Mohon tunggu...
M.Taufik Budi Wijaya
M.Taufik Budi Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

"Satu langkah kecil seorang manusia, satu langkah besar bagi kemanusiaan"-Neil Armstrong. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soedarpo Sastrosatomo: Diplomat di Balik Layar Kemerdekaan Republik

7 Juni 2010   04:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_160618" align="alignleft" width="232" caption="Soedarpo Sastrosatomo (Foto: dari halaman muka buku: "Bertumbuh Melawan Arus", Pusdok Guntur 49)"][/caption]

Jarum jam menunjukan angka 10, ketika saya bertemu Mienarsih Soedarpo di sebuah rumah di kawasan Pegangsaan Barat, Menteng, Jakarta Pusat, medio Juli, dua tahun silam.Perempuan usia 84 tahun itu berjalan pelan, diikuti sekretaris pribadinya. Buku setebal 400 halaman yang dipegang sekretarisnya, lantas diberikan kepada saya. Pada sampul, terpampang wajah laki-laki difoto dari arah samping. Judulnya 'Bertumbuh Melawan Arus: Soedarpo Sastrosatomo, Suatu Biografi 1920-2001', ditulis oleh wartawan senior Rosihan Anwar.

Mata Mienarsih berkaca-kaca, saat berkisah tentang akhir hayat Soedarpo Sastrosatomo pada 22 Oktober 2007. Sang suami meninggal di usia 84 tahun. “Memang bapak dari dulu tak pernah mementingkan diri sendiri, tetapi betul untuk mementingkan kepentingan republik. Dia ingin kita bisa berdiri dan pandai mengelola sendiri, (menjadi) pribumi. Pada akhir hidupnya, betul betul dia menginsyafi, bahwa (kemerdekaan) ini berkat dan anugerah tuhan. Saya kira gak ada itu (permintaan mendapat gelar pahlawan). Dia punya prinsip, dia orang sederhana. Tak pernah minta apa-apa,” kenang Mienarsih.

Mienarsih bertemu Soedarpo setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan. Keduanya bekerja di Kementerian Penerangan dalam Kabinet Sjahrir. ”Kementrian penerangan waktu itu di Jalan Cilacap Jakarta . Tugasnya untuk membantu penerbitan majalah yang bahasa belandanya “Het Inzicht” atau pandangan ke dalam. Jadi saya sebagai sekretaris yang dipimpin Asmaun. Untuk pertama kali saya berhubungan dengan Sudarpo. Sebetulmya saya sudah mendengar Soedarpo dan Soedjatmoko saat mereka menolak digunduli pada zaman Jepang ” jelas Mienarsih.

Kesan Rosihan Anwar

Wartawan senior Rosihan Anwar adalah salah satu karib Soedarpo. Saya berbincang dengan Rosihan di rumahnya yang asri di bilangan Menteng, di suatu petang. Wartawan tiga zaman itu berkenalan dengan Soedarpo sejak sekolah di AMS atau Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta, sekitar akhir 1930-an. Mereka makin sering bertemu ketika Sjahrir memimpin kabinet parlementer pada November 1945. Sebagai bagian dari Kementerian Penerangan, Soedarpo banyak berurusan dengan wartawan asing. ”Dan dia bertugas mengurus wartawan koresponden luar negeri yang akan meliput di Indonesia. Kalau zaman sekarang dia sebagai public relations atau humas. Saya waktu itu bekerja sebagai wartawan surat kabar Merdeka. Saya orang kedua di Merdeka,” jelas Rosihan.

Rosihan menilai duet Soedarpo dan Soedjatmoko di Kementerian Penerangan sangat pas. ”Soedjatmoko itu pemikir sedang Soedarpo itu aktivis lapangan. Sehingga muncul image yang baik tentang Indonesia di mata internasional.”

[caption id="attachment_160648" align="aligncenter" width="300" caption="Buku biografi dan memoar yang mengupas profil Soedarpo Sastrosatomo dan Mien Soedarpo (Foto: MTBW)"][/caption]

Soedarpo dan Diplomasi Republik

Saat Republik masih seumur jagung, Soedarpo terlibat berbagai perjuangan diplomasi dalam dan luar negeri. Dia memang tidak terlibat langsung di meja perundingan. Soedarpo lebih banyak ditugaskan Sjahrir sebagai kurir atau penyampai pesan politik kepada Soekarno-Hatta.

Peneliti sejarah M. Nursyam, menilai Soedarpo Sastrosatomo lebih banyak berjuang di balik layar meja perundingan. “Kalau kita mengukur secara hierarkis, kedudukan para diplomat, Soedarpo memang bukan di depan layar. Tapi dibalik layar. Kalau di depan itu kan Agus Salim, Sjahrir. Kalau diplomat Indonesia yang berperan di Amerika Serikat, ada LN Palar, kemudian Soemitro Djojohadikoesoemo, Soedjatmoko dan baru Soedarpo. Dia menghubungkan orang-orang, informasi dll. Dalam beberapa kasus beliau diminta bolak balik Jakarta-AS. Untuk mengkoordinasikan dan membawa informasi yang penting dalam proses diplomasi, ”papar alumnus Sejarah UGM ini.

Dalam biografinya, Soedarpo kepada Rosihan Anwar bercerita tentang perannya dalam Perundingan Linggarjati 1947. Ini adalah sebuah perundingan yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. “Di samping para menteri dalam kabinet Sjahrir yang ditunjuk sebagai delegasi resmi dalam perundingan dengan pihak Belanda, Sjahrir sebagai Perdana Menteri acapkali menugasi beberapa orang yang dekat kepadanya dan kader kader pilihannya guna membantunya secara non formal. Saya ketika itu menjadi kurir politik yang menghubungkan Sjahrir di Jakarta dengan dwitunggal Soekarno-Hatta di Yogya. Semua pasal perjanjian yang sedang dibahas oleh kedua delegasi harus diketahui oleh dwitunggal, dikonsultasikan kepada mereka.”

Diplomat di Negeri Paman Sam

Dari meja perundingan di tanah air, karir diplomasi Soedarpo berlanjut ke New York, Amerika Serikat. Menurut Rosihan Anwar pada 1948 bersama LN Palar, Soemitro dan Soedjatmoko, Soedarapo ditugaskan di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Dia ditunjuk sebagai atase pers.

Di negeri Paman Sam, Soedarpo dan Soemitro meminta dukungan pemerintah Amerika atas kedaulatan Indonesia. Sementara LN Palar dan Soedjatmoko mencari dukungan internasional melalui sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa. Agenda sidang membicarakan agresi militer Belanda kedua terhadap Indonesia. Aksi militer Belanda di wilayah Yogyakarta tersebut diklaim sebagai bentuk ketidakberdayaan Indonesia. Dalam sidang itu delegasi Indonesia ingin membuktikan klaim Belanda tak benar adanya. Ini dibuktikan lewat keberhasilan TNI menduduki Yogyakarta selama 6 jam.

PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 28 Januari 1949 bagi Negara Serikat Indonesia dan Belanda. Salah satu isi resolusi, mengultimatum Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia paling lambat 1 Juli 1950. Atas kesepakatan Palar, Soemitro, Soedjatmoko, dan Soedarpo ditugaskan menemui Soekarno. Soedarpo yang dikenal sebagai kurir politik dipercaya bisa menyampaikan isi resolusi PBB. Soekarno dan Hatta kala itu tengah ditahan Belanda di Pulau Bangka, Sumatera. Perjalanan Soedarpo menemui keduanya tak mudah lantaran Jakarta sudah dikuasai Belanda.

Mundur sebagai Diplomat

Selanjutnya lewat Perundingan Roem-Royen pada 1949, ibukota negara Republik Indonesia Indonesia kembali ke Yogyakarta dan Soekarno-Hatta dibebaskan dari pengasingan. Setelah persetujuan itu ditandatangaini, Soedarpo ditugaskan kembali ke Kedutaan Besar Indonesia Amerika Serikat. Kali ini Soedarpo menempati pos barunya di Washington dengan Dubes Ali Sastroamidjojo.

Namun ia tak lama bertugas . Menjelang 1950 Soedarpo mengajukan permohonan berhenti dari tugas diplomatik. Soedarpo mengaku tak cocok bekerja sama dengan Ali Sastroamidjojo. Setelah meninggalkan dunia diplomat, Soedarpo Sastrosatomo terjun ke bisnis kapal, sampai mendapat julukan Raja Kapal Indonesia. (Fik)

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun