“Kau tahu kan, kalau aku suka membuat “Cersi” (cerita silat) atau “Cerhor” (cerita horor)” di sekolahku?”. Demikian retorika Desy. “Iye…iye, tapi emang adakah yang salah dengan cersi atau cerhor?” Aku mencoba mencari tahu.
“Masalahnya gini nih, aku dikatakan oleh fansku, katanya aku secara tak sadar telah menyebarkan gambaran perilaku kekerasan”. Tapi ini kan fiksi, bukan fakta kan? Aku hanya melatih imajinasiku.” Demikian Desy bersemangat menjelaskan. Aku dengarkan saja, sampai ia puas lalu berhenti.
Di saat itulah, aku menahan nafas dalam-dalam. Lalu dengan lembut aku bisikkan di telinganya: “Desy, ketahuilah apapun karyamu itu elok bagiku. Benar-benar elok pada tempatnya, dan elok pada waktunya”. “Percayalah!”. Tampaknya, saat itu kau tampak tersenyum, tanda setuju. Masih ingatkah, Desy?
Semoga hari-harimu penuh berkah. Setelah sekian bulan aku tak jumpa denganmu, hingga kini aku belum pernah mendengar kabar darimu. Semoga saat ini, kau telah berada dalam situasi yang indah pada tempatnya, dan indah pada waktunya.
Kabari aku ya, jika Desy hendak menikah dengan somebody, dengan pria menarik asal “Kota Kembang” itu! Salam.
Suratku kepada Desol Desy telah selesai bersama do’a tengah malam.
----------------------o00o-----------------------------
NB : Ikuti Event Surat-menyurat di Sini: http://www.kompasiana.com/androgini/event-fiksi-surat-menyurat-di-kompasiana_5618f89b4123bd3d16f2001f
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H