Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harganas 2015, Keluarga Bermutu, dan Kemakmuran Bangsa

12 Juli 2015   18:19 Diperbarui: 12 Juli 2015   18:19 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Harganas 2015"][/caption]Ilustrasi/Logo Harganas 2015/tangerangselatankota.go.id

Sekitar tiga bulan yang lalu, saya didatangi oleh petugas dari kelurahan yang juga pengurus Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang melakukan pendataan demografi di wilayah kami. Seingat saya, petugas itu meminta kami mengisi data seputar jumlah keluarga, status pendidikan, keikutsertaan Keluarga Berencana (KB), Posyandu, Air Susu Ibu (ASI), waktu luang, dan semacamnya. Tak terkecuali, ditanyakan pula mengenai kelayakan rumah tinggal (luas bangunan, kondisi atap rumah, lantai, WC, dsb), keterlibatan pada kelompok sosial yang diikuti (RT/RW, PKK, atau organisasi sosial lainnya), jenis pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh, serta jaminan kesehatan yang dimiliki. Banyak kolom yang harus diisi, namun kira-kira data itu menggali seputar aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan sehingga dapat diketahui kondisi tingkat kesejahteraan (happiness) setiap keluarga.

Mengapa kesejahteraan (happiness) keluarga itu penting? Karena di dalam keluarga yang sejahtera, kekokohan sebuah struktur sosial besar yang disebut negara-bangsa (nation-state) itu diletakkan. Kemajuan pembangunan ekonomi harus ditopang oleh keluarga bermutu yang sekaligus berperan sebagai perekat antar komponen bangsa yang beragam. Manakala setiap keluarga itu sejahtera lahir dan batin, maka sejahteralah negara-bangsa itu. Negara bangsa bukan sekedar berisi para penduduk yang mendiami gugusan pulau-pulau dengan segala kekayaan sumber daya alamnya, tetapi sebuah nation-state yang ditopang oleh keluarga yang bermutu dan produktif sekaligus berperan sebagai perekat sosial (social glue) bagi bangsanya.

Kita patut bersyukur, karena Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta ini tidak sampai menjadi negara-bangsa gagal, akibat tidak mampu mengelola jumlah penduduk yang besar. Indonesia pernah mendapat apresiasi dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam aspek “Kependudukan” dan “Keluarga Berencana (KB)”, karena negeri berpenduduk besar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat ini mampu mengendalikan angka kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk yang mengesankan. Gaung keberhasilan itu masih terasa hingga kini di dunia internasional. Misalnya, dalam forum "Global Summit of Parliamentarians ahead of the G8 and G20 Summits," di gedung Parlemen Inggris, London, pada 9-10 Mei 2013 lalu, keberhasilan program KB di Indonesia juga mendapat pengakuan dari anggota parlemen negara-negara kelompok G8 dan G20 (antaranews.com, 12/5/2013).

Tepat kiranya, jika peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXII pada 1 Agustus 2015 oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dipusatkan di Tangerang Selatan dengan mengambil motto “Keluarga Berkarakter, Indonesia Sejahtera”. Dalam konteks ini, Kompasiana bersama BKKBN mengadakan Blog Competition seputar Harganas 2015 dan peran penting keluarga dalam membangun bangsa dengan tema “Membangun Keluarga, Membangun Bangsa sebagai Wujud Revolusi Mental”.

Di sinilah pentingnya pembangunan keluarga kecil yang berkarakter. Tak dapat disangkal, meskipun Singapura memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang kecil, tetapi negaranya sejahtera dan makmur. Mengapa? Karena negeri berlogo “singa laut” itu memiliki modal penduduk atau sumber daya manusia (SDM) yang bermutu. Mari kita perhatikan, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Singapura berada di urutan ke-9, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang hanya berada di urutan ke-108 dari 287 negara menurut Laporan UNDP 2014. IPM Indonesia juga masih jauh berada di bawah Brunei (30), Malaysia (62), dan Thailand (89), jika diukur dari kriteria “hidup panjang yang sehat” (kesehatan), “akses terhadap ilmu pengetahuan” (pendidikan), dan “standar kehidupan yang layak” (ekonomi).

Bagi negara yang ditopang oleh SDM yang lebih baik, meskipun tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, negeri Singapura berlambang “Merlion” itu berkembang menjadi negara sejahtera dan makmur. Data statistik menunjukkan, penduduk Singapura berjumlah 5,47 juta jiwa pada Juni 2015. Dari jumlah total itu, sebanyak 3,62 juta terserap dalam pasar tenaga kerja (tumbuh 2,9%) sampai dengan Maret 2015, demikian menurut data yang ditunjukkan Department of Statistic Singapore oleh Ministry of Manpower ketika melaporkan situasi ketenagakerjaan (employment situation), pada kuartal I-2015.

Bagi Singapura yang lebih makmur namun jumlah penduduknya sedikit, negeri itu justeru mendorong warganya untuk memiliki lebih banyak anak, sementara Indonesia mengontrolnya melalui program Keluarga Berencana (KB) dengan slogan “dua anak [berkualitas] cukup”, “Laki-laki atau Perempuan Sama Saja”. Beda masalah pembangunan yang dihadapi, beda solusi yang diambil. Tak pelak, negara-negara berpenduduk besar melakukan kebijakan pengontrolan jumlah kelahiran, seperti China, India, Pakistan, Brazil, dan lain sebagainya.

Apa Alasan Indonesia Mendorong Keluarga Berencana (KB)?

Tepatkah jawaban atas pertanyaan itu, jika ragam masalah kependudukan dan sosial-ekonomi karena dipicu oleh ledakan penduduk bumi, sementara buminya tetap? Dengan kata lain, masa depan umat manusia akan kacau karena jumlah penduduk bumi berkembang pesat sementara buminya tidak bertambah. Secara faktual, sesungguhnya prediksi itu belum terbukti, apalagi manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya lebih sependapat jika alasannya dikaitkan dengan mutu manusianya, bukan jumlah manusianya.

Prediksi yang bernada pesimistis itu, jika ditelusuri ke belakang merujuk pada teori Robert Malthus (1776-1834) dalam karyanya “Essay on the Principles of Population as it effect the Future Improvement of Society” (1978). Menurut Malthus pada intinya manusia berkembang jauh lebih cepat dibandingkan dengan produksi hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ia pesimis terhadap masa depan manusia, karena Malthus melihat kenyataan bahwa tanah sebagai salah satu faktor produksi utama jumlahnya tetap, sementara jumlah manusia meningkat jauh lebih cepat. Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur (geometric progression = 2,4,8,16,32 dst), sedangkan pertumbuhan produksi makanan hanya meningkat sesuai dengan deret hitung (arithmetic progression = 2,4,6,8, dst). Karena itu Malthus meramalkan bahwa suatu saat akan terjadi bencana yang akan menimpa umat manusia. Berbagai masalah akan muncul dipicu oleh tekanan penduduk tersebut, sehingga kelangsungan standar hidup manusia terancam. Uniknya, masih menurut Malthus, orang sering menyalahkan keadaan dan lingkungan, tidak mau menyalahkan dirinya sendiri (Deliarnov, 2003: 48-49). Maksudnya, bahwa penyebab ragam masalah itu bukan karena faktor di luar manusia, tetapi disebabkan oleh faktor manusianya itu sendiri, yaitu ledakan penduduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun