Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggelar Sajadah Panjang: Halal Bi Halal Bersama Pak Din Syamsuddin

23 Juli 2015   18:17 Diperbarui: 23 Juli 2015   18:59 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Halaman Gedung Sport Center Kampus UIN Malang/Dok. Pribadi (20/5/2015)"][/caption]

Ilustrasi/Halaman Gedung Sport Center Kampus UIN Malang/Dok. Pribadi (20/5/2015)

Din Syamsuddin dalam acara Halal bi Halal di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang kemarin siang (22/7/2015), menegaskan bahwa umat Islam yang menjalankan puasa Ramadhan, semestinya tidak hanya disiplin ketika berbuka puasa (menyegerakan berbuka) dan berhenti sahur ketika imsak tiba’, namun juga disiplin dalam menjelmakan nilai-nilai shalat di luar shalat. Ibadah bukan berarti berakhir setelah ucapan “salam” itu. Maksudnya, usai mengucapkan “salam” sebagai pertanda shalat berakhir, bukan berarti shalat itu berakhir begitu saja, tidak ada dampaknya di luar shalat. Beliau mengajak umat Islam terus menggelar “sajadah panjang”, mengimplementasikan nilai-nilai shalat di luar shalat sepanjang hidup. Pasca menjalankan ibadah shalat wajib dan shalat tarawih selepas Ramadhan, pernyataan “salam” dan nilai-nilai shalat itu perlu dijelmakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, kita tidak boleh “lalai” baik saat menjalankan shalat maupun “lalai” di luar shalat.

[caption caption="Ilustrasi/Ketua Umum MUI, Din Syamsuddin diterima Paus Fransiscus, setelah acara The 3rd Catholic-Muslim Forum di Vatikan, Rabu, 12/11/2014 (Kompas.com)"]

[/caption]

Itulah sebagian ceramah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di gedung Sport Center milik UIN Malang, kampus yang bercita-cita mewujudkan dirinya sebagai “center of excellence and Islamic civilization”. Din Syamsuddin hadir sebagai penceramah tunggal dalam Halal bi Halal sivitas akademika kampus itu. Tema acara itu seputar hikmah Idul Fitri dan implementasinya dalam kehidupan berbangsa yang dikemas dalam acara halal bi halal. Kegiatan itu berlangsung meriah dan khidmah, dimulai sekitar jam 09.45 wib hingga 11.55 Wib. Usai acara, dilanjutkan dengan saling bersalaman dan bermaaf-maafan serta makan bersama. Di hadapan sekitar 800-an peserta halal bi halal, Ketua Umum Majelis MUI itu menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian diri) dan taqwiyatun nafs (penguatan diri) selama dan pasca Ramadhan. Saya ingin sharing isi ringkas ceramah beliau, yang saya tulis dalam artikel ini dengan harapan dapat berbagi wawasan. Kebetulan, saya merupakan salah satu peserta yang hadir dalam acara tersebut.

Pernyataan itu semakin menemukan relevansinya, karena baru-baru ini umat Islam kembali diuji kesabarannya saat menghadapi peristiwa “Tolikara” di Papua, di saat gema takbir dikumandangkan dan Idul Fitri 1436 H/2015 M dirayakan. Menurut Ketua Umum MUI itu, umat Islam selama Ramadhan diajarkan untuk “mengendalikan diri”, dan berkenan “memberikan maaf” kepada orang yang bersalah. Terhadap kasus “Tolikara”, komunitas muslim diuji kembali untuk mampu “mengendalikan diri” (wal kaadzimiinal ghaidha) dan rela “memaafkan sesamanya” (wal afiina anin naas). Sikap itu terdapat dalam firman Allah (Q.S. Ali Imran: 133-134). Namun terhadap orang-orang yang bertindak salah dalam kasus itu, tetap harus diproses secara adil dan diserahkan ke penegak hukum, demikian beliau menegaskan.

Umat Islam di Indonesia secara statitistik, jumlahnya adalah mayoritas. Namun menurut Pak Din Syamsuddin, umat Islam Indonesia harus menyingkirkan stereotype sebagai “kelompok mayoritas, namun bermental minoritas”, seperti pandangan seorang pengamat luar. Atau pandangan sejenis orang luar yang mengatakan “creative minority, with in numerical majority”, demikian kilahnya. Masih menurut Pak Din, kalau umat Islam ingin maju, baik dalam masalah keduniawian maupun agama, maka jalur yang tepat adalah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi umat Islam itu menjadi hal yang sangat penting. Baginya, pernyataan ini menjadi semakin relevan untuk dikembangkan, mengingat sejarah masuknya Islam ke Nusantara melalui jalur perdagangan, melalui para saudagar-saudagar Muslim. Dulu ada sentra-sentra ekonomi umat. Kekuatan masyarakat ada di tangan sendiri. Umat Islam akan kuat selama memiliki kuasa ekonomi, termasuk kuasa politik, demikian dia berargumen. Karena itu, menurut Pak Din, Kualitas sumber daya umat harus ditingkatkan.

Pak Din menunjukkan ada dua dimensi dalam puasa Ramadhan, yaitu “penyucian diri” (tazkiyatun nafs) dan “penguatan diri” atau “self empowerment” (taqwiyatun nafs). Menurutnya, manusia itu dihadapkan pada ambivalensi diri, yaitu kecenderungan diantara dua perilaku, yaitu positif atau negatif. Untuk membasuh perilaku negatif berupa timbunan titik-titik noda atau dosa, maka bagi umat Islam yang menjalankan puasa selama bulan Ramadhan senantiasa memperbanyak do’a yang isinya mengandung permohonan ampunan Tuhan seperti: “Allahumma innaka afuwwun karim, tuhibbul afwa fa’fu anna”. Demikian juga sering membaca do’a yang isinya minta keridhan Tuhan dan syurganya serta dijauhkan dari siksaan api neraka, seperti do’a: “Nas’aaluka ridhaka wal jannah, wanaudzu bika min sakhatika wan naar”.

Sementara untuk dimensi “penguatan diri”, diharapkan manusia dapat mengembangkan potensi dirinya yang melekat pada setiap individu. Kembali fitrah dalam kalimat Idul Fitri, dapat bermakna “kembali suci” (asal kejadian manusia), juga bisa bermakna “potensi diri” (fitrah bermakna potensi diri). Nah potensi diri yang mengarahkan manusia untuk cenderung berperilaku positif yang terdapat dalam diri manusia itulah yang perlu dikembangkan.

Manusia sejak lahir dibekali oleh Allah dengan banyak potensi, dan potensi yang positif itu perlu terus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang barangkali dimaksudkan oleh Pak Din, dengan kalimat self empowerment di atas. Dengan demikian, kecenderungan diri yang negatif (seperti nafsu amarah dan semcamnya) perlu dikendalikan agar tidak sampai merusak diri dan kehidupan orang lain, sementara nafsu yang positif (seperti memaafkan dan lain sebagainya) perlu terus dipupuk. Dalam konteks ini, umat Islam harus meningkatkan potensi dirinya, sehingga Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, menurut Pak Din, dapat meningkatkan “economic competitiveness” di dunia yang lebih luas. Seperti yang ia tegaskan, salah satu jalur yang dapat ditempuh ialah melalui jalur pendidikan tinggi (higher education) yang berkualitas.

Ramadhan telah berlalu. Oleh karena itu, “mari kita lanjutkan selaturrakhim, baik silaturrakhim secara fisik maupun maupun selaturrakhim fikri, yaitu silaturrakhim dalam arti sharing pemikiran atau ilmu pengetahuan. Itulah semangat Idul Fitri kali ini, demikian Pak Din Syamsuddin mengajak kita di akhir ceramahnya. Umat Islam harus tetap menggelar “sajadah panjang” untuk mengejawantahkan nilai-nilai shalat dan nilai-nilai puasa dalam kehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun