Pada umumnya, para sahabat dari Admin Kompasiana maupun dari para kompasianer merespon positip atas tulisan-tulisan Pak Tjiptadinata Effendi. Namun, apakah tulisan-tulisan Pak Effendi itu dianggap hanya sekedar suara “noise”, suara gaduh warga biasa yang tak patut didengar? Kang Pepih baru saja menuliskannya di Kompasiana dengan mengatakan: “lihatlah, warga biasa seperti Pak Tjiptadinata Effendi pun sudah memahami betapa tidak seluruhnya kegaduhan di media sosial seperti Kompasiana ini sebagai negatif dan tidak berguna” (Kompasiana, 21/12/2015).
Bahkan dalam sebuah tulisannya di Kompasiana, Pak Effendi yang pernah menjadi eksportir itu pernah mengatakan, persisnya saya lupa, tetapi yang saya ingat kurang lebih begini: “Lulus Cumlaude Universitas Top Dunia, Belum Tentu Lulus Universitas Kehidupan”. Sebuah pernyataan yang patut menjadi bahan renungan, terutama bagi saya yang belum selesai-selesai menulis disertasi seputar masalah modal sosial dan pengembangan ekonomi berbasis komunitas”. Mohon do'a restunya.
Apapun yang ia tuliskan, acuannya tak pernah lepas dengan pengalaman hidup dunia nyata, bukan fantasi belaka, atau sekedar karangan tanpa disertai pertimbangan akal budi. Dia menuliskannya dengan melibatkan pikiran jernih dan hati nurani. Apakah dengan demikian produk tulisannya bisa disebut ilmiah atau tidak ilmiah? Saya tidak akan memperdebatkan soal ini, yang jelas bagi saya, dan saya yakin bagi sebagian besar orang yang membacanya, tulisan-tulisan Pak Effendi sangat positip dan bermanfaat serta mencerahkan. Karya-karya Pak Effendi tidak berisi petuah yang menggurui, tetapi pesan-pesannya mengalir secara alami, diangkat dari universitas kehidupan.
Jika harus disebut ada unsur kelemahan, namun tidak fatal, kekurangan buku ini dari segi layout adalah terletak pada halaman 247. Pada halaman itu, terdapat satu lembar halaman yang terbalik, kebetulan pada halaman itu terdapat komentar saya, Mas Bambang Setyawan, dan Mbak Mike Reyssent (hlm. 247). Sepertinya, kesalahan ini bukan pada saat menjilid, namun pada saat print-out.
Di samping itu, akan lebih memudahkan pembaca kiranya, jika disertai dengan daftar pustaka/rujukan, sehingga ketika hendak mengecek tulisan-tulisan yang ada di dalamnya tinggal mengetik kata kunci yang relevan di Kompasiana. Namun saya memaklumi si editor, bahwa pekerjaan menata sedemikian banyak tulisan yang tersebar cukup melelahkan. Terima kasih Bang Thamrin Sonata, yang telah menyebarkan virus positip lewat komunitas “Kutu Buku” dan penerbitan semacam ini, sehingga saya pun bisa mengaksesnya.
Terima kasih pula teruntuk Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Lina Effendi. Saya tak tak dapat membalas kebaikan Bapak dan Ibu, kecuali tulisan resensi ini, itu pun jika layak disebut sebagai hadiah balasan. Teriring do’a, semoga Bapak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Lina Effendi selalu dalam lindungan Tuhan dan selalu diberkati. Kami ingin terus memiliki, contoh panutan yang layak diteladani. Salam hangat, sehangat Matahari Pagi. Selamat berbagi dan terus berbagi, di Telaga Gagasan Kompasiana.
---------------------
Catatan:
Bagi para kontributor sebanyak 86 nama yang disebutkan dalam buku berjudul Sehangat Matahari Pagi, berhak mendapatkan buku secara free, hanya dibebani ongkos kirim saja, demikian seperti tulis Bang Thamrin Sonata di Kompasiana. Selengkapnya lihat di sini: Tjiptadinata Effendi dalam Sehangat Matahari Pagi, Apa Saja Isinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H