[caption caption="Saya mencoba mengangkut sampah-sampah yang berserakan di atas pasir Pantai Balekambang dengan gerobal/Dok. Pribadi"]
Usai makan siang, saya lanjutkan dengan mewancarai dua nelayan yang tinggal di gubuk, di antara belasan gubuk yang terdapat di pinggiran pantai. Mereka menyebut dirinya dengan sebutan “nelayan pinggiran”, demikian seperti diakui oleh Pak Riamun. Pak Ginem menuturkan: “mben wulan sewane Rp 60.000. Tahun kepengker, sewane mung nem ewuan. (Tiap bulan harga sewanya Rp 60.000. Tahun lalu, harga sewanya cuma enam ribuan). Demikian pengakuannya yang diiyakan oleh Pak Riamun. Saat air surut tiba, para nelayan pinggiran itu bekerja mencari ikan dengan peralatan jaring seadanya. Selain Pak Riamun dan Pak Ginem, kira-kira ada sekitar 40-an nelayan pinggiran di sekitar Balekambang yang bekerja semacam dirinya.
[caption caption="Pak Riamun (kiri), dan Pak Ginem (Kanan), mereka menyebut dirinya sebagai "Nelayan Pinggiran" saat diwawancarai/Dok. Pribadi"]
Berapa rata-rata pendapatan ikan dalam setiap harinya? Menurut pengakuan Pak Riamun, biasanya tiap hari dapat 3 Kg. Tiap 1 Kg harganya Rp 20.000. Jenis ikannya bukan tongkol, seperti kebanyakan ikan laut yang dijual di pasar. Jenis ikan tangkapan “nelayan pinggiran” ini adalah ikan khas tepi pantai, dua diantaranya adalah jenis ikan kakap putih dan kakap merah. Menjualnya pun tidak ke mana-mana, cukup dijual di warung-warung makan terdekat di tepi pantai. Demikian dia menjelaskan ketika saya wawancarai sambil membersihkan jaringnya. Itulah keunikan kehidupan sosial ekonomi “nelayan pinggiran”, bagian dari eco-wisata yang juga perlu mendapat perhatian.
[caption caption="Pak Raimun sedang membersihkan jaringnya, sambil saya wawancarai/Dok. Pribadi"]
[caption caption="Kondisi gubuk salah satu "nelayan pinggiran" pantai Balekambang/Dok. Pribadi"]
[caption caption="Surat edaran program Jum'at Bersih dan identitas diri nelayan pinggiran, Pak Raimun dan Pak Ginem/Dok. Pribadi"]
Keistimewaan Eco-Wisata Religi Sumur 7
Eksplorasi selanjutnya adalah melangkahkan kaki memasuki hutan bambu. Begitu melalui gapura hutan itu, ada tulisan “Ojo Dumeh”di sisi kiri gapura, dan “Moro Adem” di sisi kanannya. Mungkin istilah itu menggambarkan filosofi Jawa tentang gambaran isi hutan, demikian saya membatin. Saat saya konfirmasi ke juru kuncinya yang bernama Ki Hadi Syahrul, dia menjawab:
“Ojo dumeh, artinya jangan menyombongkan diri. Dumeh mek koyok ngene wae, alas iki ono apane?” Artinya: “cuma begini aja, hutan ini memang ada apanya?”. Sedangkan, “ngademake”, artinya setelah memasuki kawasan hutan atau melakukan ritual tertentu di sumur pitu, batinnya akan menjadi sejuk atau tenteram. Demikian keterangan sang juru kunci yang sehari-hari menjaga hutan, menempati sebuah bagunan dari bambu di sebuah sudut hutan bagian depan.
[caption caption="Gapura "Pintu Masuk Wisata Religi Sumur 7" menuju tengah hutan bambu. Tertulis di sini "Ojo Dumeh" dan "Moro Adem"/Dok. Pribadi"]