Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pesona Balekambang dan Eco-Wisata Religi Sumur 7

19 Oktober 2015   12:59 Diperbarui: 27 Oktober 2015   15:41 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Peringatan Ritual Adat 1 Syuro Tahun 2015 (1 Muharram 1437 H) yang ke 109 di Balekambang, 16/10/2015/Dok. Pribadi"][/caption]

Mungkin Anda sudah sering mendengar pesona Pantai dan Resort di Pulau Bali atau Pulau Bintan di Kepulauan Riau (Kepri) yang sudah kesohor. Namun barangkali jarang yang mendengar pesona Pantai Balekambang dan keunikan “Wisata Pantai Religi Sumur 7” (baca Sumur Pitu) dengan hutan bambunya yang unik. Pantai Balekambang merupakan bagian dari Pesona Indonesia. Letaknya berada di desa Srigonco kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, sekitar 60 km ke arah selatan dari pusat kota Malang. Sementara Wisata Religi Sumur 7, letaknya di desa Sumberbening, berdampingan dengan desa Srigonco yang dihubungkan dengan sebuah jembatan unik. 

Melalui jembatan sepanjang sekitar 200 m yang menjorok ke laut itu, Anda dapat menikmati keindahan Pulau Ismoyo. Pulau ini mirip dengan Tanah Lot di Pulau Bali, namun dengan ukuran lebih kecil. Di pulau Ismoyo terdapat sebuah Pura, tempat ritual umat Hindu. Ada benda-benda ritual seperti kendi dan sesajen, diletakkan di setiap lokasi tertentu. Uniknya, disediakan sarana flying fox dari Pulau Ismoyo menuju tepi pantai. Jaraknya kira-kira 300 m, melintas di atas air laut dan berhenti di tepi pantai.

[caption caption="Jembatan Panjang Menuju Pulau Ismoyo di Balekambang, Mirip Tanah Lot di Pulau Bali/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Flying Fox antara Pantai Balekambang ke Pulau Ismoyo/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Tersedia Flying Fox di Pulau Ismoyo Pantai Balekambang/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Bila hendak melihat indahnya pemandanga Eco-Wisata Religi Sumur 7”, pengunjung dapat melalui jembatan yang melintasi Pulau Wisanggeni, kemudian berbelok ke kanan menuju lokasi. Ada dua objek wisata unik di sini, yaitu pemandangan alam tepi pantai dan hutan bambu yang masih alami di Wisata Religi Sumur Pitu. Namun Anda harus hati-hati, saat berkeinginan mandi di sekitar wisata pantai religi ini. Karena terpampang papan peringatan bertuliskan: “Dilarang Mandi di Laut, Ombak Ganas”!. Di tempat mistis inilah, setiap tahun dilakukan iring-iringan ritual Larung Sesaji yang ditandai dengan pelemparan sesaji ke tengah laut.

[caption caption="Kirab Ritual Larung Sesaji, berakhir di Pantai Religi Sumur 7/Dok. Group Bolang"]

[/caption]

[caption caption="Menuju Wisata Religi Sumur 7/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Papan peringatan untuk tidak mandi di laut, karena ombaknya ganas/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Petunjuk arah menuju Religi Sumur 7, Dali Putih, Pulau Penyu/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Di perbatasan antara desa Srigonco dan Sumberbening itulah, pengunjung diberi kesempatan untuk meneruskan perjalanan wisata menuju Dali Putih, Pulau Penyu, Pulau Ampel, Kondang Merak dan tempat wisata lainnya sesuai penunjuk arah. Tempat-tempat tersebut masih jarang dijamah oleh para pengunjung. Karena itu, ke depan masih sangat potensial untuk dikembangkan menjadi eco-wisata yang lebih menarik.

Artikel ini saya tulis berdasarkan pengalaman kami selama dua hari mengunjungi Balekambang dan Wisata Religi Sumur 7, sejak hari Kamis hingga Jumat, 15-16 Oktober 2015 lalu. Kebetulan, saat itu bersamaan dengan peringatan 1 Syuro (1 Muharram 1437 H) dalam kelender hijriyah. Saya dan rekan-rekan sesama penulis yang tergabung dalam Blog Kompasiana Malang (Bolang), diberi kesempatan oleh Direktur Jasa Yasa, pengelola destinasi wisata Balekambang untuk menjadi rekan supporting event bertajuk “Kirab Ritual Larung Sejaji 2015 dan Peringatan 1 Syuro  ke-109”. Moment itu sekaligus kami manfaatkan untuk mengekplorasi eco-wisata pantai dan hutan bambu yang dikemas dengan tema “Bamboo Beach Gathering 2015”.

