Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

“Google Doodle”, “Anakmu Bukan Anakmu”dan Hari Anak Nasional

23 Juli 2015   23:43 Diperbarui: 24 Juli 2015   00:19 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena itu, bagi guru-guru di tingkat pendidikan usia dini (PAUD), saat ada anak-anak yang makan “permen” sambil berjalan di dalam kelas misalnya, tidak boleh dibentak, apalagi lebih dari itu, hanya karena sikap dia berbeda dengan anak-anak lainnya yang dianggap sebagai “anak baik” hanya karena “penurut”. Sepanjang aktivitas anak di dalam kelas tidak membahayakan diri dan anak-anak lainnya, maka biarkanlah dia bebas melakukan aktivitas sesuai kecenderungan dirinya. Bukankah dunia anak adalah dunia bermain, sehingga sekolah merupakan bagian penting dari sarana bermain bagi anak dan pembentukan karakter dirinya.

Demikian pula saat anak berada di rumah bersama orang tuanya. Anak-anak bukanlah foto kopi dirinya. Anak harimau memang berperilaku seperti binatang, karena naluri alamiahnya. Memang ada pameo dalam masyarakat Jawa: “kacang nurut lanjarane” (pohon kacang tumbuh mengikuti arah penyangganya), yang bermakna “anak mengikuti tingkah laku orang tuanya”. Namun hal itu bukan berarti anak harus dipaksa mengikuti kemauan orang tuanya. Sebab setiap anak memiliki kemauan tersendiri, yang terkadang kontras dengan kemauan orang tuanya. Sungguh pun begitu, orang tua berkewajiban mendidik yang terbaik buat anak-anaknya.

Saya pernah mendengar seorang teman yang baru saja pulang dari studi S2 di Australia lebih dari sepuluh tahun lalu. Dia menceritakan pengalamannya tinggal serumah dengan induk semangnya (kos) di sana. Waktu itu, anak induk semangnya “ngotot” ingin bekerja di Hongkong, tidak mau melanjutkan studi selepas SMA seperti saran orang tuanya. Apa boleh buat, orang tua itu akhirnya rela melepaskan kepergian anaknya, dan si anak akhirnya nekat berangkat. Namun apa lacur, tidak beberapa lama kemudian anaknya pulang kembali ke orang tuanya dan mengatakan: “mengapa engkau tidak melarang (memaksa) saya untuk tidak berangkat waktu itu, kalau tahu aku akhirnya begini?”.  

Kasus di atas memang menjadi persoalan tersendiri yang berbeda. Mungkin waktu itu si anak belum memiliki pertimbangan yang matang, sehingga merasa kecewa tidak mau mengikuti saran orang tuanya. Dalam kasus ini, orang tua tidak boleh memaksa kehendak anak, namun pada akhirnya si anak dapat belajar dari kehidupan nyata. Itulah pembelajaran langsung melalui alam, anak ternyata dapat belajar dari pengalamannya sendiri menghadapi kerasnya kehidupan.

Bait selanjutnya, Gibran menegaskan pentingnya kasih sayang dan cinta orang tua kepada setiap anak-anaknya. Namun harus diingat, anak-anak akan menghadapi hari esok yang berbeda dengan zaman yang akan dihadapi oleh orang tuanya. Seperti ungkapan atau prinsip dalam pendidikan Islam: “Allimu auladakum, fainnahum makhliquna lizamanin ghairi zamanikum” yang artinya kurang lebih: “didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk zamannya (zaman anak di masa depan), bukan untuk zamanmu sekarang”. Bahkan seperti kata Gibran, orang tua pun tidak akan mengunjungi jiwa-jiwa anaknya yang tinggal di rumah hari esok, meskipun dalam mimpi. Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.

Gibran mengibaratkan sang anak seperti anak busur panah yang akan melesat jauh ke masa depan. Dia mengatakan "engkau adalah busur panah, yang darinya anak-anakmu akan meluncur ke depan". "Sang pemanah menarikmu dengan keagungan-Nya agar anak panah bisa melesat jauh menuju keabadian". Karena itu, Gibran menyarankan kepada setiap orang tua/pendidik untuk menjadikan setiap pemberian pembelajaran kepada mereka dilakukan dengan penuh kegembiraan atas dasar cinta kasih. Gibran menyatakan: “jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan. Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan”.

Sebagai masyarakat pengguna jasa pendidikan, saya menyadari, bahwa mendidik anak-anak memang bukanlah pekerjaan mudah, apalagi mendidik di zaman teknologi dan informasi canggih seperti saat ini. Saya mendengar cerita nyata (maaf namanya sengaja tidak saya sebutkan). Ada seorang murid mengunggah foto gurunya disertai kata-kata sindirian sinis melalui facebook saat pembelajaran berlangsung di dalam kelas (tentu gurunya tidak tahu saat itu), karena dia tidak suka terhadap sikap gurunya itu. Setelah diketahui -karena diberitahu oleh teman guru lain saat mengecek facebook-nya- keesokan harinya dilakukan razia bagi para murid pembawa HP di dalam kelas. Nah tuh… betapa riskan kan? Itulah sebagian tantangan dalam dunia pendidikan di zaman modern seperti saat ini.

Walhasil, pepatah lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” semoga tidak berubah menjadi lebih ironi lagi: “guru kencing berdiri, murid mengencingi guru”, karena si murid merasa diperlakukan secara tidak manusiawi. Beberapa kasus pelecehan seksual dan tindak kekerasan terhadap siswa sebagaimana dipublikasikan oleh sejumlah media, merupakan pelajaran berharga bagaimana anak harus diperlakukan secara adil dan manusiawi.

[caption caption="Ilustrasi/Children's Day"]

[/caption]

Tepat kiranya, jika peringatan Hari Anak Nasional 2015 mengusung tema “Anak Indonesia yang Sehat, Kreatif dan Berakhlak Mulia”. Semoga anak-anak Indonesia sebagai aset bangsa memperoleh perlakuan yang layak, baik dalam lingkungan orang tua di rumah, sekolah, masyarakat maupun oleh institusi negara. Selamat Hari Anak Nasional 2015, semoga hari-harimu selalu riang gembira seperti diekspresikan melalui Google Doodle hari ini: “anak-anak sedang main “plorotan”!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun