Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Gerakan Sociopreneur Berbasis Masjid

29 Februari 2016   07:45 Diperbarui: 14 April 2016   10:31 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[captioncaption="Suasna Para Musafir yang Singgah di Masjid Al Mukhlasin, Sukorejo, Pasuruan/Dok. Pribadi"][/caption]Ibadah tak berarti hanya terkait urusan ritual, aktivitas sociopreneur pun bernilai ibadah. Lewat smartphone, sekelompok Remaja masjid (Remas) ini meluncurkan Gerakan dan Aplikasi “Ayo ke Masjid”. Tak hanya itu, Remas ini juga membuat program 1.000 Pemuda Penggerak Desa dalam rangka menciptakan sociopreneur berbasis masjid di 31 provinsi. Mereka adalah para Remas yang tergabung dalam Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (JPRMI).

Seperti diberitakan di Kompas.com, pada Minggu (28/2/2016), JPRMI meluncurkan Gerakan dan aplikasi "Ayo ke Masjid” yang dipusatkan di Bandung, Jawa Barat. Gerakan awal ditandai dengan  melaksanakan shalat shubuh berjamaah di seluruh Indonesia. Lewat aplikasi smartphone, memudahkan masyarakat untuk menemukan lokasi masjid. JPRMI berharap, persoalan remaja seperti narkoba dan terorisme, bisa terselesaikan. Sementara melalui program sociopreneur, diharapkan mampu menggali potensi desa untuk kemajuan daerahnya.

Hemat saya, program itu cukup inspiratif. Sayang, saya belum melihat secara utuh, seperti apa bentuk konkritnya. Untuk itu, saya mencoba sharing pengalaman singgah di sebuah masjid ketika dalam perjalanan dari Mojokerto menuju Malang. Masjid itu selain mampu menghidupkan aktivitas shalat berjamaah dan mengaji, juga menghidupkan lingkungan bisnis, seperti sarana parkir yang lengkap, poliklinik, warung kuliner, dan tempat penginapan. Masjid itu tak lain adalah Masjid Besar Al-Mukhlasin, yang terdapat di daerah Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur.

Aktivitas Ibadah dan Sociopreneur di Masjid Al-Mukhlasin

Ketika itu, sekitar Januari 2016 lalu, saya dan keluarga dalam sebuah perjalanan pulang dari Pacet, Mojokerto, menuju kota Malang. Suasana saat itu, sedang hujan gerimis hampir di sepanjang perjalanan. Terpikir di mana bisa singgah di masjid yang nyaman untuk menunaikan shalat maghrib. Maka setiap ada rambu-rambu lalu lintas bertanda kubah, saya pelankan laju kendaraan, untuk melihat apakah ada masjid yang tepat untuk kami singgahi.

Di Pulau Jawa, mencari lokasi masjid memang tak sulit. Tapi, singgah di masjid yang mampu menyediakan kebutuhan para musafir, bukan berarti selalu mudah. Setiap kali saya mau menepi, masjid itu tampaknya kurang nyaman untuk parkir. Kami berusaha mencari masjid yang menyediakan lokasi parkir luas, kamar kecilnya bersih, airnya lancar, sekaligus bisa istirahat sejenak sekedar melepas penat sambil mencicipi makanan. Apalagi kami bepergian bersama keluarga dan anak-anak, terpikir sesampai di rumah nanti kami tak harus menyiapkan makanan lagi.

Hal itu mengingatkan pengalaman saat kami shalat di mushalla yang memperoleh piagam penghargaan dari ICMI Orwil Jatim. Pada saat berlangsung Pameran Produksi Indonesia (PPI) diConvention & Exhibition Hall, Grand City Surabaya pada 6-9 Agustus 2015 lalu, saya perhatikan piagam itu berisi anugerah Grand City Mall-Surabaya sebagai mall/plasa dengan fasilitas mushalla yang reprensentatif. Kondisi fisiknya memang sangat bersih dan rapi, mulai dari rak tempat menyimpan barang, tempat wudlu, dan tempat shalat. Mushalla itu mengidentifikasi diri sebagai mushalla executive, seperti tampak pada foto-foto berikut ini.

[caption caption="Executive Mushola di Grand City Mall, Surabaya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Piagam Penghargaan Terpajang di Executive Mall, Grand City/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Tempat Wudlu' di Executive Mushola di Grand City Mall, Surabaya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Suasana di dalam ruang Executive Musholla, Grand City Mall, Surabaya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Kembali ke kisah perjalanan kami. Alhamdulillah, setelah beberapa kali melihat rambu-rambu lalu lintas bertanda masjid, ada sebuah masjid yang tampaknya memenuhi harapan. Terpampang tulisan besar, sebuah tempat ibadah bernama “Masjid Besar Al-Mukhlasin. Lokasinya di daerah Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur. Kami berhenti di tempat ini, tepat sesaat shalat maghrib tiba.

[caption caption="Masjid Al Mukhlasin, Sukorejo, Pasuruan, Jatim/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Jalan Raya depan Masjid Al Mukhlasin/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Suasana jama'ah ibu-ibu di Masjid Al Mukhlasin/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Begitu memasuki pintu masuk, telah siap penjaga parkir masjid mengarahkan kami ke tempat parkir yang disediakan. Tampak Masjid Besar Al-Mukhlasin dengan lahan parkirnya yang luas. Tumbuh tanaman palm di sekitarnya, melengkapi suasana asri lingkungan masjid. Sejak dari memasuki pintu gerbang, berurutan tersedia lokasi pakir untuk sepeda motor, mobil pribadi, dan bus yang terparkir rapi. Sepeda-sepeda motor itu berjajar di bawah tenda, ditata rapi oleh para petugas yang menjaganya. Ada kotak “Amal Parkir” terbaca jelas. Tertulis kalimat “Amal Parkir Anda, Untuk Kesejahteraan masjid”.

[caption caption="Suasana para rombongan yang singgah di area parkir masjid Al Mukhlasin/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Area parkir sepeda motor di masjid Al Mukhlasin, Sukorejo, Pasuruan/Dok. Pribadi"]

[/caption] 

Kami shalat di masjid yang cukup bersih. Tampak di sana ada pengajian rutin. Usai shalat maghrib, seorang ustadz sedang membaca sebuah kitab, di depan pengimaman shalat dengan mighrabnya yang indah. Bacaan dan uraian sang ustadz, disimak oleh beberapa peserta pengajian. Namun kami tak mengikuti aktivitas pengajian itu.

[caption caption="Mikhrab Majid Al Mukhlasin, Pasuruan, Jatim/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Jama'ah laki-laki sedang mendengarkan pengajian dari Ustadz di Masjid Al Mukhlasin/Dok. pribadi"]

[/caption]

Usai shalat, kami menuju area kuliner yang ada dalam kawasan masjid. Tampak deretan lapak makanan berjajar rapi. Ada aneka menu makanan, seperti bakso, soto, sate, rawon, dan lain-lain, lengkap dengan aneka minuman dingin maupun panas. Kebetulan saya mencicipi baksonya, seporsi harganya Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Rasanya lumayan enak. 

Di tempat tersebut, saya menyaksikan sejumlah rombongan singgah. Ketika itu, saya sempat bertemu dengan seorang ibu yang kebetulan singgah di tempat yang sama. Dia terlihat bersama keluarganya. Berikut dialog singkat dengan ibu tadi. Kalimat dengan huruf tegak adalah pertanyaan saya, sementara kalimat dengan huruf miring adalah jawaban si ibu.

“Maaf Bu, kalau boleh tahu, Ibu dari mana?

Oo…, saya mau balik, dari Madura menuju Malang

“Oh… sama Bu. Kami juga mau ke Malang. Apa Ibu sering singgah di sini?”

Ya, saya kalau bepergian ke Madura, pulangnya selalu mampir di tempat ini

Oh begitu…, kenapa Bu?”

Ya kan enak, di sini lokasinya pas. Bisa shalat sekaligus makan-makan. Sesampai di rumah, saya tak harus masak lagi…”

Begitulah, alasan ibu tadi singgah di masjid tersebut. Bagi masjid di tepi jalan raya yang memiliki lokasi strategis, area parkir yang memadai, berpotensi menjadi tempat singgah bernilai ibadah, sekaligus peluang bisnis.

[caption caption="Pos jaga di pojok masjid Al Mukhlasin, Lokasi strategis/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Di sekitar area masjid, ada penjual buku-buku literatur pendidikan agama yang dijajakan dalam lapak mobil. Poliklinik pun ada di sini, lokasinya berdampingan dengan bangunan masjid. Ketika itu, poliklinik sudah tutup. Namun lampu-lampu terang tampak menyinarinya. Ada sebuah toko kecil penjual makanan ringan di sisi poliklinik. Sementara belasan kendaraan mobil pribadi, berjajar rapi di sekitar lokasi, hingga sampai di ujung area makanan kuliner. 

[caption caption="Poliklinik di samping bangunan masjid Al Mukhlasin dan suasana pengunjung/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Suasana di sekitar area kuliner masjid Al Mukhlasin/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Area parkir, poliklinik, warung kuliner, dan tempat penginapan untuk musafir (orang yang sedang bepergian/dalam perjalanan) menyatu dengan kawasan masjid. Saya sempat membaca banner menyala terang, bertuliskan “Tempat Istirahat Musafir’. Namun sayang, saya tak sempat mewancarai pengelolanya.

[caption caption="Tempat Istirahat (Penginapan) Musafir Masjid Al Mukhlasin/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Saat berada di sana, suasana pada petang hari itu sedang hujan gerimis. Kesempatan memotret dan wawancara pun cukup terbatas. Usai makan, kami harus segera bersiap melanjutkan perjalanan. Sungguh pun demikian, saya melihat ada perpaduan yang kuat, antara aktivitas ibadah dan sociopreneur di area masjid.

