[caption caption="Masjid Jami Kota Malang, Tampak dengan Jelas dari Taman Kota Malang (Alun Alun Merdeka)/Foto Dokumen Pribadi"][/caption]
Dewasa ini, terjadi pergeseran trend masyarakat urban. Generasi millennium lebih suka tinggal di kota-kota besar dengan segala kemudahan fasilitasnya. Mereka lebih suka tinggal di apartemen, gila teknologi, memilih kendaraan publik yang nyaman, dan suka bersenang-senang bersama teman-temannya. Fenomena itu terbaca berdasarkan paparan hasil studi gabungan mengenai hunian di Harvard University pada 2014 lalu, bahwa orang-orang pada usia 25 - 34 tahun menunda kepemilikan rumah dan lebih suka tinggal di apartemen, seperti dilaporkan Kompas.com [1].
Fenomena itu juga mulai terjadi di Malang yang tergolong sebagai “kota sedang”. Kota ini pada tahun 2015, populasinya mencapai 873.716 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 3,9%. Meski bukan tergolong kota besar, pertanda trend pergeseran perilaku itu sudah mulai terjadi di kota ini. Siap atau tidak, apartemen menjadi alternatif hunian wajib masa depan [2]. Di Kota Malang, kini sudah berdiri apartemen menjulang tinggi di Jalan Soekarno Hatta dengan harga dan fasilitas menarik. Demikian halnya telah berdiri apartemen megah di sekitar Dieng Kota Malang.
Di satu sisi, munculnya hunian-hunian vertikal kota berdampak positip terhadap efisensi lahan kota. Namun jika kotanya tidak ditata dengan baik sejak dini, maka bukan mustahil sebuah kota akan dihadapkan pada masalah baru dari aspek transportasi publik, demografi, lingkungan, ekonomi, sosial dan spasial yang tak terbayangkan sebelumnya. Dari aspek sosial misalnya, anak-anak kota saat ini sulit mendapatkan ruang publik yang murah dan nyaman untuk bermain dan bersosialisasi.
Untuk mengantisipasi masalah itu, setiap Pemerintah Daerah perlu didorong dalam menyediakan ruang publik yang layak dan ramah untuk semua. Hal itu sejalan dengan spirit United Nation (UN), badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk program pemukiman (UN-Habitat III) yang akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) global mengenai Agenda Pembangunan Pasca-2015 tahun depan di Quito, Ekuador.
Sekedar untuk diketahui, PBB setiap tahun memperingati Hari Habitat Dunia (HDD) pada minggu pertama bulan Oktober, yang pada peringatan tahun ini jatuh pada tanggal 5 Oktober 2015. Masih dalam rangka menyongsong acara itu, merupakan suatu kehormatan bagi Indonesia, karena terpilih sebagai tuan rumah tiga pertemuan internasional terkait perkotaan se Asia Pasifik, dalam hal ini hendak dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 17 - 22 Oktober 2015 nanti [3]
Tema yang diangkat pada peringatan UN-Habitat III adalah “Public Spaces for All”. Tema itu bertujuan untuk membuka kesadaran pemerintah daerah agar menyediakan ruang publik untuk semua secara cuma-cuma tanpa kecuali. Pembangunan inklusif dan berkelanjutan itu, tak akan berhasil tanpa komitmen pemerintah, dunia usaha, dan keterlibatan aktif warga. Jika tidak, kasus “Tiruan Paris di China Jadi Kota Hantu” [4] bukan mustahil akan menjalar ke tempat lain.
Pasalnya, China memiliki miniatur kota Paris yang terletak di Tianducheng. Semua fitur khusus di kota asal Paris, seperti Menara Eiffel setinggi 108 meter, air mancur besar di Taman Luxembourg, dan Plaza Champ Elysees ada di “Kota Replikasi” Tianducheng. Unik, semuanya berukuran mini yang memadai untuk 10.000 penghuni. Sayang, “kota imitasi” itu hanya dihuni 2.000 orang sehingga terkesan mati. Seolah, seperti “kota hantu” tidak berpenghuni. Jalan-jalannya sebagian besar sepi, tidak ada lalu lalang orang-orang bergegas pergi ke kantor, padahal sudah dikerjakan sejak tahun 2007, demikian seperti dilaporkan oleh Kompas.com [5].
Sejalan dengan pandangan Aala Dalghan, hemat saya, kasus itu merupakan pelajaran, bahwa membangun kota bukan semata-mata soal gedung megah atau teknologi digital. Juga bukan sekedar soal koneksitas dengan memadukan aspek-aspek fasilitas kesehatan, pendidikan, jaringan tansportasi publik, ruang publik, dan seterusnya. lebih dari itu mengenai persoalan bagaimana menggunakan segala sumber daya secara efisien dan ramah, yang pada akhirnya bermuara pada kualitas hidup. Pembangunan ruang publik, dengan demikian mesti berorientasi “ramah terhadap semua”, yang pada intinya ada akses bagi setiap warga untuk dapat mencapai kualitas hidup itu [6].
Untuk itu, saya mencoba menelusuri ruang-ruang publik yang sudah diimplementasikan oleh Pemkot Malang. Antara lain, saya mengitari taman-taman kota Malang selama dua hari, pada tanggal 25-26 September 2015. Artikel ini sengaja saya tulis menggunakan perpaduan gaya reportase dan opini, berdasarkan pengalaman saya bersama keluarga menikmati ruang publik, terutama di sejumlah Taman Kota Malang yang ramah sosial dan ramah anak, sebagaimana saya paparkan berikut ini.
***
Ruang Publik dan Revitalisasi Taman Kota Malang
Kiranya patut kita syukuri, bahwa dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, Kota Malang mendapat apresiasi sebagai “best practice” Kota Hijau se Asia Tenggara pada acara Asean Mayors Forum 2015 [7]. Pada tahun yang sama, Kota Malang juga dinobatkan sebagai Kota Layak Anak tingkat Madya secara nasional, yang diterimakan oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara pada Agustus lalu [8]. Prestasi ini, naik satu tingkat lebih tinggi dari prestasi sebelumnya (tingkat Pratama) selama tiga tahun.
Pada Jumat sore itu (25/09/2015), saya sengaja mengajak keluarga untuk melihat Taman Kota Malang, yang telah diresmikan sejak 17 Juni 2015 lalu. Wow.. keren!. Taman Kota itu direvitalisasi dengan anggaran sebesar Rp 5,9 miliar. Pemkot Malang cukup kreatif, sumber dananya diperoleh dari dana CSR BRI [9], sehingga tidak harus merogoh kocek APBD Pemkot. Hal ini juga menggambarkan ada partisipasi dari dunia usaha. Perusahaan dalam mendistribusikan dana corporate social responsibility (CSR) cukup tepat, karena publik benar-benar dapat merasakan manfaatnya.
[caption caption="Pesona Alun Alun Kota Malang Pasca Direvitalisasi, Tampak Para Keluarga Bergembira Berkunjung ke Taman Ini/Foto Dokumen Pribadi"]
Pasca berganti wajah (face off), Alun Alun Merdeka yang kini menjadi Taman Kota Malang itu terkesan makin cantik nan luas. Setelah pagar pembatas dipugar, seolah taman menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Pemugaran pagar pembatas melambangkan keterbukaan, seolah Pemkot dengan warganya tidak ada jarak lagi.
Begitu kami melangkahkan kaki melalui pintu masuk, terbentang jalan lebar sekitar 15 meter menuju taman, tampak aneka isi taman yang menarik. Di kiri kanan berjajar kursi-kursi elegan, tampak warga dari berbagai latar belakang sedang duduk-duduk sambil membaca. Ada pula yang duduk-duduk sambil mengusap-usap layar gadget, memanfaatkan jaringan WiFi bebas bea. Sebagian yang lain tampak asyik berfoto di sekitar taman. Pasangan keluarga muda juga terlihat asyik sedang mendorong anaknya dengan kereta bayi. Para pengunjung remaja tampak tersenyum sambil berfoto selfi... :)
[caption caption="Para Pengunjung Asyik Sedang Duduk Duduk di Taman Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi "]
Saat itu, saya sekeluarga berjalan mengitari taman. Ketika anak kami melihat taman bermain, serta merta dia segera minta berhenti. Horee…! dia langsung berlari girang memasuki area play ground, taman bermain anak yang bersih dan nyaman. Kami menyaksikan sekumpulan anak-anak bergantian sambil tertawa girang bermain plorotan di arena Beautiful Malang. Tampak anak-anak lain sedang asyik bermain ayunan dan ragam jenis permainan lainnya.
Taman bermain anak itu diawasi oleh penjaga khusus, yang bertugas mendampingi anak-anak agar tidak saling berebutan, aman dan nyaman selama bermain. Sementara para orang tuanya menunggui di pinggir area. Bahkan disediakan ruang laktasi, ruang khusus bagi ibu-ibu agar nyaman ketika bayinya membutuhkan air Susu Ibu (ASI). Tidak elok kan, jika ibu-ibu sedang meneteki bayinya di tempat umum? Hehe... :) Gambaran di atas menujukkan bahwa ruang publik yang ramah sosial dan ramah anak telah diimplementasikan di Taman Kota Malang.
[caption caption="Beautiful Malang, Area Play Ground, Area Bermain Anak di Taman Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi"]
[caption caption="Ruang Laktasi, Ruang Khusus Ibu Menyusui di Taman Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi"]
Bagi anak-anak yang kehilangan tempat bermain sepeda karena lahan kota semakin sempit dan kurang aman, disediakan ruang bermain untuk itu. Tampak beberapa anak sedang bergembira bermain sepeda bersama teman-temannya di sebuah area. Asyik…! Setidaknya di hari libur akhir pekan, anak-anak dapat memanfaatkan secara bebas tempat bermain itu, sekaligus sebagai wahana sosialisasi. Ruang publik Taman Kota yang ramah, memungkinkan perkembangan fisik dan psikis anak-anak dapat tumbuh sesuai fitrahnya, bebas tanpa tekanan. Hal ini juga menandakan bahwa Taman Kota dapat didesain sedemikian rupa agar ramah anak, dan hal itu terjadi di taman Kota Malang.
[caption caption="Anak Anak Tampak Asyik Sedang Bermain Sepeda di Taman Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi"]
Meski hari Jumat, tampak banyak pengunjung di hari itu. Bahkan saya sempat bertemu dan meinta izin mengambil gambar pasangan wisatawaan asing asal Asia. Saya berjanji padanya, foto itu akan saya kirimkan sebagai kenang-kenangan untuknya. Setelah saya ambil gambarnya, dia memberikan alamat email pada saya. Dia tersenyum dan mengacungkan jempol jarinya, tanda setuju. Thank You!.
[caption caption="Wisawatan Asing Asal Asia Sedang Berkunjung ke Taman Kota Malang, Foto Tersebut Saya Jepret Atas Izinnya/Foto Dokumen Pribadi"]
[caption caption="Dua Wisatawan Asal Eropa Sedang Asyik Mendiskusikan Gambar Peta di Tengah Taman Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi"]
Sementara di area lain, tampak turis manca negara asal Eropa sedang mengitari taman, berhenti sebentar sambil membaca peta dan berdikusi dengan pasangannya. Gambaran ini menujukkan bahwa Taman Kota Malang menjadi ruang publik yang dapat diakses untuk semua, baik untuk warga lokal maupun warga asing.
Keramahan terhadap lingkungan flora dan fauna, terlihat dari rumput taman yang menghijau. Terasa sejuk saat kami memandangnya, sambil memperhatikan burung-burung merpati bebas bercengkerama asyik. Mereka sesekali tampak berterbangan, lalu bertengger kembali di sangkarnya yang cantik yang disebut “pagupon” berwarna merah maron.
[caption caption="Burung Merpati Tampak Asyik Bertengger di Pagupon di Tengah Taman Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi"]
Di salah satu pojok taman dengan latar pusat-pusat binis di seberang jalan, terdapat sebuah bilik hewan peliharaan jenis burung-burung lainnya. Tempat itu sekilas tidak terlihat sebagai kandang, karena kisi-kisi dindingnya ditanami tumbuhan menjalar yang biasa digunakan untuk pagar hidup. Terlihat cantik dari luar, karena ada tanaman hydroponic yang menempel indah di dindingnya. Di tempat itulah mereka mendapatkan background foto yang tepat untuk berselfie ria. Menjelang petang tiba, lampu-lampu cantik menyala, kian memperindah suasana Taman Kota. Nggak rugi deh, bayar pajak secara tertib kalau begini? Setuju kan… :)
[caption caption="Di Balik Taman Ini Adalah Kandang Burung. Banyak Pengunjung yang Memanfaatkan Lokasi Ini Untuk Berfoto Ria/Dokumen Pribadi"]
Keramahan lingkungan sekitar, juga ditunjukkan dari kearfian lokal dan keberadaan tempat-tempat peribadatan seputar Taman Alun-Alun Kota Malang. Tepat searah dengan jalur masuk yang menghubungkannya dengan lokasi tengah taman, tampak Masjid Jamik Kota Malang dengan menara-menaranya yang indah di seberang jalan Merdeka. Tak jauh dari alun-alun, berdiri pula Gereja GBIP Immanuel dan Gereja Katholik bergaya Ghotik. Tempat-tempat peribadatan itu saling bedekatan, menggambarkan kerukunan antar umat beragama yang sudah terbangun sejak lama.
Bahkan ketika umat Muslim menjalankan Shalat Idul Fitri 2015 lalu di masjid Jamik itu mencapai ribuan orang, para jama’ah perempuan membentangkan sajadah di halaman Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus, yang lokasinya hanya 100 meter dari lokasi masjid jamik [10]. Pengurus Gereja Paroki Hati Kudus Yesus, Yohanes Kristiawan sebagaimana diwartakan BBC Indonesia tersebut (17/07/2015), mengaku menyiapkan halaman gereja untuk ibadah shalat Ied sejak pukul 05.00 WIB. Pintu gerbang gereja dibuka lebar untuk umat muslim. Kejadian itu merupakan suatu pemandangan yang sangat menyejukkan hati.
[caption caption="Suasana Shalat Iedul Fitri di Halaman Gereja/Foto Dokumen BBC Indonesia.com"]
Di seberang jalan lainnya, terdapat ikon bangunan penyangga ekonomi daerah, seperti Kantor Pos, Mitra Plaza, Sarinah Plaza, Bank Indonesia, Gedung Digital Longue (DiLo) Telkom, dll. Untuk yang disebut terakhir, DiLo berfungsi sebagai tempat meeting atau diskusi. Lokasi DiLo berada di Jalan Basuki Rachmat, dekat jembatan Kayu Tangan, sekitar 100 m dari Alun Alun, Taman Kota Malang. DiLo dapat diakses secara cuma-cuma sebagai tempat pertemuan atau diskusi bagi sejumlah komunitas yang tumbuh subur di kota Malang.
Ada ruang kecil dengan satu meja bundar dikitrai 15 kursi di DiLo. Untuk ruang yang agak besar tersedia 30 kursi. Bangunannya bernuansa minimalis, sangat nyaman sebagai ruang diskusi. Bulan lalu (21/08/2015), saya bersama komunitas penulis Bloger Kompasianer Malang (Bolang), sempat menikmati layanan free DiLo. Hal ini menunjukkan, bahwa ruang publik yang ramah secara sosial dan ekonomi telah diimplementasikan di Kota ini.
[caption caption="Digital Longue (DiLo), Ruang Publik Bebas Akses Untuk Diskusi/Foto Dokumen Pribadi"]
Secara geo-sosio ekonomi, kota dengan ketinggian antara 440-667 meter di atas permukaan air laut dengan suhu rata-rata antara 180– 25,10 celcius itu, nyaman sebagai tempat studi, bisnis jasa, atau sekedar untuk rekreasi keluarga. Karena itu Malang Raya dikenal sebagai kota pendidikan, destinasi wisata dan industri jasa (tribina cita). Positioningnya yang strategis itu, menjadi daya pikat tersendiri bagi para tamu untuk menginap di Malang. Baik karena alasan kerja, studi, berbisnis, maupun sekedar berkunjung menikmati kesejukan garden city.
Implikasinya, di Kota Malang tumbuh subur sejumlah tempat penginapan seperti apartemen, hotel, villa, guest house, home stay dan sejenisnya. Untuk mendukung kota MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition) di masa depan, kiranya perlu disediakan ruang publik yang ramah terhadap para pecinta backpacker, pelancong yang suka menggendong tas besar untuk menghemat beaya perjalanan dan suka mengambil foto-foto di area publik yang menjadi ikon suatu kota.
Pesona Taman Kunang-Kunang dan Hutan Kota
Sepulang dari mengunjungi Taman Kota Malang (25/09/2015), perjalan ke rumah melewati jalan Jakarta. Saya sempat berhenti sejenak di Hutan Kota yang terletak di Jalan itu, tidak jauh dari rumah saya yang jaraknya hanya sekitar 2,5 km. Di tengah jalan kembar sepanjang jalan Jakarta, tumbuh pepohonan besar yang menghijau, itulah yang dinamakan Hutan Kota yang tetap dipertahankan selama ini. Pepohonan di area itu, selain berfungsi sebagai lahan resapan air dan kelestarian lingkungan, berfungsi pula sebagai penarik minat habitat burung-burung dan kunang-kunang untuk datang. Sebagai penanda, di hutan kota inilah dibangun “Taman Kunang Kunang”.
Saat menjelang petang tiba, saya melihat kerlap kerlip cahaya lampu nan indah. Lampu-lampu itu hidup mati secara bergantian, seolah bagaikan “kunang-kunang”. Namun jangan dibayangkan, bahwa di sana ada arboratorium atau sejenis rumah kaca yang melekat pada taman, berisi varietas tertentu yang langka.
[caption caption="Taman Kunang Kunang di Hutan Kota Jalan Jakarta Kota Malang/Foto Dokumen Pribadi"]
Taman itu hanya berbentuk monumen yang dihiasi dengan tanaman bunga serta lampu-lampu berwarna warni. Hal itu seolah mengingatkan kembali bahwa di Hutan Kota ini dahulu banyak kunang-kunang berdatangan. Para warga diminta untuk ikut merawatnya, agar mereka kembali lagi dan betah tinggal di sana. Sungguhpun hanya berupa penanda, “Taman Kunang Kunang” yang diadopsi dari Malaysia itu sangat inspiratif dan keren…!
Anak-Anak Belajar IPA Secara Visual di Taman Singha
Hari kedua saya menelusuri taman-taman yang ada di Kota Malang. Tepatnya pada Sabtu pagi (26/09/2016), saya sempatkan mengitari Taman Singha. Lokasinya cukup dekat dengan rumah saya, yang hanya sekitar 1 km. Infrastruktur bangunannya tampak belum 100% rampung. Namun, masyarakat sekitar sudah dapat mengakses “Taman Singha” secara free, alias gratis.
Taman Singha tak kalah mempesona dengan Alun-Alun Merdeka, Taman Kota Malang. Taman ini terletak di Jalan Mertojoyo Selatan, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Bila menghadap ke selatan dari lokasi taman, akan tampak masjid indah bercat putih sebagai latarnya. Jika menghadap ke barat, maka akan tampak gunung Panderman yang mempesona dari kejauhan. Sementara di sebelah utara, berderetan warung-warung makanan tertata rapi di luar pagar taman. Bila kita menghadap ke timur, akan terlihat pasar Dinoyo dengan deretan kios-kiosnya.
Pada pagi hari itu, saya sempat singgah di “gazebo” taman Singha. Mata saya tertuju pada anak-anak sekolah dasar yang sedang belajar di deretan gazebo-gazebo taman. Saya perhatikan perilaku mereka, tampak anak-anak sedang belajar tentang “Study Visual Panel Surya (Solar Sel)” dengan riang gembira. Para guru pendampingnya, memfasilitasi anak-anak mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) melalui media visual di alam terbuka.
[caption caption="Anak Anak Sedang Asyik Belajar di Gazebo di Taman Singha Malang/Foto Dok. Pribadi"]
Saya tertarik dengan cara belajar mereka. Sungguh kreatif dan inovatif, karena telah menerapkan langkah-langkah “Pembelajaran Saintifik” sebagaimana diperkenalkan dalam Kurikulum 2013. Sang guru sedang memperlihatkan sebuah gambar, anak-anak diberi kesempatan untuk mengamatinya. Sesaat kemudian, guru itu memberi pertanyaan. Lalu terjadilah dialog di antara mereka. Pembelajaran terus berlangsung. Saya perhatikan, proses pembelajarannya berlangsung menarik dan menyenangkan. Mereka memperlihatkan keakraban dan kehangatan. Anak-anak juga terlihat bergairah ketika belajar di alam terbuka itu.
[caption caption="Suasana Anak Anak Sedang Belajar di Gazebo Taman Singha Kota Malang/Foto Dok. Pribadi"]
Melihat fenomena menarik itu, saya mendekat dan minta izin kepada salah seorang guru pendampingnya untuk memotret kejadian ini, dan dia mengizinkannya.
Klik…klik… klik.
Bidikan kamera beberapa kali saya arahkan ke sekumpulan anak-anak yang sedang belajar dengan riang gembira di gazebo-gazebo itu. Lagi-lagi, taman kota bermanfaat secara sosial dan ramah anak. Saya yakin, setiap guru dan orang tua akan senang menyaksikan anak-anaknya belajar sungguh-sungguh dan riang gembira di area publik semacam ini. Belajar sambil bermain, tampak begitu menyenangkan bagi anak-anak seusia mereka. Tidak saja bagi anak-anak, saya melihat dan sempat mengambil gambar orang dewasa sedang asyik membaca buku di tengah taman ketika itu.
Di bagian ruang terbuka Taman Singha, saya menyaksikan ada sebuah komunitas sedang Camping di taman, mereka menyebutnya “Camping Tengah Kota”. Saat saya tanyakan ke salah satu peserta camping, siapa saja yang ikut dalam kegiatan ini Mas? Dia mengatakan: “Ya, macem-macem Mas, campuran”. Dia melanjutkan jawabannya: “ada tuh Bapak-Bapak sama anak-anaknya, ibu-ibu juga ada, tadi malam mereka juga berbaur di sini, tidur dalam tenda masing-masing…”.
[caption caption="Sebuah Komunitas Sedang Camping di Tengah Taman Singha Kota Malang/Foto Dok. Pribadi"]
Saat itu, tampak beragam kegiatan kreatif mereka lakukan. Positip bukan? Ternyata taman-taman kota mendapat sambutan hangat masyarakat dari semua kalangan. Kehadiran taman kota, mendorong lahirnya beragam kreativitas komunitas yang tumbuh subur di kota Malang. Hemat saya, hal ini merupakan bentuk lain dari keramahan sosial menuju terwujudnya kualitas hidup warga kota. Dinamika kehidupan komunitas itu menarik untuk diselami lebih lanjut.
Di sudut pojok barat daya Taman Singha Merjosari, terdapat wahana “Taman Lalu Lintas”. Namun sayang, saya tidak menyaksikan ada kegiatan pembelajaran tertib berlalu lintas di area itu. Sementara ada wahana yang sangat ditunggu-tunggu warga, yaitu wahana sepeda udara, yang jalurnya dibuat melayang di atas rel. Sayang, track di udara ini belum bisa dimanfaatkan, karena peralatan pendukungnya belum lengkap.
[caption caption="Pembangunan Track Sepeda udara di Taman Singha Kota Malang/Foto Dok. Pribadi"]
[caption caption="Track Sepeda Udara di Taman Singha Merjosari Kota Malang/Foto Dok. Pribadi"]
Di sudut lainnya, saya melihat arena permainan anak-anak. Tampak seorang anak hendak memanjat tangga permainan. Di sebelahnya terlihat ibu-ibu muda, mungkin dia sedang menemaninya. Sementara di salah satu sudut lainnya, tampak anak-anak sedang asyik bermain pasir. Di sisi kiri kanan wahana ini, tumbuh pepohonan menghijau dengan tinggi sekitar 1,5 – 2 meter. Jika pepohonan itu dapat hidup secara wajar, kiranya akan menjadi cikal bakal hutan kecil di tengah taman kota Singha.
[caption caption="Anak Anak Sedang Asyik Bermain Pasir di Taman Singha/Foto Dokumen Pribadi"]
Hampir setiap pagi saya lewat di depan Taman Singha untuk mengantarkan anak-anak pergi ke sekolah. Terlihat selalu saja ada orang-orang yang berjalan kaki atau berlari-lari kecil di Area jogging track taman. Tidak saja di pagi hari, setiap sore jogging track itu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Gambaran di atas menunjukkan bahwa Taman Singha bermanfaat secara sosial dan kualitas hidup yang lebih baik.
Layanan Macito dan Halokes, Bus Publik Ramah Sosial.
Prestasi Malang sebagai “Kota Layak Anak, antara lain karena didukung adanya layanan Bus Malang-City-Tour (Macito) yang dapat diakses secara cuma-cuma. Bus itu diperuntukkan bagi siapa saja, terutama para tamu dan anak-anak dari luar daerah yang ingin melihat dari dekat suasana sekeliling kota Malang. Mereka yang hendak menikmati keindahan sekeliling kota Malang dengan taman-tamannya yang indah, dapat memesan secara gratis ke Pemkot untuk menggunakan bus “Macito”. Bus itu selalu standy by di “Taman Rekreasi Kota” (Tarekot) yang letaknya persis berada di belakang Balai Kota Malang, menyatu dengan kantor Pemkot yang sehari-hari digunakan sebagai tempat kerja untuk melayani publik.
Pada saat saya jalan-jalan keliling kota (25/09/2015), kebetulan kendaraan saya berada tepat di belakang bus Macito yang sedang melewati jalan Ijen, boulevard-nya kota Malang. Bus itu berjalan sangat lambat, agar para penumpangnya dapat menikmati suasana sekeliling “Kota Kembang”. Bus Macito sengaja didesain sedemikian rupa, sehingga memungkinkan para penumpang dapat melihat suasana kota dengan leluasa dari dalam kendaraan. Saat Bus macito berjalan lambat di jalan Ijen dan hendak berbelok ke arah Jalan Semeru, ada waktu beberapa detik bagi saya untuk menjepretnya. Tak saya sia-siakan, Klik… berhasil momen itu saya abadikan dari dalam mobil.
[caption caption="Bus MalangTourCity (Macito) Cuma-Cuma Sedang Mengangkut Tamu Pengunjung di Jl. Ijen Berbelok ke Arah Jl. Semeru Kota Malang/Foto Dikumen Pribadi"]
Tak hanya itu, bagi anak-anak warga kota Malang yang kesulitan bepergian ke sekolah disediakan Bus “Halokes” secara gratis oleh Pemkot Malang. Bila dibaca terbalik, Bus Halokes terbaca Bus Sekolah. Itulah keunikan bahasa “walikan” khas Arek Malang (Arema) atau Ngalamers. Mengapa disediakan Bus Halokes?
Pasalnya, beberapa tahun lalu hingga tahun 2014, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menyebabkan ongkos berkendara makin mahal, termasuk ongkos naik angkutan kota (Angkot). Hukum permintaan dan penawaran bekerja. Jika beaya naik angkutan publik makin naik, sementara pendapatan tetap, maka masyarakat mencari substitusi. Naik sepeda motor merupakan salah satu pilihan, termasuk bagi anak-anak SMP ketika pergi ke sekolah. Sayangnya, pilihan ini ternyata tidak menyelesaikan masalah. Naik angkot ongkosnya mahal, naik sepeda motor dilang polisi. Apalagi, setelah banyak kejadian kecelakaan di jalan yang melibatkan anak-anak. Dilematis. Gimana nih?
Solusinya, Pemkot menyediakan Bus Halokes, terutama diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu. Bus itu beroperasi setiap hari di jam-jam masuk dan pulang sekolah. Bus Halokes dioperasikan sejak pukul 05.30-07.00 Wib untuk keberangkatan, dan pukul 13.00 – 07.00 Wib saat kepulangan anak sekolah, gratis lagi! Inilah salah satu bentuk keramahan sosial dan keramahan ekonomi kota terhadap warganya. Mengenai hal ini, pernah saya tulis dalam artikel berjudul, “Malang Cerdas Sediakan Bus Halokes, Gratis lagi!. Alhamdulillah, artikel itu mendapat apresiasi dari Perusahaan Gas Negara (PGN), Komaps.com dan Kompasiana.
Refleksi Akhir
Itulah gambaran pesona taman-taman di “Kota Kembang” dengan fasilitas pendukung ketersediaan ruang publik yang ramah anak. Kini menanati tantangan baru berupa beaya ekonomi dan non ekonomi pemeliharaan ruang-ruang publik yang baru saja dan akan terus dibangun. Untuk itu, sangat dibutuhkan dukungan dari semua lapisan masyarakat demi terciptanya pembangunan inklusif yang ramah untuk semua, tak terkecuali ramah kepada komunitas difabel. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H