Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bermigrasi dari Madura, Geluti Barang Bekas

15 Januari 2016   10:13 Diperbarui: 15 Januari 2016   11:02 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat di depan gudangnya, ia memasang papan publikasi sederhana. Ukurannya sekitar 80 m persegi itu. Papan itu bertuliskan “Jual Beli Barang Bekas”. Halim menerima barang-barang bekas seperti seperti besi tua, tembaga, accu, kuningan, kardus, koran, kertas HVS, bak plastik, rongsokan botol air kemasan, dan lain-lain. Gudang ini dilengkapi dengan alat timbangan dan sepasang meja-kursi untuk melayani pelanggan.

[caption caption="Papan promosi bertuliskan: "Jual & Beli Barang Bekas" milik Abdul Halim/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Halim sedang menimbang besi tua di lapaknya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Halim menerima barang-barang bekas dari rumah tangga terdekat yang dikirim sendiri oleh mereka, atau barang-barang bekas yang berasal dari para pemulung. Setiap hari ia berharap ada pemulung sampah plastik seperti bekas botol-botol air kemasan, kertas, kardus, besi tua, dan semacamnya datang ke tempatnya.

Cerita tentang aktivitas Halim ini merupakan kisah nyata, hasil perbincangan saya dengan pria asal Madura itu pada Kamis (14/01/2016) lalu di lapaknya. Tepatnya, di gudang sampah miliknya yang beralamatkan di Jl. Raya Candi No. 06 Malang.  

Nekad & Ubah Mindset: Sampah Jadi Uang

Di mata Halim, “sampah” dianggap bukanlah sampah. Halim memandang sampah sebagai uang. Entah Halim menyadari atau tidak, saya membacanya demikian, ini soal cara berfikir (mind set).  Jika orang membuang barang-barang bekas begitu saja, maka barang-barang itu identik sebagai sampah yang tak bernilai. Lain halnya dengan Halim, sampah dipandang sebagai barang berharga. Halim begitu telaten mengumpulkan, menerima, mensortir, dan mendistribusikan sampah hingga memiliki nilai guna ekonomis yang lebih tinggi.

[caption caption="Aneka sampah ketas, plastik dan besi tua di Gudang milik Abdul Halim/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Barang-barang tergeletak di Gudang Barang Bekas/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Menurut pengakuan Halim, hasil jual beli barang-barang bekas itu dapat digunakan untuk mengembalikan modal awal, membeli rumah kecil, dan bahkan mampu membeli mobil pickup untuk menunjang kelancaran distribusi barang. Dengan kendaraan tersebut, mobilitas Halim lebih tinggi, sehingga ia bisa menjangkau ke tempat yang lebih jauh dari lapaknya, seperti dari daerah Bumiayu Kedungkandang Kota Malang.

Saat pertama kali membuka usahanya, Halim hanya bermodalkan semangat untuk bisa mandiri. Bayangkan, Halim hanya punya uang Rp 3 juta. Padahal saat pertama kali menyewa tanah kosong yang sekarang ditempati sebagai gudang sampah itu, Halim harus menyewa tanah itu perbulan seharga Rp 2 juta, dan harus lunas di muka selama lima tahun berturut-turut. Jadi, totalnya Halim harus membayar sewa sebesar Rp 10 juta. Dari mana modalnya itu diperoleh?

Halim tak pergi ke lembaga perbankan, karena tak ada asset yang dapat digunakan sebagai jaminan (agunan). Halim tak kenal lelah mencari sumber dana pinjaman perseorangan, tapi siapa yang bersedia meminjamkannya? Untung tak bisa ditolak. Ia bertemu seseorang, sebut saja Haji Syukri. Halim mengutarakan maksudnya untuk pinjam uang, sebagai modal sewa tanah kosong itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun