Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Thank You Allah, Mudik 2015 Dibalik Efek Sisa Gunung Raung

21 Juli 2015   15:15 Diperbarui: 21 Juli 2015   15:27 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami patut bersyukur, malam hari sekitar jam 23.00 Wib kami akhirnya sampai di tempat tujuan dengan selamat. Keesokan harinya, subuh kami sudah bangun dan siap-siap bergegas untuk pergi mengikuti shalat Idul Fitri. Suasana pagi hari itu masih berkabut. Saya kira kabut itu embun pagi, tapi kok tampak  tidak seperti biasanya. Ternyata, embun pagi itu bercampur dengan debu dapak gunung Raung yang menghebohkan itu. Meski sejak awal Juli lalu Gunung Raung mengeluarkan benda-benda material dari lubang perutnya, dampaknya hingga kini masih terasa sejauh 45 km ke arah selatan Jember. Memang, dampak terbesar debu Gunung Raung paling terasa di sekitar Bondowoso-Banyuwangi hingga Denpasar Bali. Namun sekitar 45 km ke arah selatan Jember, dampak debu lembut bak pasir hitam itu masih bisa kami rasakan ketika tiba di tujuan mudik, Jember bagian selatan. Menurut penuturan seorang warga di sana, meski halaman lantai rumah sudah disapu berkali-kali, tapi lantai itu masih selalu berdebu. Ya, itu dampak sisa-sisa keluaran material gunung Raung.

Pagi itu, kami sudah tiba di masjid relatif lebih awal. Sayang, pada momen-momen perjalanan sebelumnya kami tidak sempat memotret, kecuali pada pagi harinya saat menuju lokasi shalat Idul Fitri. Pagi itu kami sempat potret sana sini untuk menggambarkan situasi. Ada masjid al-Ihlas dan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) sewaktu kecil dulu saya sekolah di sana. Saat mendengarkan khutbah shalat Idul Fitri di masjid itu, ada pesan-pesan moral sang khatib yang sangat berharga. Beliau antara lain mengingatkan pentingnya ajaran silaturrahim dan saling meminta maaf di antara sesamanya. Jika dosa kepada Tuhannya bisa diampuni melalui puasa Ramadhan dengan penuh iman, namun dosa kepada sesama manusia harus dilakukan dengan cara meminta maaf kepada sesamanya.

Masjid Al-Ihlas, seaktu kecil dulu saya sering di sini. Kini Tmpak Makin Cantik/Foto Dok. Pribadi

Di MI Miftahul Huda inilah waktu saya kecil dahulu bersekolah. Kangen masa-masa sekolah yg menyenangkan itu/Foto Dok Pribadi

Untuk memperkuat pesan moral itu, Sang khatib lalu memberikan kisah inspiratif. Alkisah, diceritakan ada seorang tuan bernama Syekh Ali bin Husein meminta kepada budaknya untuk mencarikan air wudlu. Namun naas, sungguh tak disangka, saat bak air hendak dituangkan ke tuannya itu jatuh tepat mengenai kepalanya. Saking takutnya, sang budak itu mengatakan sesuatu yang bersumber dari petikan firman Allah dalam al-Qur’an: Maaf tuanku, “…wa al kaadzimina al-ghaidha”… yang artinya “dan orang-orang yang menahan amarahnya”.  Maksudnya kira-kira dia ingin mengingatkan tuannya, jangan marahi aku Tuan, karena Allah memerintahkan kita untuk senantiasa menahan amarah.

Di Masjid Inilah Sang Khatib Memberikan Pesan-pesan Moral. Sesudah Shlat Ied dilanjutkan dengan Saling Bermaaf-maafan/Foto Dok. Pribadi/18/7/2015

Setelah mendengar ayat itu, Tuannya lalu berkata: “Baiklah, saya tahan amarahku”. Kemudian si budak berkata lagi: “wa al-‘afiina anin al-annaas” (dan memaafkan kesalahan orang lain). Mendengarkan ayat ini, Tuannya lalu membalas: “wahai budakku, aku telah memaafkanmu”. Tak cukup sampai di situ. Sang budak berkata lagi: “wa Allahu yuhibbu al-muhsiniin” (Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan). Lalu sang Tuan Ali bin Husein menjawab dengan tegas: “wahai budakku, mulai hari ini engkau aku bebaskan, mulai sekarang engkau menjadi orang yang merdeka”. Demikian penuturan kisah dari sang Khatib. Walhasil, bukan kemarahan bertubi-tubi yang ia terima dari tuannya, tetapi justru pembebasan dirinya dari statusnya sebagai seorang budak (pada zaman itu, budak dianggap sebagai aset tenaga kerja yang dimiliki oleh tuannya).

Itulah hikmah pentingnya menahan amarah dan memberi maaf kepada orang yang bersalah, bahkan rela berbuat ihsan (berbuat yang terbaik, the best, bukan sekedar good) dengan membebaskan budak yang dalam penguasaannya. Pesan moral ini, setelah saya cari ternyata terdapat dalam firman Tuhan yang artinya sebagai berikut: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali-Imran: 133-134).

Itulah sepenggal kisah mudik kami di malam takbiran lalu hingga mengikuti shalat Idul Fitri. Setelah itu, kami sekeluarga berkunjung ke rumah sanak keluarga untuk bersilaturrakhrim dan mohon maaf, sekaligus melepas rindu dengan mereka. Setelah berjumpa dengan sanak famili dan handai taulan, sungguh terasa nyess… di hati. Ada suasana damai dan cinta kasih.

Foto keluarga bareng Pakde Bude Saat Mudik 2015/Foto Dok. Pribadi

Sebagian Kue-kue ala Pedesaan Saat Lebaran/Foto. Dok. Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun