Kota Malang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, potensial menjadi contoh kota cerdas (ramah); baik ramah secara ekonomi, sosial, dan lingkungan (ekologi). Kota Malang menonjol sebagai kota pendidikan dan kota transit wisata, tetapi lemah dalam masalah trasportasi publik, masih ada kemacetan kota.
Jalur strategis yang menghubungkan Malang Raya - Surabaya belum dikelola secara optimal. Salah satu tantangan eksternal lainnya adalah terkandala dampak luapan lumpur Lapindo, sehingga jalur ini tidak selancar sebelumnya. Selain itu, kota ini berbatasan dengan wilayah kabupaten Malang dan Batu, pengelolaannya harus melibatkan kerjasama para pihak, di bawah koordinasi Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Masalah pembagian kewenangan ini memang menjadi salah satu satu persoalan pelik di era Otonomi Daerah, tetapi bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Maka sebagai perwujudan partisipasi warga dalam mewujudkan “Malang Kota Cerdas nan Ramah” di masa depan, saya mengusulkan beberapa hal yang perlu dibenahi disertai solusinya sebagai berikut:
Pertama: Benahi Infrastruktur yang Memiliki Multiplier Effect
Pembangunan infrastruktur strategis, akan memiliki efek pengganda dalam perekonomian daerah. Pembangunan jalan lingkar kota dan jalan raya penghubung Malang-Surabaya tergolong strategis . Bandingkan dengan Madiun atau Jember, di sana sudah ada jalan lingkar. Selevel kota Malang, mungkin kota ini merupakan satu-satunya kota di Jawa Timur yang tidak memiliki jalan lingkar, yaitu jalan alternatif pinggiran kota yang menghubungkan daerah luar menuju kota Malang dengan lancar. Ini mungkin penyebab utama kemacetan. Ironis memang, tapi itulah kenyataan.
Secara makro ekonomi, jika infrastruktur seperti jalan strategis yang memungkinkan arus orang, barang dan jasa tidak mengalami hambatan berarti, maka akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tentu masyarakat akan menyesuaikan dirinya untuk mendapatkan manfaatkan ekonomi atas kelancaran ini. Pemkot tidak perlu sibuk memerintah warganya untuk berbisnis produk ini atau produk itu. Juga tidak perlu hawatir dengan mengatakan: “kita harus waspada, karena per 1 Januari 2016 kita akan menghadapi era persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”.
Para pebisnis hotel misalnya, tentu dengan sendirinya akan meningkatkan kinerja pelayanannya, tanpa harus diperintah oleh pihak lain. Kalau tidak, niscaya mereka akan merugi sendiri. Di sinilah peran Pemkot sebagai regulator dan fasilitator sangat diperlukan untuk itu. Jika pelaku bisnis benar-benar merasakan manfaat pembangunan infrastruktur, tentu sangat pantas mereka dikenai pajak beserta sanksinya, jika mereka tidak patuh. Ini baru yang dinamakan “keramahan” itu, yaitu keramahan yang adil secara ekonomi. Lalu pelaku bisnis dan warga kota mengatakan: “ini hasilku, ini pajakku, aku mencintai kotaku yang cerdas dan ramah”. Sementara Pemkot menjawab: “Jalan ini dibangun dari dana pajak Anda, maka bayarlah pajak secara tertib”. Wow! Kalau demikian, selain cerdas, ramah banget tuh kotaku!
Melalui “pendekatan kemitraan dan pembeayaan multi years, kiranya Pemkot masih memungkinkan mewujudkan infrastruktur strategis itu. Mungkin investor masih ragu, karena belum ada “jaminan kepastian” dari pemerintah. Pemerintah sebagai regulator, harus memberikan jaminan itu, misalnya ada kepastian bahwa di wilayah itu pasti akan dibangun sesuai Rencana Tata Kota. Jika ada jaminan kepastian, pelaku bisnis dan masyarakat tentu akan berani “berekspektasi” dan melakukan “pilihan rasional”, apa yang mesti dilakukan agar para pelaku tersebut memperoleh manfaat secara ekonomi di masa depan. Ini alamiah, begitulah sifat dasar manusia yang disebut sebagai “homo economicus”.
Bus "Halokes", Bus Gratis Ramah Pendidikan
Sejalan dengan agenda pembangunan infrastruktur jalan lingkar, kiranya tatakelola transportasi dalam kota juga harus dibenahi, terutama kemacetan. Kota Malang mungkin satu-satunya kota yang memiliki bus sekolah gratis; cukup membantu. Selain kondisinya masih baru, fasilitas bus juga cukup bagus. Di kaca bus bagian depan ada tulisan mencolok "BUS HALOKES" ("Halokes" bahasa dialek has "Arek Malang", bila dibaca terbalik berarti "Sekolah").
Anak-anak seusia SD-SMP dilarang menyetir sepeda motor sendiri, maka pengadaan "Bus Halokes" merupakan alternatif yang tepat. Sayangnya, selain jumlahnya masih sedikit, tempat keberangkatan, pemberhentian dan kepulangan "Bus Halokes" juga masih terbatas. Hal ini merupakan faktor mengapa program itu belum mampu menjawab semua kebutuhan transportasi anak-anak sekolah. Ke depan, harus diperbanyak halte "Bus Halokes" disertai slogan edukatif dan menarik, misalnya: "Ayo Ker, Masuk Halokes!".
Kedua: Optimalisasi Retribusi Parkir, Pajak Online dan Penertiban PKL