Mengapa saya tidak mendapatkan pembagian keuntungan? Karena jenis transaksinya berdasarkan akad wadi’ah (titipan). Artinya, dana yang saya tabung di bank syariah, hanya sebagai titipan. Selaku nasabah, saya tidak mendapatkan profit atau bonus bagi hasil. Hal itu sesuai dengan definisi akad wadiah, yaitu: “transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik kepada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu” (Bank Idonesia, 2008) [4].
Lain ceritanya, jika saya membuka rekening tabungan syariah berdasarkan akad mudharabah (kemitraan/bagi hasil), maka saya sebagai nasabah berhak mendapatkan pembagian keuntungan (nisbah) sesuai kesepakatan awal antara bank dengan nasabah. Misalnya, 7,50% untuk nasabah, dan 92,50% untuk bank yang mengelola dana nasabah. Untuk jenis tabungan umroh misalnya, nisbahnya bisa mencapai 30% untuk nasabah, dan 70% untuk bank selaku pengelola dana.
Pada kesempatan lain, tepatnya pada 06 Juli 2010, saya ditawari produk “Hassana Berkah” oleh lembaga keuangan konvensional yang memiliki unit asuransi syariah. Saya tertarik mencobanya, dan resmilah saya sebagai peserta dengan Nomor Polis 255XXXXX. Melalui produk itu, saya terdorong untuk menabung secara tertib sekaligus berinvestasi.
Pihak manajemen, membebankan beaya akuisisi selama dua tahun saja. Tahun ketiga dan selanjutnya 100% diinvestasikan ke berbagai usaha halal melalui skema yang fleksibel. Manfaatnya, selain bisa turut serta menolong (ta’awwun) antar sesama, ada perasaan tenang dan berkah. Karena dana diinvestasikan pada usaha halal dengan tingkat return relatif stabil dan bebas riba. Pemegang polis juga berpeluang memperoleh pembagian surplus underwriting.
Hal itu saya ketahui, karena pihak manajemen Hassana Berkah selalu memberi laporan kepada saya selaku pemegang polis. Misalnya, via suratnya tertanggal 10 Maret 2014 lalu, bahwa jika terdapat surplus underwriting, pihak manajemen akan membagi persentase keuntungan (nisbah) dengan proporsi: pemegang polis (60%), pengelola (20%), dan untuk dana tabarru’ (20%).
Seperti dijelaskan dalam laporan itu, surplus underwriting adalah kelebihan dana dalam dana tabarru’ setelah digunakan untuk pembayaran santunan/klaim, kontribusi reasuransi dan cadangan teknis dalam satu periode tertentu. Sedangkan dana tabarru’ (dana kebajikan) adalah kumpulan iuran tabarru’ yang berasal dari kontribusi pemegang polis yang salah satu penggunaannya adalah untuk pembayaran manfaat asuransi.
Ragam Produk iB Syariah
Pakar marketing Hermawan Kartajaya, menyebut iB Syariah sebagai Beyond Banking. Mengapa? Menurutnya, iB syariah menghadirkan industri Islamic Banking yang layanannya mencitrakan diri lebih dari sekedar bank (beyond banking). Positioningnya terletak pada prinsip bagi hasil antara pihak bank dan nasabah, bukan atas dasar bunga. iB Syariah dicitrakan berbeda (strategi differensiasi), antara lain karena kontennya berisi beragam produk yang bervariasi, konteksnya transparan agar adil untuk kedua belah pihak, dan teknologinya user friendly [5], alias mudah diakses. Itulah bagian dari grand strategi branding ala iB syariah.
[caption caption="Illustrasi/Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah/Sumber: www.bi.go.id/id"]
Apa sih iB Syariah itu?
iB (dibaca ai-Bi) Syariah adalah singkatan dari Islamic Banking, yang dipopulerkan sebagai penanda identitas berlogo iB bersama industri perbankan syariah di Indonesia yang diresmikan sejak 2 Juli 2007. Tujuannya, agar masyarakat mudah dan cepat mengenali tersedianya layanan jasa perbankan syariah di seluruh Indonesia, yang sudah mulai akrab dengan media komunikasi modern [6].
[caption caption="Logo iB Syariah/Sumber:www.syariahfinance.comimagesnewslogo_bank_syariah.jpg"]