Refleksi Untuk Gerakan Pemuda Berbasis Masjid

Andaikan para Remas terlibat aktif dalam gerakan budaya, ilmu pengetahuan dan ekonomi berbasis masjid, niscara setiap masjid menjadi makmur. Untuk menjadikan masjid makmur, masjid tak melulu hanya difungsikan sebagai pusat ibadah. Padanya, dibutuhkan gerakan moral dan ekonomi berplatform sosial. Untuk yang disebut terakhir, itulah kira-kira gambaran kecil tentang aktivitas sociopreneur berbasis masjid yang melibatkan para jama’ah.

Hemat saya, masjid yang lekat dengan komunitasnya, efektif digunakan untuk multifungsi yang relevan. Pada masa Rasulullah SAW, masjid tidak hanya difungsikan sebagai pusat ibadah ritual saja, melainkan juga berfungsi sebagai pusat aktivitas sosial kemasyarakatan, seperti pusat pendidikan, tempat musyawarah, santunan sosial, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, tempat menerima tamu, asrama, dan lain-lain.

Masjid Madinah ketika itu, selain untuk shalat, digunakan pula sebagai pusat santunan sosial. Orang-orang yang terluka dalam peperangan, dirawat di masjid. Didirikan pula “Baitul Maal” sebagai pusat sosial-ekonomi. Harta orang-orang kaya (aghniya’) dihimpun, selanjutnya didistribusikan kepada fakir miskin.

Pada masa Rasulullah SAW, masjid difungsikan sebagai asrama untuk para pelajar Suffah, konon berjumlah sekitar 300-an orang. Bahkan pada masa Dinasti Fatimiyyah, bermula dari aktivitas belajar di masjid Al-Azhar, kemudian melahirkan  universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang terkenal itu. Intinya, masjid layak dikembalikan fungsinya sebagai pusat ibadah sekaligus pusat budaya, ilmu pengetahuan dan gerakan ekonomi.

Walhasil, gerakan moral dan sociopreneur muda berbasis masjid patut mendapat penguatan. Elan vital masjid layak diangkat kembali. Hal ini menjadi relevan, mengingat bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, sedang berusaha membangun masyarakat yang rahmat untuk semua (rahmatan lil ‘Alamiin).

Bukankah dalam sejarah peradabannya, Islam tak mengenal ajaran sekulerisasi? Semua ajaran tentang keimanan (tawhid), tatacara menjalankan peraturan agama (syariat), dan perilaku hidup keseharian (akhlaq) merupakan kesatuan tunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan. Antara ketiganya, saling terkait dan saling mengisi. “Hasanah” di dunia, “hasanah” di akhirat. Aktivitas ekonomi misalnya, merupakan bagian penting dari pememenuhan kebutuhan hidup sekaligus sebagai sarana beribadah kepada TuhanNya. Karena itu, mencari nafkah dapat dipandang sebagai ibadah.

Aktivitas ibadah ritual, penyediaan parkir, kuliner, poliklinik, dan penginapan yang diterapkan oleh komunitas Masjid Besar Al Mukhlasin di atas, adalah salah satu contoh kecil, bagaimana masjid dengan multifungsinya dapat diterapkan.

Selain masjid Al Mukhlasin, ada masjid Muhammad Cheng Hoo berasitektur China nan indah di Pandaan, Pasuruan. Masjid Cheng Hoo di dekat Terminal Pandaan menuju arah Surabaya itu, memiliki lahan parkir yang luas dilengkapi dengan perpustakaan. Disamping bangunan masjid tersedia area kuliner. Nama Cheng Hoo yang melekat pada masjid, konon terkait dengan sejarah laksamana Zheng He yang pernah mengarungi lautan dunia lebih dahulu dibandingkan Columbus, bahkan dengan jarak tempuh yang lebih panjang dan lebih luas. 

Ke depan, masjid-masjid semacam itu juga layak dikembangkan sebagai bagian dari wisata sejarah atau wisata syariah, yang saat ini sedang menjadi salah satu perhatian kementerian Pariwisata.

Gerakan moral dan sociopreneur muda seperti yang digagas JPRMI, layak mendapat penguatan. Mudah-mudahan program itu bukan sekedar gagasan “hangat-hangat tahi ayam”, alias mudah mati sebelum sempat berkembang. Program itu sangat bermakna. Selain karena mendapat justifikasi dalam sejarah peradaban Islam, ia layak dikembangkan seiring dengan perkembangan kebutuhan kekinian. Muaranya, adalah untuk memakmurkan masjid dan komunitas sekitarnya. Saya mengharapkan ada gerakan semacam itu. Di Bandung, setahun lalu juga muncul inovasi masjid Portabel, seperti pernah saya tulis dalam artikel bertitel "Ketika Masjid Dibuat Portable, Ibadah Kian Mudah". Bagaimana dengan masjid di daerah Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun