Tentu ketika pada saat awal membantu mereka, banyak beaya yang harus dikeluarkan, terutama beaya penampungan (tempat tinggal) dan kebutuhan hidup sehari-hari. Mengingat kondisi para pengungsi yang sudah tak punya apa-apa lagi dan kebanyakan di antara mereka masih masih berusia muda, tentu tanpa pikir panjang mereka akan menerima pekerjaan apa saja asal diperbolehkan hidup di negeri yang dianggapnya lebih baik. Bukankah dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan SDM usia produktif akan membantu pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan berkontribusi atas pajak yang mereka bayarkan kepada negara di kemudian hari.
Baiklah kita lihat bagaimana jumlah penduduk dan kondisi Jerman. Menurut data World Bank, populasi Jerman pada tahun 2014 ada 80,8 million dengan GDP $3.8 trilion, GDP growh 1,6% dan inflasi 0,9%. Kiranya, secara demografi penduduk Jerman dapat dikelompokkan ke dalam Piramida Penduduk Tua (Constructive). Gambaran kependudukan seperti ini sepertinya dialami seperti oleh Jerman, Belgia, dan Swiss, bercirikan antara lain memiliki tingkat kelahiran penduduk yang lebih rendah dari pada tingkat kematiannya (bersifat konstruktif). Selain itu, pengelompokan penduduk terkonsentrasi pada kelompok usia dewasa dan pertumbuhan penduduk cenderung menurun (mendekati nol, bahkan bisa negatif).
Gambaran kependudukan negara-negara maju itu berbeda dengan bentuk Piramida Penduduk Muda (Expansive) seperti umumnya negara berkembang semisal Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India. Bahwa negara-negara berkembang tersebut dicirikan dengan angka kelahiran yang tinggi dan angka kematian yang rendah sehingga pertumbuhan penduduknya cepat, dan sebagian besar penduduknya berkategori usia muda (usia produktif).
Dalam konteks demikian, kiranya beralasan jika Kirkegaard berpandangan bahwa Jerman akan memiliki keuntungan secara ekonomi jika mau menerima para pengungsi tersebut. Bukankah era ini adalah era saling ketergantungan, kelebihan ketersediaan tenaga kerja di negeri lainnya, dapat menjadi faktor produksi bagi negara lainnya yang kekurangan stok tenaga kerja. Ini semacam interaksi antara supply dan demand di pasar tenaga kerja global yang saat ini sedang dilanda masalah.
Di belahan bumi lain, di Australia misalnya, pemilik Akun Kompasiana Tjiptadinata Effendi yang tinggal di negeri Kanguru itu, dalam artikelnya “Warga Australia Desak Pemerintahan Abbott”, melaporkan bahwa justru para warganya mendesak pemerintahnya untuk segera meningkatkan bantuan kemanusiaan, terutama setelah dipicu oleh tewasnya bocah berumur 3 tahun pengungsi Suriah, Aylan Kurdi di tepi pantai yang mengundang simpati dunia itu. Dalam artikel sebelumnya di Akun yang sama, Pak Effendi juga melaporkan bahwa para “Kaum Wanita Australia Turun Tangan Bantu Pengungsi” asal Suriah itu (Kompasiana, 5/9/2015).
Secara konseptual, mungkin Bank Dunia perlu melakukan kajian lebih lanjut, apakah pertumbuhan penduduk selalu berdampak buruk bagi pembangunan suatu negara dan bagaimana membangun peta konsep pembangunan dunia yang lebih adil. Bukankah unsur terpenting dari pembangunan itu sendiri adalah terletak pada aspek manusianya. Kini penduduk bumi sudah menjadi warga dunia, bukan hanya sekedar sebagai warga negara tertentu saja. Khusus kepada Jerman yang relatif lebih kaya, kiranya berkenan membukakan pintu untuk mereka, para pengungsi yang sangat membutuhkan pertolongan. Dan alhamdulillah, ternyata Jerman bersedia menerimanya sebagaimana dilaporkan dalam artikel berjudul "Ini Alasan Jerman Bersedia Menampung Pengungsi Suriah" (Kompas.com, 8/9/2015).
Sekarang kembali ke penguasa negeri-negeri mayoritas berpenduduk muslim di Timur Tengah sendiri dan kerjasama antar anggota organisasi Muslim dunia yang secara historis dan psikologis berdekatan dengan dunia Arab seperti negara-negara anggota-anggota OKI, OIC atau ISESCO. Mungkin mereka perlu mempertimbangkan kembali bagaimana membangun peta baru kerjasama internsional khususnya antar dunia Islam (dunia Arab) di Timur Tengah yang benar-benar menunjukkan diri sebagai bangsa yang dapat hidup saling bersinergi dengan negara-negara tetangganya. Tidak seperti belakangan ini, misalnya antar Arab Saudi dan Iran yang sering bersitegang.
Lebih dari itu, mereka dapat memerankan diri sebagai negara-negara yang rahmatan lil alamiin, sehingga para penduduknya tidak melarikan diri dari wilayahnya karena merasa dilindungi oleh negaranya dan negara-negara tetangganya. Sebagai salah satu warga dunia, melalui tulisan ini saya berharap mereka rela melepaskan perbedaan aliran, madzhab, kekuasaan, atau kepentingan ekonomi sesaat, untuk selanjutnya berkolaborasi saling membangun negeri yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, yang berarti negeri yang makmur dan penuh ampunan Tuhan. Mungkinkah hal itu bisa diwujudkan di suatu hari kelak?. Wallahu A’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H