tempat persinggahan laksamana Zheng He (Cheng Ho) itu disebut “Gedong Batu”.
Di ujung Klenteng searah dengan pintu masuk, terdapat monumen patung Laksamana Zheng He. Patung berukuran raksasa itu berdiri tegak menjulang tinggi ke angkasa. Tertulis jelas bahwa monumen ini diresmikan pada tanggal 29 Juli 2011 oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Bibit Waluyo. Pada bagian lainnya, terdapat patung Mulyadi Setiakusuma, SE dan Ir. Priambudi Setiakusuma, seolah sedang menjaga Kelenteng, melengkapi Laksamana Zheng He.
Autobiografi Laksamana Agung Zeng He tertulis di monumen ini. Zheng He lahir di Kunyang-Yunnan-Tiongkok pada tahun 1371. Pada masa kekaisaran Yong Le, Dinasti Ming, ia memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara di seberang lautan sebagai duta perdamaian.
Pada tahun 1405, ia melakukan pelayaran muhibah pertama dan memimpin 62 kapal megah, berangkat dari Suzhou, pelabuhan Luziagang untuk mengunjungi Champa, Sumatera, Palembang, Jawa, Srilangka dan kalikut (India Barat). Kisah heroik keberhasilan mengarungi samudera di beberapa benua tertulis di monumen itu. Mengagumkan!
Para pengunjung muslim banyak datang mengunjungi tempat ini, antara lain karena penasaran terhadap kisah kepahlawanan Laksamana Zheng He yang beragama Islam dan keelokan Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Ia juga begitu dihormati oleh para pemeluk Kong Hu Cu.
Sayang, kesempatan kami cukup sempit. Sesuai jadwal, sore itu kami bertiga harus segera balik ke bandara Achmad Yani tujuan bandara Juanda-Surabaya, selanjutnya menuju kota Malang mengunakan rent car. Saya patut bersyukur, meski tak lebih dari 25 menit berada di tempat itu, saya dan kawan kawan sempat mengunjungi tempat bersejarah Sang Duta Perdamaian, laksamana Zheng He.
------------------
Catatan:
Foto-foto baru bisa diunggah kemudian. Harap maklum. Trims.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H