Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Nilai Sejarah & Cinta Wana Dibalik Pesona Coban Jahe

21 Februari 2016   16:23 Diperbarui: 21 Februari 2016   21:31 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pusat Informasi Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"][/caption]

Minggu itu, bertepatan dengan 14 Pebuari 2016. Sebanyak empat belas kompasianer, termasuk saya, melewati jalan setapak yang membelah hutan. Menuju Wana Wisata Coban Jahe. Lokasinya berada di Dusun Begawan, Desa Pandansari Lor, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang.

Meski tak sepopuler Coban Pelangi di kalangan para pelancong Gunung Bromo, pesona Coban Jahe begitu berasa. Bahkan, dibalik eksotikanya tersimpan nilai sejarah dan pejuang perempuan. Tak hanya itu, edukasi cinta penghijauan terkandung di tengah wana wisata itu.

[caption caption="Seorang Penjaga Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Air Terjun Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Foto Bersama Komunitas Bolang di Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribai"]

[/caption]

Nilai Sejarah dan Peran Perempuan

Nama Coban jahe tidak ada kaitannya dengan tanaman jahe. Menurut sebuah sumber, penyematan nama “Jahe” berkaitan dengan peristiwa “Pejahe” (meninggalnya, Jw) pasukan TRI Gagak Lodra yang dimakamkan di TMP Kali Jahe. Taman Makam Pahlawan (TMP) ini berada di kawasan jalan setapak menuju Wana Wisata Coban Jahe berada. Ketika itu, para pejuang RI di bawah Komando Ali Murtopo, berguguran diserang pasukan Belanda, saat mereka hendak melanjutkan perjalanan ke Lumajang, Jatim. Peristiwa tragis ini terjadi sekitar tahun 1947-1948 M silam.

Peristiwa tersebut terekam jejaknya di monumen TMP Kalijahe. Saya baca nama-nama pejuang yang gugur dalam pertempuran di monumen itu. Di antara mereka ada yang meninggal di medan pertempuran Kali Jahe, seperti yang dialami oleh Pak Nur Jakram asal Pasuruan. Ada pula yang meninggal di bawah pohon Gintungan, di atas Tugu, dan di Alas Mager Wesi. Bahkan ada yang gugur di ladangnya P. Sentot. Terbayang, bagaimana beratnya mereka berjuang.

Saya baru mengetahui, setelah kami mengunjunginya. Ketika Anda berwisata ke sana, tak ada salahnya singgah sejenak di TMP. Lokasinya mudah ditemukan, karena masih satu jalur dengan jalan setapak memasuki area wana wisata. Jaraknya, kira-kira 1,5 km sebelum sampai di air terjun berada. 

Tepat di samping TMP Kalijahe, tersedia area parkir kendaraan. Kami berhenti dan parkir di situ. Pasalnya, mobil sulit bisa naik ke atas melewati jalan setapak berbatu, kecuali jenis mobil tertentu atau kendaraan sepeda motor. Saat berpapasan dengan pengendara roda dua, salah seorang di antara mereka mengingatkan saya: "Pak... di sana jalannya ewuh" (Pak...di sana jalannya sulit). 

[caption caption="Jalan Setapak Menuju Coban Jahe, ada beberapa ruas jalan yang berbatu dan tidak rata/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Tampak jelas TMP Kalijahe terbuka dan tak beratap, namun ada pintu gerbangnya dan berpagar. Di dalamnya, terdapat monumen “Tugu” setinggi sekitar 2,5 meter. Saya sempat membuka pintu dan masuk ke dalam TMP Kali Jahe serta memperhatikan nama-nama pasukan yang gugur dan tercacat di makam ini.

[caption caption="Pintu Gerbang TMP Kalijahe. Di sebelahnya terdapat area parkir kendaraan/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Di bawah Tugu bercat merah putih itu, ada monumen berjudul "Nama Nama Pahlawan Kalijahe Begawan Abiyoso". Terukir di monumen itu, nama-nama pahlawan yang gugur, seperti Untung Suropati asal Jombang. Dia gugur di Dawuhan Kali Jahe. Ada juga P. Tarmin asal Selorejo, gugur di bawah pohon Gintungan. Sementara Dono, asal Karangploso, lokasi meninggalnya bawah pohon. Tapi saya tak tahu, di mana pohon Gintungan itu berada.

[caption caption="Tugu Monumen di TMP Kaljahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Menariknya, ada nama-nama perempuan, seperti Suwarni asal Mojokerto. Dia gugur di ladangnya P. Sentot. Ruba’iah asal Nanasan Tebuireng, gugur di Dawuhan Kali Jahe. Sedangkan Kalfiati asal Selorejo Batu, gugur di Dawuhan Kali jahe. Secara keseluruhan, ada 38 nama pasukan yang “pejah” (wafat) dan dimakamkan di TMP Kali Jahe. Semoga mereka semua mendapatkan tempat yang layak di sisiNya, dan semangat perjuangannya tetap dilanjutkan oleh generasi penerusnya.

[caption caption="Nama-Nama Pahlawan di TMP Kalijahe. Ada Beberapa Nama Pejuang Perempuan di Monumen ini/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Urgensi dan Edukasi Penghijauan

Tepat di depan TMP Kali Jahe, mengalir air sungai bernama Kali Jahe. Air itu berasal dari Air Terjun Coban Jahe setinggi sekitar 45 meter. Di sisi kanan kiri sepanjang jalan menuju Coban Jahe yang baru dibuka dua tahun lalu itu, sejauh mata memandang terlihat pepohonan dan ladang dengan tanaman menghijau. Udaranya segar, suasananya sejuk.

[caption caption="Suasana Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Wisata Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

 

Tempat ini kaya oksigen. Tertulis seruan akan urgensi kelestarian hutan. Karena satu pohon berpotensi menghasilkan oksigen 1,2 kg/hari. Sementara manusia membutuhkan oksigen 0,5 kg/hari. Jadi, setiap pohon membantu memenuhi kebutuhan oksigen untuk dua orang setiap hari. Oleh karena itu, menebang 1 pohon, identik dengan dengan membunuh 2 orang. Demikian seruan itu terpampang jelas di lokasi Wana Wisata Coban Jahe.

[caption caption="Seruan Cinta Penghijauan di Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Sayang sekitar 1,5 - 2 km menuju Coban Jahe, tepatnya setelah melewati TMP Kali Jahe, jalannya masih belum sepenuhnya mulus, ada beberapa ruas jalan yang berbatu, sedikit runcing dan jalannya "jeglong-jeglong" (tidak rata). Bagi pengendara mobil, disarankan parkir di samping TMP. Ada seorang penjaga yang bertugas di tempat itu. Saya tak tahu, apakah penjaga itu resmi atau tidak. Yang jelas, saya cuma diminta membayar Rp 5.000 (lima ribu rupiah) per mobil.

[caption caption="Jalan Setapak Menuju Coban Jahe, sepeda motor dapat langsung menuju air terjun Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Sesampai di lokasi, kami langsung menuju air terjun coba jahe. Mempesona. Kami dapat menyaksikan pelangi indah dari dekat. Di lokasi ini terdapat wahana RiverTubing. Tampak tumpukan ban dalam dan peralatan perlengkapannya di area Wisata Coban Jahe. Sayang kami tak sempat memanfaatkannya, karena hari itu sudah sore. Sesuai banner yang terpasang di lokasi wisata, tertera daftar harga menggunakan jasa River Tubing sebesar Rp 75.000/orang.

[caption caption="Sarana River Tubing, tersedia di Pusat Informasi Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Sungai Kalijahe berasal dari Air Terjun Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Kami shalat ashar berjama’ah di tempat ini. Mushallanya sederhana, namun tetap nyaman untuk shalat. Wisata ini sudah dilengkapi dengan kamar-kamar mandi. Namun sebagian di antaranya, terlihat sarana septic tank WC belum sempat terpasang ketika itu. Maklum, wisata ini tergolong masih baru dibuka dua tahun lalu, seperti dikatakan oleh salah seorang penjaga Wana Wisata Coban Jahe.  

[caption caption="Toilet dan Tempat Wudlu' di Wana Wisata Coban Jahe/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Di sebelah Toilet ini, tersedia Mushalla/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Kamar-kamar mandi sudah terbangun, tinggal memasang septic tank WC/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Sesaat sebelum pulang, saya bertemu dengan penjaga Wana Wisata Coban Jahe di depan toilet ini. Saya sempat mewancarainya sejenak. Karena teman-teman sudah mulai meninggalkan tempat lebih awal. Saya mewancarainya agak buru-buru seperti berikut ini. Kalimat tertulis tegak lurus adalah pertanyaan saya, sementara yang tertulis dengan huruf miring adalah jawaban penjaga itu. 

  • “Kapan Coban Jahe ini dibuka, Pak?”
  • Coban Jahe baru dibuka dua tahun lalu
  • “Apakah setiap hari dibuka untuk umum, Pak?”
  • Ya, setiap hari buka pukul 07.00 Wib – 17.00 Wib”.
  • “Berapa Pak, tarif resmi karcis masuknya?”
  • Rp 5.000 tiap orang
  • "Adakah  sampai 100 orang pengunjung setiap harinya?
  • Pada hari-hari biasa agak sepi, kecuali Sabtu-Minggu bisa lebih dari 100 orang”.
  • “Matur Nuwun Pak, lain kali insyaallah kami akan berkunjung lagi ke sini. Semoga Bapak selalu mendapat berkah”
  • Amin…, matur nuwun”.

Tak terasa mentari sudah mulai siap-siap menuju peraduannya. Pengunjung sudah sepi. Saya segera menyusul teman-teman lain yang sudah menunggu di parkiran. Kami melanjutkan perjalanan berikutnya.

Saya merasakan, setidaknya tiga pelajaran penting dari kunjungan itu:

  1. Saya patut bersyukur, karena masih diberi nikmati dapat melihat keindahan alam ciptaan Tuhan bersama teman-teman.
  2. Ada pelajaran sejarah. Ternyata di tempat ini tersimpan nilai-nilai perjuangan para pendahulu yang patut diapresiasi. Bahkan ada keterlibatan para pejuang perempuan dalam sejarah itu.
  3. Pentingnya menjaga nilai kelestarian hutan
  4. Memelihara komunikasi dan kerjasama di antara Komunitas

Itulah sebagian hasil sebuah perjalanan bersama Komunitas Bolang. Teriring harap, semoga para pengunjung dapat menikmati pesonanya serta dapat mengambil hikmahnya. Saya memaknai ada nilai-nilai sejarah, kebersamaan, dan cinta wana dibalik pesona Coban Jahe. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun