Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[MBA] Markobar, Bisnis Apa?

26 Februari 2016   10:40 Diperbarui: 26 Februari 2016   12:14 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana mendampingi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka usai melaksanakan adat tembungan di rumah calon istrinya Selvi Ananda Putri di Sumber, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (9/6/2015)/Sumber Foto: Kompas.com (Kamis, 25/02/2016)"][/caption]

Ini bukan tentang “Narkoba”, tetapi tentang “Markobar”. Markobar kependekan dari “Martabak Kota Barat”, sebuah label bisnis makanan martabak milik Mas Gibran, pemilik nama lengkap Gibran Rakabuming Raka. Kata putra sulung Presiden Joko Widodo itu, “Bisnis dan politik jangan dicampur”. Makanya, dia sempat menolak orderan dari Pemkot Solo. Pebisnis kuliner itu punya prinsip: “Saya jualan makanan, jualan taste, bukan jualan Gibran anaknya Jokowi”.

Gibran dan martabaknya, sempat menjadi obrolan dalam Program Mata Najwa di MetroTV yang tayang pada Rabu (24/02/2016), sebagaimana dimuat di Kompas.com (25/02/2016) bertajuk “Kisah Putra Sulung Jokowi Tolak Pesanan Katering untuk Pemkot Solo”. Hingga tadi malam, laman itu dikunjungi oleh 70,762 viewer dan nangkring di urutan pertama. Menurut media itu, Mas Gibran merintis usaha kuliner sejak tahun 2010. Dirinya membuka bisnis catering berlabel “Chilli Pari” dan martabak dengan label “Markobar”.

Relasi Bisnis-Kekuasaan, dan Efeknya Bagi Kemajuan Bangsa

Secata teoretis, antara bisnis dan politik memiliki relasi yang saling mempengaruhi. Bahwa suatu bisnis akan lancar manakala didukung oleh kebijakan politik yang memihak, demikian sebaliknya.

Sayang, dibalik keberhasilan Orde baru (Orba), ada kesan bahwa budaya memanfaatkan “kekuasaan” untuk memuluskan sebuah bisnis (urusan) demi keuntungan pribadi/kelompoknya, sangat kental ketika itu. Sudah menjadi pengetahuan publik, bahwa jika ingin usahanya lancar, tak jarang diperlukan trik-trik licik, misalnya lewat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), memberi “katebélece”, dan lain sebagainya.

Menurut Kamus versi KBBI, katebelece berarti: (1) surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; (2) surat pengantar dari pejabat untuk urusan tertentu. Hal itu menjadi berkonotasi negatif, manakala katebélece  dimakna sebagai semacam “titipan” (bahasa halusnya “rekomendasi”) untuk memuluskan semua urusan dengan mengabaikan prinsip keterbukaan (fairness).

Koreksi terhadap perilaku bangsa dimulai. Datanglah era Reformasi yang diusung sejak awal 1997-1998-an. Penghapusan KKN disuarakan keras. Namun “era reformasi” belum sepenuhnya tuntas. Ibaratnya, era reformasi hanya mampu membuka karpet puluhan tahun, yang di bawahnya baru terlihat kecoa-kecoa, atau tikus-tikus pengerogot asset bangsa yang patut dibersihkan. Upaya itu terus berjalan, hingga muncul apa yang dinamakan “Revolusi Mental”.

Terlepas Mas Gibran sebagai anak pejabat RI-1 atau bukan, sikapnya yang menolak tawaran catering di atas adalah hal positip. Bahwa agar bisnisnya berhasil, ia tak harus memanfaatkan katebélece. Budaya “mental suka menerabas” seperti disinyalir oleh Koentjaraningrat (1992), merupakan penyakit pembangunan yang menghambat kemajuan bangsa. Dan karenanya, mental negatif itu meski dikikis habis hingga ke akar-akarnya.

McLelland berdasakan risetnya pernah mengidentifikasi, bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang para penduduknya memiliki motif berprestasi tinggi. Motif itu ia sebut dengan Need for Achievement (NAch). Semakin tinggi NAch yang dimiliki individu-individu dalam sebuah bangsa, maka bangsa itu berpotensi lebih cepat maju dibandingkan dengan bangsa lainnya.

Jepang misalnya, penduduknya dikenal memiliki motif berprestasi tinggi. Ada semangat Bushido, semangat berjuang tanpa kenal lelah secara sehat hingga berhasil. Korea Selatan memiliki budaya kerjasama dalam mempercepat pembangunan desa yang dikenal dengan “Semauel Undong”, sejenis “Gotong Royong” di Indonesia.

Pemerintahan Jokowi-JK, berupaya menyuarakan semangat “Revolusi Mental” itu. Sayang masih tampak samar-samar dan belum kuat implementasinya di tengah masyarakat. Namun apa yang dilakukan oleh Mas Gibran adalah sebuah contoh, bagaimana “mental tidak suka menerabas” itu telah ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bisnisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun