Hal itu berbeda secara kontras dengan “kaweruh” yang tidak perlu “dijajal, tetapi cukup “dilakoni” atau “dirasakan” dengan penghayatan mata bathin yang mendalam. Karena itu, dengan kerendahan hati Pak Syahrul mengatakan seperti di atas: “saya ini tidak punya ‘ilmu’, tapi hanya ‘kaweruh’. Bagaimana memahami “kaweruh” itu?
Pak Syahrul mencontohkan pada saya dengan mengatakan: “gaman itu teko opo, yen gawe piye, kok iso landep piye carane…?” (“gaman atau senjata itu terbuat dari apa, kalau membuat bagaimana, kok bisa tajam bagaimana caranya…?”). Itulah contoh cara pemaknaan “kaweruh” versi Pak Syahrul, bahwa dengan “kaweruh” ia berusaha merasakan atau menghayati dalam-dalam tentang hakekat sesuatu (ontology), dari mana sumber pengetahuan itu diperoleh (epistemology), dan manfaatnya untuk apa (axiology). Demikian kira-kira seperti yang dilakukan oleh para filosof dalam memahami “sesuatu”. Dalam versi Pak Syahrul, itulah “kaweruh”, yang ia bedakan dengan “ilmu”.
Masih menurut Pak Syahrul, “wijenan” itu merujuk pada kata “wiji” yang berarti benih. Ia memberikan perumpamaan sebagai berikut:
”umpama sampean tak ke’i pari, piye amrihe thukul, tak kapakne? Cocoke tak tandur ning tanah sing piye? Tak tandur nang pegunungan thukul opa ora…? (seumpama Anda saya beri benih padi, bagaimana supaya bisa tumbuh, sebaiknya diapakan? Cocoknya ditanam di tanah yang seperti apa? Apakah ditanam di tanah pegunungan bisa tumbuh atau tidak…?).
[caption caption="Salah satu sudut di Sumur Pitu, tempat seseorang melakukan ritual/Dok. Pribadi"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/10/27/20151015-152518-562f7a8de8afbda6159ec428.jpg?v=600&t=o?t=o&v=555)
[caption caption="Sumur ke-7 Sumur Pitu yang dinamakan Panyuwunan/Dok. Pribadi"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/10/27/20151015-152725-562f7ced559373d90b376a62.jpg?v=600&t=o?t=o&v=555)
[caption caption="Salah satu sumur di antara 7 sumur lainnya di hutan Sumur 7/Dok. Pribadi"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/10/27/20151015-152952-562f7d72559373e00b376a62.jpg?v=600&t=o?t=o&v=555)
Demikian Pak Syahrul mencontohkan, bagaimana “kaweruh” itu berbeda dengan “ilmu” atau “ngilmu” (proses mendapatkan ilmu). Ringkasnya sejauh yang bisa saya tangkap, proses memperoleh “ilmu” didapatkan atas dasar menerima barang jadi atas dasar “wejangan” (misalnya menghafalkan mantera-mantera tertentu), dan untuk membuktikan ada hasilnya, dia harus “menjajal” (mencoba) dan menujukkannya pada orang lain, atau harus ada objek yang menjadi sasaran pembuktiannya.
Sementara “kaweruh” tidak perlu dicoba seperti apa ketangguhan, keampuhan, atau kesaktian sesuatu atas apa yang ia lakukan. Karena “kaweruh” itu diperoleh dari proses menghayati, merasakan, dan menjalankan aktivitas secara apa adanya (nglakoni) yang prosesnya menggunakan kekuatan bathiniyah. “Kaweruh” itu melekat pada dirinya, dan hanya akan digunakan saat benar-benar dibutuhkan, bukan ditunjukkan hanya untuk membuktikan kesaktiannya atau manfaatnya, apalagi hanya untuk sekedar kesombongan.
Saat ia menjelaskan dengan penuh penghayatan, saya pada waktu itu hanya menjadi pendengar yang baik, bahkan sampai terkantuk-kantuk. Pasalnya, “obrolan” itu berlangsung cukup lama, sejak sekitar pukul 20.45 Wib – 02.30 Wib dini hari. Saya awalnya hanya bertiga, yaitu saya, Mas Selamet Hariadi, dan Pak Syahrul sendiri. Sementara keadaan di luar warung dan tepi pantai masih ramai, kebetulan ada pertunjukan wayangan kulit semalam suntuk, dalam rangka peringatan Syuro-an (1 Syuro). Di tengah malam, sekitar pukul 00.30 Wib, tiba-tiba Mas Malik datang, ikut nimbrung hingga pada akhirnya kami bertiga pamitan, sekitar pukul 02.30-an Wib dini hari dan kembali ke kamar Hotel Wibisono I, tempat kami menginap di tepi Balekambang.
[caption caption="Pertunjukan wayang kulit di depan Pendopo Desa Srigonco, tidak jauh dari tempat tinggal Pak Syahrul/Dok. Pribadi"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/10/27/20151015-222738-562f7e785a7b611a0ae1ead6.jpg?v=600&t=o?t=o&v=555)