****

Indonesia, dikenal sebagai negara kepulaun (archipelago). Antar penduduk yang mendiami suatu pulau dengan pulau lainnya, dihubungkan (bukan dipisahkan) oleh lautan dan/atau hutan. Melekat padanya potensi wisata yang tak ternilai harganya. Puluhan ribu pulau yang tersebar di Nusantara, kaya akan potensi eco-wisata, eco-friendly, eco-hotel, eco-resort atau istilah lain yang memiliki kedekatan makna. Istilah-istilah itu merujuk pada tempat wisata atau tempat penginapan (hotel/resort) yang dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek keramahan ekologi.

Pesona wisata tidak saja terletak pada fisik alamnya semata, tetapi juga melekat pada habitat aneka tetumbuhan dan satwa liar serta keunikan penduduknya. Bahkan, dewasa ini eco-wisata atau eco-resort secara sengaja diciptakan untuk tujuan konservasi alam atau memperbaiki kondisi habitat tertentu yang mulai punah, seperti eco-wisata Pulau Komodo di Kepulauan Nusa Tenggara.

Jalur Menuju Balekambang dan Pantai Religi Sumur 7

Untuk memenuhi rasa penasaran akan eco-wisata itu, saya bersama rekan-rekan Bolang, selama dua hari lalu menyusuri pantai Balekambang dan memasuki kawasan hutan bambu, salah satu wahana “Wisata Pantai Religi Sumur 7”. Untuk mencapai lokasi wisata tersebut, cara terbaik adalah berkendara pribadi. Kami melaju dari Kota Malang melalui jalur pasar Gadang, Bululawang, Gondang Legi, Bantur, Srigonco hingga sampai di tepi Balekambang. Dengan kecepatan sekitar 40-60 km/jam, kami dapat mencapai lokasi wisata dengan waktu tempuh sekitar 1,5 - 2 jam.

[caption caption="Pintu Gerbang Menuju Pantai Balekambang/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Seorang Kompasianer Bolang sedang Berselfie di depan "Balekambang Beach"/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Namun jika Anda menggunakan jasa angkutan umum, Anda dapat berangkat dari terminal Arjosari atau stasiun Kota Malang menuju Gadang, untuk selanjutnya melewati jalur di atas hingga sampai di lokasi. Jasa angkot dari pasar Gadang menuju Bantur. Untuk selanjutnya, dari Bantur berganti menggunakan jasa ojek menuju Balekambang, harganya sekitar Rp 25.000.

Bila berombongan, sebaiknya menggunakan jasa rental mobil dari kota Malang. Namun jika Anda penyuka solo travelling atau hanya berdua, lebih nyaman menyewa sepeda motor dari kota Malang. Rata-Rata harga tiket masuk Rp 11.000, parkir sepeda motor Rp 5.000, mobil Rp 10.000, dan bus/truck Rp 15.000. Pengunjung dapat memarkir kendaraannya tepat di pinggir pantai.

Jika Anda berasal dari luar pulau, Anda dapat naik pesawat dan turun di bandara Abdurrahman Saleh, tidak jauh dari pusat kota Malang. Untuk selanjutnya bisa menginap di kota Malang, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pantai Balekambang dan Wisata Religi Sumur 7.

Keunikan Eco-Wisata Pantai Religi Sumur 7

Saya dan rombongan check in di Hotel “Wibisono” milik BUMD yang dikelola oleh PT. Jasa Yasa Kabupaten Malang. Dalam sebuah kesempatan makan siang bersama salah satu pengelolanya, Pak Yono, dia menjelaskan: “…dari segi fisik alamnya, pantai Balekambang hawanya paling sejuk, bila dibandingkan dengan pantai-pantai tempat wisata lain di Jatim, seperti pantai Ngliyep, Popoh, maupun Sendang Biru” (16/10/2015).

[caption caption="Kamar Hotel Wibisono di Wisata Pantai Balekambang/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Halaman Depan Hotel Wibisono yang Dikelola Oleh Perusahaan Daerah Jasa Yasa PemKab. Malang/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Kiranya, perkataan Pak Yono itu tak berlebihan. Saat itu, sekitar jam 10.00-an di hari kunjungan pertama, saya pun merasakan hal yang sama. Semilir angin sejuk sedemikian berasa menerpa tubuh. Saya melihat joglo-joglo berdiri di tepi pantai. Atap-atap joglo yang terbuat dari ijuk dan sebagian lain terbuat dari daun ilalang itu tampak bergerak-gerak diterpa semilir angin. Pesona panorama pantainya memikat. Deburan ombak putih pantai “Laut Selatan” yang dikenal ganas tampak susul menyusul. Ia berkejar-kejaran hingga mencapai bibir pantai. Hamparan pasir putih dapat dinikmati di sepanjang pantai.

[caption caption="Joglo-joglo dari bahan bambu berjajar di tepi pantai Balekambang/Dok. Group Bolang/fb. Selamet Hariadi"]

[/caption]

[caption caption="Suasana Tepi Pantai Balekambang/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Pesona Pantai Balekambang, tampak Pulau Ismoyo dari kejauhan/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Namun saya masih melihat sebagian dedaunan kering berserakan di atas pasir. Banyaknya pengunjung saat rangkaian peringatan “Larung Sesaji dan Peringatan 1 Syuro”, semakin menambah beban petugas kebersihan tepi pantai. Saat kami berada di sana, para petugas tampak sibuk membersihkannya. Ada beberapa onggokan sampah habis dibakar di atas pasir. Kami mencoba membantu menarik gerbong sampah. Kebersihan tepi pantai, tampaknya masih perlu menjai fokus perhatian. Karena itu, setiap minggu ada gerakan Jum’at bersih di sekitar Area Wisata Balekambang.

[caption caption="Saya mencoba mengangkut sampah-sampah yang berserakan di atas pasir Pantai Balekambang dengan gerobal/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Usai makan siang, saya lanjutkan dengan mewancarai dua nelayan yang tinggal di gubuk, di antara belasan gubuk yang terdapat di pinggiran pantai. Mereka menyebut dirinya dengan sebutan “nelayan pinggiran”, demikian seperti diakui oleh Pak Riamun. Pak Ginem menuturkan: “mben wulan sewane Rp 60.000. Tahun kepengker, sewane mung nem ewuan. (Tiap bulan harga sewanya Rp 60.000. Tahun lalu, harga sewanya cuma enam ribuan). Demikian pengakuannya yang diiyakan oleh Pak Riamun. Saat air surut tiba, para nelayan pinggiran itu bekerja mencari ikan dengan peralatan jaring seadanya. Selain Pak Riamun dan Pak Ginem, kira-kira ada sekitar 40-an nelayan pinggiran di sekitar Balekambang yang bekerja semacam dirinya.

[caption caption="Pak Riamun (kiri), dan Pak Ginem (Kanan), mereka menyebut dirinya sebagai "Nelayan Pinggiran" saat diwawancarai/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Berapa rata-rata pendapatan ikan dalam setiap harinya? Menurut pengakuan Pak Riamun, biasanya tiap hari dapat 3 Kg. Tiap 1 Kg harganya Rp 20.000. Jenis ikannya bukan tongkol, seperti kebanyakan ikan laut yang dijual di pasar. Jenis ikan tangkapan “nelayan pinggiran” ini adalah ikan khas tepi pantai, dua diantaranya adalah jenis ikan kakap putih dan kakap merah. Menjualnya pun tidak ke mana-mana, cukup dijual di warung-warung makan terdekat di tepi pantai. Demikian dia menjelaskan ketika saya wawancarai sambil membersihkan jaringnya. Itulah keunikan kehidupan sosial ekonomi “nelayan pinggiran”, bagian dari eco-wisata yang juga perlu mendapat perhatian.

[caption caption="Pak Raimun sedang membersihkan jaringnya, sambil saya wawancarai/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Kondisi gubuk salah satu "nelayan pinggiran" pantai Balekambang/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Surat edaran program Jum'at Bersih dan identitas diri nelayan pinggiran, Pak Raimun dan Pak Ginem/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Keistimewaan Eco-Wisata Religi Sumur 7

Eksplorasi selanjutnya adalah melangkahkan kaki memasuki hutan bambu. Begitu melalui gapura hutan itu,  ada tulisan “Ojo Dumeh”di sisi kiri gapura, dan “Moro Adem” di sisi kanannya. Mungkin istilah itu menggambarkan filosofi Jawa tentang gambaran isi hutan, demikian saya membatin. Saat saya konfirmasi ke juru kuncinya yang bernama Ki Hadi Syahrul, dia menjawab:

“Ojo dumeh, artinya jangan menyombongkan diri. Dumeh mek koyok ngene wae, alas iki ono apane?” Artinya: “cuma begini aja, hutan ini memang ada apanya?”. Sedangkan, “ngademake”, artinya setelah memasuki kawasan hutan atau melakukan ritual tertentu di sumur pitu, batinnya akan menjadi sejuk atau tenteram. Demikian keterangan sang juru kunci yang sehari-hari menjaga hutan, menempati sebuah bagunan dari bambu di sebuah sudut hutan bagian depan.

[caption caption="Gapura "Pintu Masuk Wisata Religi Sumur 7" menuju tengah hutan bambu. Tertulis di sini "Ojo Dumeh" dan "Moro Adem"/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Saya penasaran, seperti apakah gerangan sumur-sumur itu? Untuk mendapatkan jawabannya, cara terbaik adalah menemukan satu per satu sumur dengan menelusuri jalan setapak di tengah hutan bambu, dan ternyata berhasil kami temukan. Di sumur pertama, tampak jejak dupa yang sudah mati. Di dekat sumur ini, ada bekas taburan bunga yang masih belum mengering.

Begitu memasuki sumur ke tujuh, ada penanda bertuliskan “Sumur Panyuwunan”. Di sebelahnya, ada anyaman dedaunan di bawah rumpun bambu. Terlihat bekasnya, digunakan sebagai tempat ritual bagi orang-orang tertentu. Entah apa yang mereka minta di tempat ini.

[caption caption="Suasana Hutan Bambu di lokasi "Wisata Religi Sumur 7" Sumberbening/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Genangan air tawar di tengah hutan bambu, lokasinya di Wisata Religi Sumur 7/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Sumur ke-7, Penyuwunan Sumur 7/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Ada banyak kisah mistis yang saya dapatkan berdasarkan keterangan Ki Hadi Syahrul, namun saya pandang tidak tepat saya ungkapkan ke publik. Saya hanya penasaran dengan eco-wisata religinya, bahwa di tengah hutan bambu banyak orang berkunjung ke sana dengan ragam kepentingan masing-masing. Di akhir kunjungan, kami pamit kepada Pak Syahrul, sang juru kunci  itu. Dengan merendah, sambil tersenyum dia mengatakan inilah tempat saya, “Pondok Tukang Sapu Sumur Pitu”.

[caption caption="Sisa dupa di salah satu sumur, Wisata Religi Sumur 7/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Bekas benda-benda ritual di salah satu sumur Wisata Religi Sumur 7/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Selama saya memasuki hutan itu, tanaman bambu-bambu tampak mendominasi isi hutan dengan kehidupan habitatnya yang masih alami. Di dalam hutan ada sungai air tawar, selain sumur-sumur yang berjumlah tujuh (pitu). Saya tertarik dengan potensi alam dengan hutan bambunya. Andaikan suatu saat nanti bisa diberdayakan dengan pendekatan “community development” berbasis “eco-friendly”, barangkali nilai tambah hutan akan semakin tinggi.

Setelah melihat dari dekat hutan bambu itu, kita bisa membacanya dari multi perspektif. Terpikirkan oleh saya dan kawan-kawan, misalnya secara selektif bambu-bambu kecil itu bisa dibuat seruling dengan lukisan batik indah. Dihiasi dengan ikon-ikon yang mencerminkan khas Nusantara dan ASEAN Communit, sehingga bisa dijadikan gift bagi wisatawan lokal maupun asing. Dengan tetap menjaga keberlanjutan hutan bambu, hemat saya, secara selektif tanaman bambu itu bisa dibuat aneka kerajinan yang indah, murah dan menarik dengan tetap menjaga ekologi hutan.

[caption caption="Contoh bambu yang sudah tua, bambunya kecil-kecil, cocok untuk bahan beragam kerajinan/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Seruling milik sang juru Kunci, Ki Hadi Syahrul/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Apabila Anda sudah sering melihat tempat-tempat indah seperti alam pegunungan dan lautan, ada baiknya Anda melihat eco-wisata seperti “Wisata Religi Sumur 7” di tengah hutan bambu nan unik. Anda pun sekaligus masih bisa menikmati keindahan tepi pantai dengan Pulau Ismoyonya, seolah seperti melihat miniatur Tanah Lot-nya pulau Bali. Jika Anda memiliki waktu luang, mengunjungi Pantai Balekambang dan Wisata Religi Sumur 7 dengan pantai dan hutan bambunya yang masih alami, merupakan salah satu pilihan terbaik berlibur di dalam negeri. Selamat berkunjung!

[caption caption="Pintu masuk melalui jembatan panjang menuju Pura di Pulau Ismoyo/Dok. Pribadi"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun