Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Tjiptadinata Effendi di Mata 86 Kompasianer

22 Desember 2015   12:18 Diperbarui: 22 Desember 2015   12:50 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cover Buku Sehangat Matahari Pagi/Dok. Pribadi"][/caption]

Saat menerima hadiah buku berjudul Sehangat Matahari Pagi terbitan Peniti Media (2015) langsung dari sang penulisnya sendiri, Tjiptadinata Effendi, sungguh bahagia rasanya. Karena sebelumnya, saya hanya mengenalnya lewat tegur sapa di Kompasiana. Saya baru pertama kali berjumpa dengan Pak Tjiptadinata Effendi, pada acara Kompasianival 2015 di Gandaria City, Jakarta yang berlangsung pada 12-13 Desember 2015 lalu. Hadiah buku itu saya maknai sebagai penghormatan yang tinggi sekaligus pertanda persahabatan yang tulus sepanjang masa. Terima kasih Pak Effendi.

Ia menuliskan kata-kata berkesan disertai tanda tangannya di buku yang dihadiahkan untuk saya. Goresan pena yang ia torehkan di cover buku bagian dalam itu, membentuk kalimat indah berkesan, yang jika digabung dengan judul bukunya, tertulis seperti untaian puisi tiga baris berikut ini:

       “Teruntuk Saudarakau Yunus M.

        Terima kasih atas persahabatan yang tulus,

        Sehangat Matahari Pagi

[caption caption="Tanda Tangan dan Goresan Pena Pak Tjiptadinata Effendi di Cover Buku bagian Dalam/Dok. Pribadi"]

[/caption] 

Saya menyadari, hal ini bukan karena saya orang penting, tetapi lebih karena Beliau orang yang rendah hati dan tulus menghargai persahabatan, sehingga menempatkan semua teman sebagai penting dan bermakna. Gambaran ini, cocok dengan judul bukunya, Sehangat Matahari Pagi, yang oleh Johanis Malingkas Beliau diposisikan sebagai Sang Bapak Kehidupan di Kompasiana (hlm. 67) atau yang oleh Suyono Apol disebutnya sebagai Kepala Sekolah Kehidupan (hlm. 156).

Saya mengamini apa yang Kang Pepih Nugraha tuliskan dalam kata pengantarnya yang berjudul: “Pak Tjip Adalah Teladan”. COO Kompasiana itu mengatakan, bahwa Pak Tjip beserta pasangannya, Helenna Roselina, selalu menempatkan semua temannya sebagai penting! (hlm. Pengantar). Apalah artinya komentar saya yang saya tulis hanya dalam beberapa baris (hlm. 247) terhadap sebuah artikel Pak Effendi di Kompasiana; namun si Raja Kopi yang juga Master Reiki Indonesia yang dahulunya sempat memarut kelapa di Pasar Tanah Kongsi itu, dengan kerelaan hati, menempatkan para sahabatnya sebagai orang “penting” atau “bermakna”.

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan filosofis: “Siapakah orang yang paling penting di dunia itu? Jawabannya: orang yang paling penting di dunia adalah orang yang ada di hadapan Anda saat ini! Entah dari mana sumbernya, namun saya sangat berkesan dengan jawaban folosofis yang penuh makna itu.

Sehangat Matahari Pagi, adalah sebuah buku terbitan Peniti Media yang ditulis oleh 86 sahabat Kompasianer tentang sosok Tjiptadinata Effendi, tak terkecuali dengan pasangan yang dicintainya, Helena Roselina. Menurut sang editornya, Bang Thamrin Sonata, sosok dan kisah Tjiptadinata sudah menginspirasi para kompasianer di kolam Kompasiana. Karena itu Bang Thamrin menerima amanat itu, bahwa dipandang perlu untuk menampung ide-ide para Kompasianer ke dalam sebuah buku berjudul lengkap Semangat Matahari Pagi: Tjiptadinata Effendi di Mata Para Sahabat, Kompasianer (hlm. Kata Pengantar).

Sosok peraih Kompasianer of the Year 2014 kiranya itu sudah tak asing lagi di mata para Kompasianer. Pak Tjip, Pak Tjipta, Opa Tjiptadinata demikian para sahabat Kompasianer menyapanya, atau saya seringkali menyebut Beliau dengan sapaan Pak Effendi. Bagi Pak Effendi, One Day, One Article (ODOA), sudah bukan sekedar motto lagi. ODOA baginya sudah menjadi budaya, tiada hari tanpa tulisan Pak Effendi di “Telaga Ide” Kompasiana.

Tulisan-tulisan Master Reiki itu sarat dengan pesan-pesan kehidupan. Artikel-artikelnya mengalir alami di tempat apa yang saya sebut “Telaga Ide” atau “Pasar Gagasan”, yaitu Kompasiana; sementara Bang Thamrin mengistilahkannya sebagai "Kolam Kompasiana" atau "Bejana Indonesia". Alasan saya menyebutnya sebagai “Telaga Ide”, karena siapa saja yang membutuhkan boleh meneguknya, dan siapa saja boleh mengalirkan ide manfaatnya. Sebagai pasar gagasan, siapa saja boleh saling mempertukarkan gagasannya. Inilah perwujudan dari sharing and connecting yang diusung Kompasiana. Kopi darat (kopdar) di Kompasianival yang diselengarakan setiap akhir tahun, adalah salah satu perwujudan riilnya di dunia off line. Pak Effendi, telah meneguk dan terus mengalirkan gagasan manfaatnya di telaga itu, setiap hari.

[caption caption="Bedah buku oleh Komunitas Peniti Media di Kompasianival 2015. Tampak Pak Tjiptadinata Effendi (paling kanan) beserta para presenter lainnya di Panggung Komunitas/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Pesan-pesannya yang dialirkan oleh Pak Effendi di Kompasiana, sebatas yang saya rasakan, bukanlah seperti dogma, petuah agama dari langit, pun jauh dari kesan menggurui atau sedang berkhutbah. Bukan pula berkesan seperti buku motivator semisal “The 7 Habits of Highly Effective People” karya Stephen R. Covey yang popular sejak pertama kali terbit pada tahun 1989. Tulisan Pak Effendi cukup sederhana. Sekilas terkesan biasa saja, lagi pula isi pesannya sudah banyak diketahui publik, seperti pentingnya nilai-nilai kejujuran, ketulusan, kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, menghargai perbedaan, cinta tanah air, dan lain sebagainya.

Namun di situlah letak keunikan dan sebagian kekuatannya. Di tangan Pak Effendi, pengalaman hidup yang ia rasakan dituangkan apa adanya, mengalir bak telaga gagasan yang menghidupkan dan mengurai masalah. Kehidupan kelam masa lalunya saat menjadi penjaga gudang atau penjual kelapa di Pasar Tanah Kongsi pun tak luput ia tuliskan apa adanya. Di sela-sela kisahnya, ia sisipkan nilai-nilai hidup itu. Itulah sebagian yang dapat saya tangkap dari beberapa artikelnya di Kompasiana.

Di sisi lainnya, Beliau gemar melalukan travelling dan suka berwisata kuliner, berdua bersama isteri tercintanya, Bu Lina Effendi. Ketika keliling Eropa beberapa bulan lalu misalnya, hampir saya selalu mengikuti perkembangannya, terutama saat berada di Italia lewat artikelnya yang dipublish di Kompasiana hingga kembali ke Australia. Kisah-kisah unik yang ia alami selama travelling itu, ia ekspresikan di Kompasiana. Bu Lina pun tak ketinggalan, Beliau pernah menuliskan bahwa ice cream terenak di dunia, ada di Italia. Bagaimana proses pembuatannya pun, Bu Lina sharing di Kompasiana. Sejauh yang saya ketahui lewat artikelnya, mereka berdua tidak menuliskannya di media lain, kecuali di Kompasiana. Loyalitasnya teruji. Beruntung, Kompasiana memiliki mereka.

Namun bisa jadi, sebagian pembaca di kompasiana ada yang menganggapnya “sombong” (dengan tanda petik), karena Pak Effendi menojolkan wisata ke luar negeri, atau terkesan bermewah-mewah. Padahal travelling dan wisata kuliner adalah aktivitas yang mereka sukai. Bahkan isterinya, Bu Rose, berani mengambil keputusan untuk resign dari perusahaan tempat bekerjanya pada waktu itu, dua tahun sebelum waktu pensiun tiba. Alasannya, hanya demi menemani sang suami tercinta, untuk keliling dunia. Bocoran rahasia ini saya ketahui dari sejumlah artikel Pak Effendi di Kompasiana, persisnya di mana saya lupa. Tapi saya yakin, karena Pak Effendi tidak pernah berbohong, saya percaya terhadap apa yang ia pernah tuliskan. Kiranya, para pembaca perlu memklumi hobbinya itu.

Padahal kalau sang isteri mau, pada waktu itu Bu Rose hanya menunggu waktu sekitar dua tahun lagi. Bu Rose kemudian boleh mengajukan pensiun, dan berhak mendapatkan tunjangan serta aneka fasilitas dari perusahaan financial yang menggiurkan di tempat kerjanya. Namun saran untuk menunda resign, tetap ditolaknya. Bu Lina lebih memilih menemani sang suami travelling. Hemm… saya jadi iri nih, membayangkan suatu saat di mana kami berdua dapat travelling dan berada dalam situasi bebas secara finansial. Ngarep.co.id …:) 

Ketika membaca tulisan-tulisan Pak Effendi yang lain, sungguh beruntung beliau berdua, karena anak-anaknya saling berebutan untuk membantu memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya ketika hendak pergi keliling dunia. Sudah barang tentu, pasangan itu sudah memiliki tabungan yang cukup untuk pergi ke sana, sudah bebas secara finansial, itu yang saya duga. Karena saya belum pernah tahu, Pak Effendi menggungkapkan mengenai soal nilai tabungannya, dan hemat saya, biarlah hal itu menjadi ranah private baginya.  

Namun sedikit terungkap, ketika Pak Effendi bercerita tentang keluarganya. Seperti tulis Kang Pepih hasil percakapannya dengan Beliau, bahwa Pak Effendi sudah memiliki anak dengan 10 cucu. Pak Effendi menyatakan bersyukur, berkat ketiga anak-anaknya itu dia bisa keliling dunia secara gratis, bahkan mereka saling berebutan membeayai keberangkatannya (hlm. 3).

Nah, kisah-kisah perjalanannya, dan pertemuan dengan orang-orang dari beragam latar belakang itu yang ia tuliskan di Kompasiana. Di sela-sela tulisannya, ia suntikkan nilai-nilai kehidupan tadi, seperti pentingnya bersyukur, saling menghargai, menyayangi, pantang menyerah, dan sebagainya. Pesan-pesannya mengalir tak terasa, terselip dalam kisah-kisahnya. Di sinilah salah satu letak kekuatan atas karya-karyanya. Pak Effendi selalu berusaha menuliskan hal-hal yang bersifat menginspirasi, memotivasi, bermanfaat, aktual, atau setidaknya informatif.  So, apa saja sih isi buku Sehangat Matahari Pagi itu?

**********

Buku Sehangat Matahari Pagi (SMP), diedit oleh Bang Thamrin Sonata, atas beragam tulisan sahabat para Kompasianer mengenai sosok Tjiptadinata Effendi. Buku SMP disusun ke dalam 6 Bab. Bab 1 berisi sosok, pasangan dan Kopdar. Bab ini berisi testimoni dan pandangan dari para sahabat dan Kompasianer tentang kepribadian Pak Effendi dan pasangannya (Bu Rose atau Bu Lina Effendi), serta pengalaman mereka selama kopi darat  (Kopdar) dengan Beliau.

Bab 2 berisi Buku dan Karya. Bab ini mengulas buku-buku karya Pak Effendi, seperti buku berjudul Beranda Rasa, Your Choice is Your Life, The Power of Dream. Tak ketinggalan, ada ulasan pula tentang buku Bu Lina Effendi yang berjudul Penjaga Rasa. Ada juga ulasan tentang buku-buku lain karya keroyokan para kompasianer seperti 25 Kompasianer Perempuan: Merawat Indonesia, dan masih banyak lagi. Pada bab ini, ada sebanyak 14 kontributor, seperti Saudara Cay Cay, Bang Thamrin Dahlan, Mbak Etha Maria, Bang Isson Khoirul, Bung Thamrin Sonata, dan lain-lain.

Bab 3 berisi Surat-surat yang ditujukan kepada Pak Tjip dan Bu Rose. Mbak Siti Nur Hasanah misalnya, dalam suratnya mengibaratkan Pak Tjiptadinata Effendi seperti oase di padang gurun yang tandus. Beliau juga sebagai figur ayah yang didambakan oleh setiap anak. Mbak Nur merasa beruntung karena menemukan figur seperti Bapak, karena dia sejak kecil sudah ditinggalkan oleh alamarhum ayahanda tercinta (hlm. 238). Sementara Bab 4 berisi puisi-puisi yang ditujukan kepadanya. Sedangkan komentar-komentar, diletakkan pada bab 5. Terdapat 22 buah komentar pada bab ini. Mbak Ella Yusuf misalnya, berkomentar: "Being kind hearted in a cruel world is not a hypocrisy, but courage". Itulah yang Beliau ajarkan... lewat teladan dan tulisan. Darinya saya belajar bahwa hidup itu tak hanya sekedar bernafas, tetapi juga bermanfaat bagi sesama." demikia, komentar Mbak Ella yang tulus dan menyejukkan (hlm. 246).

Sebagai penutup, Bab 6 berisi Epilog. Uniknya, Pak Effendi justru tidak menulis tentang dirinya sendiri di buku SMP, kecuali catatan penutup di bab ini. Bab akhir itu pun isinya lebih pada ungkapan rasa haru, rasa terima kasih, dan rasa syukur yang mendalam atas apresiasi dari sahabat-sahabat dan para Kompasianer. Antara lain dia mengatakan:

“…seakan bermimpi, kini di hadapan saya ada begitu banyak yang menulis tentang kami. Padahal kebanyakan belum pernah bertemu muka… oleh karena itu, sangat ingin kami mengabadikan bukti persahabatan dan persaudaraan ini, untuk menjadi mercusuar bagi orang banyak, bahwa sharing and connecting itu, bukan hanya sebatas dalam kata dan basa basi, tetapi benar-benar sudah teraplikasi secara nyata” (hlm. 254).

Ulasan terbanyak ada pada Bab-1. Bab ini berisi testimoni dan pandangan para sahabat kompasianer tentang sosok, pasangan dan kopdar bersama Pak Tjip-Bu Rose. Pada bab ini ada 44 penulis yang menuangkan pandangannya mengenai sosok Tjiptadinata Effendi dan isterinya, Bu Roselina Effendi. Tulisan Kang Pepih mengawali bab ini. Artikelnya berjudul “Pak Tipta, Sosok Kompasianer yang Saya Kagumi". Selanjutnya diikuti Mbak Wardah Fajri, menulis tentang “Pasangan Inspiratif di Hari Jadi Pernikahan Emas 50”. Mbak Wawa, panggilan akrab Wardah Fajri, merasa mendapatkan role model dari pasangan itu. Menurutnya, di usia yang tak lagi muda, pasangan ini masih menunjukkan semangat mudanya. Bepergian ke mana saja yang mereka suka. Indahnya. (hlm. 7).

Hal senada diungkapkan oleh Mas Nurullloh. Melihat romantisme kedua pasangan itu, dia menyimpulkan bahwa pernikahan adalah nikmat Tuhan yang tiada taranya, sangat Indah! Namun menyimak perjalanannya yang panjang sejak 2 Januari 1965, pemilik akun Nurul Uyuy itu menyimpulkan bahwa pernikahan tak lebih dari sebuah ombak besar yang siap menenggelamkan siapapun yang tak pandai menakhodai kapal pernikahan (hlm. 13).

Penulis lainya, Bang Muhammad Armand, mempersonifikasikan ½ abad pernikahan Tjipta-Rose sebagai manifesto dahsyatnya cinta (hlm. 17). Sementara Saudara Edrida Pulungan, menempatkan Pak Tjiptadinata Effendi sebagai Inspiring Kompasianer (hlm. 46); Pun Mbak Gaganawati Stegmann yang tinggal di Jerman, selalu meneteskan air mata saat menerima pesan dari Beliau, karena teringat Bapaknya di tanah air, mereka seumuran, dan sama-sama banyak santannya (hlm. 209). Menyentuh hati dan mencerahkan. Seperti kata orang Jawa, pesan-pesan Pak Effendi itu “tumus”, yang berarti tembus di hati. Siapa yang tak luluh, jika hatinya tersentuh? Pancaran tulisan Pak Effendi, barangkali sebagia diantaranya dipengaruhi oleh aplikasi Reiki yang dikuasainya dengan baik. Saya tidak faham betul apa itu reiki, saya menduga saja, karena kebetulan Beliau adalah Ketua Yayasan Waskita Reiki Pusat Penyembuhan Alami yang didirikan tahun 1999 di Jakarta, seperti tulis Mbak Ghana (hlm. 208).

Lembar demi lembar, jika membaca buku SMP sampai akhir, akan membentuk gambar sosok Tjiptadinata Effendi dengan karakter yang kuat, arif dan bijaksana, dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Sunguh pun begitu, bukan berarti semua orang suka padanya. Salah satu buktinya, akun FB Tjiptadinata Effendi pernah di-hack orang, seperti diuraikan oleh Doni Bastian (hlm. 88). Namun semua masalah itu kini telah berlalu, dan energi positip yang dipancarkannya masih tetap menyebar melalui akun Kompasiana dan FB nya.

Bagaimana dengan kualitas isinya, tergolong “noise” atau “voice”?

Pada umumnya, para sahabat dari Admin Kompasiana maupun dari para kompasianer merespon positip atas tulisan-tulisan Pak Tjiptadinata Effendi. Namun, apakah tulisan-tulisan Pak Effendi itu dianggap hanya sekedar suara “noise”, suara gaduh warga biasa yang tak patut didengar? Kang Pepih baru saja menuliskannya di Kompasiana dengan mengatakan: “lihatlah, warga biasa seperti Pak Tjiptadinata Effendi pun sudah memahami betapa tidak seluruhnya kegaduhan di media sosial seperti Kompasiana ini sebagai negatif dan tidak berguna” (Kompasiana, 21/12/2015).

Bahkan dalam sebuah tulisannya di Kompasiana, Pak Effendi yang pernah menjadi eksportir itu pernah mengatakan, persisnya saya lupa, tetapi yang saya ingat kurang lebih begini: “Lulus Cumlaude Universitas Top Dunia, Belum Tentu Lulus Universitas Kehidupan”. Sebuah pernyataan yang patut menjadi bahan renungan, terutama bagi saya yang belum selesai-selesai menulis disertasi seputar masalah modal sosial dan pengembangan ekonomi berbasis komunitas”. Mohon do'a restunya.

Apapun yang ia tuliskan, acuannya tak pernah lepas dengan pengalaman hidup dunia nyata, bukan fantasi belaka, atau sekedar karangan tanpa disertai pertimbangan akal budi. Dia menuliskannya dengan melibatkan pikiran jernih dan hati nurani. Apakah dengan demikian produk tulisannya bisa disebut ilmiah atau tidak ilmiah? Saya tidak akan memperdebatkan soal ini, yang jelas bagi saya, dan saya yakin bagi sebagian besar orang yang membacanya, tulisan-tulisan Pak Effendi sangat positip dan bermanfaat serta mencerahkan. Karya-karya Pak Effendi tidak berisi petuah yang menggurui, tetapi pesan-pesannya mengalir secara alami, diangkat dari universitas kehidupan.

Jika harus disebut ada unsur kelemahan, namun tidak fatal, kekurangan buku ini dari segi layout adalah terletak pada halaman 247. Pada halaman itu, terdapat satu lembar halaman yang terbalik, kebetulan pada halaman itu terdapat komentar saya, Mas Bambang Setyawan, dan Mbak Mike Reyssent (hlm. 247). Sepertinya, kesalahan ini bukan pada saat menjilid, namun pada saat print-out.

Di samping itu, akan lebih memudahkan pembaca kiranya, jika disertai dengan daftar pustaka/rujukan, sehingga ketika hendak mengecek tulisan-tulisan yang ada di dalamnya tinggal mengetik kata kunci yang relevan di Kompasiana. Namun saya memaklumi si editor, bahwa pekerjaan menata sedemikian banyak tulisan yang tersebar cukup melelahkan. Terima kasih Bang Thamrin Sonata, yang telah menyebarkan virus positip lewat komunitas “Kutu Buku” dan penerbitan semacam ini, sehingga saya pun bisa mengaksesnya.

Terima kasih pula teruntuk Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Lina Effendi. Saya tak tak dapat membalas kebaikan Bapak dan Ibu, kecuali tulisan resensi ini, itu pun jika layak disebut sebagai hadiah balasan. Teriring do’a, semoga Bapak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Lina Effendi selalu dalam lindungan Tuhan dan selalu diberkati. Kami ingin terus memiliki, contoh panutan yang layak diteladani. Salam hangat, sehangat Matahari Pagi. Selamat berbagi dan terus berbagi, di Telaga Gagasan Kompasiana.

---------------------

Catatan:

Bagi para kontributor sebanyak 86 nama yang disebutkan dalam buku berjudul Sehangat Matahari Pagi, berhak mendapatkan buku secara free, hanya dibebani ongkos kirim saja, demikian seperti tulis Bang Thamrin Sonata di Kompasiana. Selengkapnya lihat di sini: Tjiptadinata Effendi dalam Sehangat Matahari Pagi, Apa Saja Isinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun