[caption caption="Komunitas Blogger Kompasiana Malang (Bolang) Berpose di Depan Kandang Sapi Milik Mas Erwin, di Jabung, Kab. Malang/14/02/2016/Dok. Pribadi"][/caption]Minggu lalu, tepat 14 Pebruari 2016. Cuaca sekitar kota Malang cerah. Hujan tidak turun seperti hari-hari sebelumnya. Pada hari itu, mungkin sebagian remaja sedang asyik merayakan Valentin Day. Sementara kami bersama Komunitas Blogger Kompasiana Malang (Bolang) berada di kandang sapi, eit salah.. peternakan sapi. Ah… itu kan sama aja, kekkk... :)
Pasalnya, Minggu itu kami melakukan visitasi ke peternakan sapi perah milik Mas Erwin. Lokasinya berada di desa Jabung, kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Komunitas Bolang punya program kerja bulanan. Salah satunya adalah melakukan eksplorasi ke tempat-tempat wisata potensial yang jarang dikenal atau dikunjungi masyarakat. Sebelum mengunjungi Wana Wisata Coban Jahe, kami belajar tentang proses pembuatan biogas dan pupuk organik di perternakan milik Mas Erwin.
Sekitar pukul 10.00 Wib di hari itu, komunitas Bolang berkumpul di rumah saya. Mobil merah maron mengangkut para kompasianer, meluncur ke Pemandian Wendit untuk bergabung dengan para Bolang’s Angel yang sudah menunggu di sana. Bolang’s Angel adalah sebutan untuk para srikandi Komunitas Bolang. Julukan ini diberikan oleh Mbak Lilik. Kece…
Dari Wendit, kami langsung meluncur ke lokasi, dipandu oleh srikandi Lilik. Dari rumah kami, jaraknya kira-kira 20 km. Sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di tempat tujuan. Banyak hal yang dapat kami pelajari dari peternakan Mas Erwin. Mulai dari usaha peternakan sapi perah, biogas, dan pupuk organik. Bahkan para Bolang’s Angel sempat manjat-manjat pohon, mengambil asset milik Mas Erwin, hehe .... Berikut paparan hasil kunjungan itu.
Dari Kandang Sapi Hasilkan Biogas, Masak Tak Perlu Beli Gas Elpiji…Mau?
Binatang memamah biak itu sudah dimandikan. Mereka berjajar rapi di kandangnya yang bersih. Saya tak sempat menghitungnya satu per satu. Di kandang itu, kira-kira ada sekitar 20-30 ekor sapi perah. Tampak sejumlah sapi perah itu diberi penanda. Ada penanda P Indilakto 337 di telinganya.
Sssstt…. para Bolang’s Angel dkk mendekati mereka, berpose di depan kandang. Jepret…. Hehe… gambar-gambar sapi itu seperti tampak di hadapan Anda. Para Bolang’s Angel yang photogenic ada di sana, hehe… Apa mereka tidak merasa “risih”? Tidak lah… kandang sapi perah itu bersih dan nyaris tidak berbau.
[caption caption="Bersih dan rapi. Kandang sapi perah milik Mas Erwin dibuat dengan sistem terintegrasi satu siklus/Dok. Pribadi."]
[caption caption="Ada penanda P Indolakto 337 di Telinga Sapi Perah Itu/Dok. Pribadi"]
Crekk..crekk… Mas Erwin menyalakan korek api. Kami diajak menyaksikan demo kompor biogas yang berasal dari kotoran sapi. Cling… kompor gas itu menyala. Api biru menyembul ke permukaan kompor. Wow… baru kali ini saya melihat kompor menyala, yang bahan bakarnya langsung berasal dari energi kotoran sapi. Idih…?
Jangan hawatir, energi biogas yang dihasilkan dari “tlethong” (Jawa = kotoran sapi) itu tidak menjijikkan. Karena sebelumya sudah diproses secara alami melalui bak penampungan. Lagian, makanan sapi perah itu berasal dari rumput terbaik, jenis unggul. Beda sama manusia, apapun dimakannya, jadi bau kotorannya beda banget, kwek kwekk….
Mas Erwin menyebut makanan sejenis rumput gajah itu dengan nama “Rumput Odot”. Setelah saya cek di Google, nama asli rumput ini adalah “Rumput Mott”. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan “Rumput Gajah Kerdil” atau “Rumput Gajah Kate”.
[caption caption="Rumput Odot. Rumput ini merupakan rumput jenis unggul. Nama lainnya rumput mott. Masyarakat sering menyebutnya juga "rumput kerdil" ata "rumput kate". Rumput ini tidak tumbuh meninggi, tetapi tumbuh melebar, tetap pendek dan daunnya lebat. Rumput ini tumbuh subur di halaman rumah Mas Erwin"]
[caption caption="Mesin pencacah rumput di kandang Mas Erwin"]
Kandang sapi milik Mas Erwin cukup bersih. Karena kotoran sapi perah itu langsung ditampung dalam bak-bak khusus, setelah air kencingnya dipisahkan. Mas Erwin menjelaskan, bak-bak itu berukuran 4 x 5,5 meter. Bahannya terbuat dari beton, tertanam dalam tanah. Bak-bak penampungan itu dihubungkan dengan pipa. Cukup sederhana.
Nah, kotoran-kotoran sapi mengalir dan tersimpan dalam bak penampungan. Setelah diproses secara alami, menghasilkan energi biogas siap pakai. Dari bak penampungan, energi biogas asal kotoran sapi itu, dialirkan lagi melalui pipa menuju dapur. Enak dong, masak nggak perlu beli gas elpiji… tinggal buka kran, dan cringg…. Api biru menyala siap pakai. Mau…?
Airan pipa biogas itu bisa mengalir sampai jauh ke pos depan itu… Mas Erwin sambil menunjukkan jarinya ke sebuah tempat. Saya memperkirakan, panjang pipa ke tempat itu bisa mencapai sejauh 20 meter lebih. Mas Erwin mengaku, dia sudah 6 tahun lebih memasak cukup pakai biogas seperti ini.
[caption caption="Mas Erwin, Salah Satu Pemilik Peternakan Sapi Perah di Jabung"]
[caption caption="Sistem Kandang Sapi Terintegrasi dalam Satu Siklus. Setelah Diproses, Kotoran Sapi Menghasilkan Biogas dan Pupuk Organik/Dok. Pribadi"]
[caption caption="Bak Kontrol dan Pipa Pengatur Saluran Biogas/Dok. Pribadi"]
[caption caption="Biogas ini dialirkan ke Dapur melalui pipa, digunakan untuk Memasak/Dok. Pribadi"]
Sayang, menurut Mas Erwin, sudah enam bulan ini mesin jensetnya yang bahan bakarnya berasal dari biogas kotoran sapi itu sering ngadat. Entah kenapa, untuk bisa menyalakan, terlebih dahulu harus mencari-cari proporsi biogas yang pas, agar jensetnya bisa menyala seperti biasanya. Siapa ahli mesin yang bisa membantu ya?
Mas Erwin membuat kandang peternakan sapinya dengan sistem terpadu. Sejak dari makanan, kandang, pemerahan susu, hingga kotorannya dibuat dengan sistem terintegrasi satu siklus. Bahkan sisa kotoran lainnya dapat diproses menjadi pupuk organik.
Ketika berada di sana, saya melihat onggokan pupuk organik diletakkan di dekat dapur. Bentuknya seperti pasir kering, lembut dan tidak berbau. Sebagian lainnya sudah dimasukkan ke dalam beberapa karung/sak kecil. Dia menjual tidak dalam ukuran kg, tetapi ukuran sak. Karena satu sak yang sama, bobotnya bisa berbeda-beda. Menurut penjelasan Mas Erwin, pupuk organik itu dijual seharga Rp 5.000,00/sak. Ceruk pasarnya terutama para petani bunga.
Nilai Tambah Ekonominya Ada pada Produk Turunannya
“Wah… peternakan sapi Mas Erwin menarik, pasti pendapatannya banyak. Boleh diceritakan gimana sejak awal usahanya hingga seperti saat ini?”.
Demikian saya mengajukan pertanyaan kepadanya. Saat itu, kami berdialog secara santai di rumahnya yang mungil. Setelah melihat-lihat peternakan sapi, para kompasiner duduk melingkar. Meeka mengitari meja kursi sambil menikmati makanan. Kami menikmati nasi bakar yang dibungkus daun pisang. Makanan ini sudah disiapkan sebelumnya oleh Mbak Lilik. Makan bersama kompasiner, asyik...
Sementara itu, Nyonya Erwin menyediakan susu segar rasa cokelat. Rasanya wow… Mak nyess… ini baru susu segar. Hehe… ketika saya bilang pada teman-teman, mereka semua sepakat: “Enak tenan…. Rasanya beda banget dibandingkan dengan susu yang dijual di supermarket atau tempat lain.
[caption caption="Makan nasi bakar yang dibungkus daun pisang di rumah Mas Erwin/Dok. Pribadi"]
Rumah Mas Erwin kecil dan relatif sederhana, namun halamannya cukup luas. Suasananya asri. Demikian halnya dengan halaman belakangnya hingga menuju peternakan sapi itu berada.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Mas Erwin lalu menjawab…
“…sebenarnya, hasil peternakan sapi perah itu hanya cukup untuk menutupi beaya operasional. Nilai tambah ekonominya justeru terletak pada produk turunannya… Awalnya, saya ingin resign dari perusahaan Surya Kertas, dan ternyata justru isteri saya sangat mendukungnya. Kami lalu mendirikan usaha peternakan ini. Kami menjual jual asset berupa rumah di Gajayana Estate, lalu kami gunakan untuk membeli tanah seluas ini…”.
Percaya diri dan berani menanggung risiko, itulah sebagian ciri entrepreneur, seperti yang dimiliki Mas Erwin. Ia menuturkan lebih lanjut, bahwa hasil susu perah itu dikembalikan lagi untuk membeayai produksi susu. Karena Hasilnya tak seberapa.
Menurutunya, harga jual susu dari peternak ke komunitas penampung produk susu, hanya sekitar Rp 4.000,00 - Rp 4.500,00/liter; sementara itu, komunitas pengepul menjual kembali ke perusahaan pengolah susu. Harganya bisa mencapai Rp 6.000,00 - Rp. 7.000,00-an. Pasalnya, peternak tak dapat menjual langsung ke pabrik pengolah susu, tanpa melalui Koperasi. Di wilayah sini, ada tiga Koperasi Susu, seperti Koperasi Agroniaga dan Koperasi Maju Mapan.
Sungguh pun hasilnya hanya cukup untuk menutupi beaya operasional, justeru Mas Erwin mendapatkan keuntungan dari produk-produk turunannya. Misalnya, Mas Erwin dapat mengolahnya menjadi susu cokelat, seperti yang sempat kami rasakan waktu itu. Untuk mengembangkan suahanya, Mas Erwin bekerja sama denga mitra lainnya di luar komunitas peternak sapi.
Keuntungan produk turunan lainnya adalah pupuk organik. “Tlethong- Tlethong” itu diproses menjadi pupuk kompos atau pupuk organik. Untuk mempercepat proses pembuatan pupuk, ia gunakan media cacing. Menurut Mas Erwin, dalam waktu sehari semalam, tumpukan kotoran sapi cepat terurai bila menggunakan media 1 ton cacing. Kotoran sapi, merupakan salah satu makanan yang disukai dan menjadi perkembangan cacing. Sementara jika menggunakan media berbahan kimia, terurainya bisa berminggu-minggu lamanya.
Menurut Mas Erwin, sebenarnya cacing-cacing itu pun memiliki nilai ekonomis tinggi. Kotoran sapi menjadi santapan empuk dan disuka cacing, sehingga cacingnya pun cepat berkembang. Produk cacingnya sangat potensial untuk dijual. Namun sayang, cacing-cacing yang bibitnya berasal dari cacing jenis Lumbricus Rubellus (cacing Eropa) itu kini sudah bercampur dengan cacing tanah jenis lokal.
Perusahaan ternak cacing seperti CV. RAJ Organik milik Mas Adam yang ada di Sukun kota Malang misalnya, menurut Mas Erwin tak mau menerima cacing yang sudah tercampur dengan jenis cacing lokal. Di sisi lain, Mas Erwin memang sengaja tak menjual cacing-cacing itu. Ia membiarkan mereka berkembang biak bersama cacing lokal.
Apa pertimbangannya? Menurut Mas Erwin, semakin banyak cacingnya, maka kotoran sapi itu semakin cepat terurai. Karena itulah, Mas Erwin lebih memilih fokus untuk mengoptimalkan hasil produk pupuk organiknya dari pada produk cacingnya. Emm.. saya manthuk-manthuk mendengar penjelasan Mas Erwin.
[caption caption="Onggokan pupuk organik dari kotoran sapi, siap dimasukkan dalam kantung-kantung/Dok. Pribadi"]
[caption caption="Pupuk Organik siap Jual, dimasukkan dalam sak-sak. Harganya sekitar Rp 5.000,00 per sak/Dok. Pribadi"]
Ternyata, peternakan sapi hanya dijadikan sebagai mediator untuk menghasilkan produk-produk turunanannya yang lebih bernilai ekonomis. Hemat saya, pemerintah perlu memahami kenyataan ini. Para peternak susu, tidak cukup hanya didorong untuk menghasilkan jenis susu segar yang berkualitas, tetapi juga perlu diintegrasikan dengan pasar-pasar baru yang mampu mampu menyerap hasil produk turunannya. Harus ada inovasi sistem peternakan terpadu, dari hulu sampai hilir (updown streams system).
Tak terasa, jarum penunjuk waktu sudah menunjukkan angka di kisaran 12.30 Wib. Pertanda kami harus segera mohon diri. Setelah meminta izin dan mengucapkan terima kasih kepada Mas Erwin sekeluarga. Kami kemudian meluncur ke masjid untuk menunaikan shalat ashar, selanjutnya menuju Coban Jahe yang eksotis. Wana Wisata itu baru dikembangkan sekitar dua tahun lalu, letaknya di sekitar daerah Pakis, Kapupaten Malang.
Sekali lagi terima kasih Mas Erwin sekeluarga, semoga usaha Anda cepat berkembang dan membawa berkah. Insyaallah, suatu saat kami akan bersilaturakhim kembali. Sungguh, saya kangen susu cokelatnya. Juga ingin nyoba pupuk organiknya untuk tanaman bunga di halaman rumah kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H