Pertama, perlu dikembangkan wahana bermain untuk anak-anak difabel, atau anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam konsepnya, saya lihat taman Kota Malang sudah mengapresiasi kebutuhan itu, namun saat saya berkunjung di sana, belum terlihat anak-anak difabel bermain-main seperti layaknya anak-anak lainnya. Sementara di Batu, belum ada wahana yang menyediakan tempat bermain untuk mereka yang tergolong berkebutuhan khusus. Di masa depan, kiranya hal itu perlu dipertimbangkan.
Kedua, bila memungkinkan, “Taman Bacaan Anak” keliling selalu tersedia di Taman Kota Malang, setidaknya pada jam dan hari-hari tertentu yang menarik minat anak membaca dan jadwalnya pasti. Misalnya setiap Jumat - Minggu sore. Bila perlu, anak-anak dimotivasi dengan pertunjukan ramah anak, seperti kegiatan mendongeng, mewarna, fotografi, dan lain sebagainya.
Ketiga, sebagian area rerumputan di Taman Kota Malang mulai terlihat mengering, apalagi di saat musim kemarau. Mungkin karena diinjak pengunjung atau kurang penyiraman. Pagar terbuka, setelah direvitalisasi, memang ada konsekwensinya. Area taman menjadi terbuka, yang memungkinkan rerumputan terinjak. Maka, di tahun-tahun awal pemanfaatan taman, selain perlu papan peringatan, mungkin dipandang perlu ada petugas/media khusus yang mengingatkannya. Seperti halnya di Taman Kota Batu, ada alat pelantang suara ramah publik yang secara perodik megingatkan para pengunjung untuk ramah terhadap taman. Jika sudah membudaya, maka peringatan melalui speaker bisa dihilangkan.
[caption caption="sebagian rerumputan terlihat mulai mengering di sekitar wahana bermain anak/Dok. Pribadi"]
Keempat, penataan lahan parkir. Penataan lahan parkir di Taman Kota Malang, tampaknya perlu diperbaiki. Di Kota Malang, lahan parkir relatif menyempit, tidak seluas sebelumnya. Hal ini sebagai akibat dari perluasan area taman. Sementara para pengunjung dilarang parkir di dalam area taman. Efek positifnya, area dalam taman menjadi bersih, indah dan luas. Namun, pendapatan petugas taman kian mengecil karena terbatasnya lahan parkir. Pengalaman saya saat pergi ke Taman Kota Malang, bahkan saya tidak diberi karcis parkir, meskipun saya membayar uang Rp 4.000 untuk parkir mobil. Menurut petugas parkir waktu itu, jika memakai sepeda motor dikenakan beaya parkir Rp 2.000.
Hemat saya, perlu ada perhatian khusus terhadap masalah ini. Misalnya, ada petugas khusus perawat rumput, bunga-bunga, dan aneka flora-fauna dalam jumlah dan gaji yang memadai. Tak kalah pentingnya, ada petugas pelayanan khusus dalam taman yang melayani pengunjung. Sementara kekurangan lahan parkir, bisa dicarikan di tempat lain, yang memungkinkan para pengunjung tertarik mendatanginya. Misalnya, di tempat parkir baru, disediakan tempat-tempat wisata kuliner, apparel, dan lain sebagainya. Berikan space dan peluang yang bernilai sosial dan ekonomi buat mereka.
Intinya, taman kota lebih dari sekedar ikon kota atau tempat rekreasi. Taman kota merupakan ruang publik yang ramah untuk semua. Ramah secara sosial, lingkungan dan ekonomi. Untuk itu, komitmen pemerintah daerah, partisipasi dunia usaha dan warga memiliki peranaan penting bagi terwujudnya pembangunan kota yang inklusif. Cintai Taman kota yang ramah anak!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H